Twenty-two - END

265 9 8
                                    

Vandella terlihat resah, sesekali dia menggigit ujung kuku jempol tangan kanannya. Dia benar-benar gugup. Sudah sekitar setengah jam dia menunggu Evano di taman yang Evano janjikan, namun penantian itu tidak berbuah hasil.

Untuk kesekian kalinya melirik jam tangan, tidak ingin sebuah penyesalan menghantui Vandella, dia memutuskan untuk menghampiri Evano ke rumahnya.

Entah perasaan apa yang membuat Vandella benar-benar ingin menemui Evano, walau kemarin dia sempat menolak kedatangan Evano di rumah, dan gara-gara itu juga Vandella merasa bersalah. Dia langsung memanggil ojek yang sedang mangkal untuk meminta mengantarkannya ke alamat yang di tuju.

***

Kini dirinya sudah berada di teras rumah Evano. Keadaan hening, tidak ada tanda-tanda kehidupan. Ketika ke rumah Evano, biasanya ada gorden yang terjuntai di jendela penampakan bagian depan rumah Evano. Tapi kali ini pemandangan sangat transparan menembus isi rumah.

Vandella mendekati wajahnya ke jendela, dia menerawang, mengedarkan pandandangan ke isi rumah. Semuanya sungguh kosong, bersih dari alat-alat perabot rumah tangga. Dia menggigit ujung bibir, mengepal kedua tangannya. Apakah semuanya berakhir?

Penyesalan bertubi-tubi menghantam Vandella, bodoh sekali waktu kemarin, harusnya ia melayani pertemuannya dengan Evano, namun enggan menguasai dirinya. Tanpa disadari, dengan kejelian mata, Vandella mendapat secarik kertas terselip dibawah pintu. Dengan lekas ia mengambil surat tersebut.

Perlahan dia membuka surat tersebut, belum sempat membaca, air matanya sudah membasahi kertas tersebut.

Dalam surat, ada gambar permen karet, gambar permen yang pernah diselipkan oleh Evano ke dalam tote bag Vandella ketika ospek.

Dear Vandella,

🍬

Makasih udah menjadi seperti permen karet dalam untuk hidup saya, permen karet dimana selalu memberikan rasa yang manis, walau sudah hilang manisnya, permen karet itu tetap utuh. Dan hal itu juga sama seperti kamu, selalu ngasih warna yang manis dalam hidup saya, walau pernah saya sakitin, tapi kamu tetap peduli sama saya. Maaf saya belum bisa menjadi Evano yang kamu inginkan. Semoga Ada pertemuan yang lebih menarik di kemudian hari.

Evano.

Usai membaca surat itu, badannya terasa lemas, Vandella meriuk di depan pintu, dengan hitungan detik, isak tangisnya pecah.

"Lo nggak boleh ninggalin gue dengan cara kayak gini, kenapa saat kita udah mulai dekat, dan saat dimana gue baru mulai nyari solusi, lo hilang begini aja."

Suasana hening saat itu dihiasi oleh deruan tangis dari Vandella, bahkan angin pun ikut mengusap air matanya. Setelah ia merasa air matanya mulai mengering, Vandella bangkit, dia perlahan keluar dari teras rumah Evano. Seketika menutup pagar rumah, sebuah mobil berhenti tepat di depannya.

Vandella terus memperhatikan dengan seksama. Berharap kalau yang turun dari mobil itu Evano. Tebakannya salah. Ternyata mobil itu milik Kenan.

"Kenan?"

"Del, ikut gue." dengan paksaan, Kenan menarik lengan Vandella untuk ikut bersamanya.

"Ngapain?"

"Udah masuk aja, ini penting."

Vandella mengikuti instruksi dari Kenan. Selama perjalanan Kenan terlihat panik, bahkan dia menyetir mobil dengan kecepatan tinggi. Klakson mobilnya menjadi alunan melodi saat itu.

"Ken, lo nyeret-nyeret gue kayak gini tujuannya apa?"

"Ini nyangkut masalah Vano."

"Vano kenapa Ken?"

Vandella [ Completed ] ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang