Selepas Sean menurunkannya di depan mini market, lantas ia kebingungan pulang ke rumah Shania dengan apa. Vandella menelusuri jalan di kota Jakarta, sorotan lampu kendaraan yang berlalu-lalang memperjelas penampakan dirinya. bagaimana ia bisa pulang, kalau dompet dan hape nya saja ketinggalan di dalam mobil Sean. Vandella duduk ditepi trotoar jalan dan menundukkan kepalanya berdoa agar ada bantuan yang datang. Selang 15 menit kemudian, bunyi mesin kendaraan melekat di telinganya, berhenti didekat kakinya. Vandella mendongak ke atas, melihat seseorang masih menggunakan helm yang kemudian mematikan mesin motornya. Laki-laki itu membuka helmnya.
"Ngapain lo ngegembel disini?"
"bukan urusan lo!" ketus Vandella, kemudian membuang muka.
"Ayo naik, mau tidur disini lo?" tawar Evano, yang sudah menyalakan motornya.
Walaupun rasa gengsi menguasi diri Vandella, apa daya dia harus ikut dengan Evano. Doa nya diijabah, tetapi diluar ekspetasi kalau Evano yang bakalan datang. Lebih tepat dengan kata terpaksa Vandella menaikki motor Evano meraih posisi duduk yang tidak terlalu mepet dengan Evano. Sudah setengah perjalanan mereka tempuh, mendadak motor Evano berhenti membuatnya mendesah kesal. Evano melirik jarum indikator tangki bensinnya sudah berada di huruf 'E' . Matanya menyisir keadaan sekitar, mencari pom bensin terdekat, namun dia tidak menemukannya.
"Lo turun dulu."
"Emang motor lo kenapa?" Vandella pun turun dari motor tersebut.
"Jangan banyak tanya, lo dorong motor gue!"
"Gue yang dorong, terus lo duduk di atas motor gitu?"
"Berisik lo, cepetan! kalau gue yang turun nanti ngarahin stank motornya siapa coba?" kibul Evano, sekaligus memanfaatkan keadaan ini. Dengan raut wajah sebal Vandella mendorong motor yang bobotnya melebihi batas wajar karena ada Evano diatas motor tersebut.
Beberapa menit kemudian, mereka menemukan pom bensin. Vandella ngos-ngosan, duduk terkapar sembari memijit-mijit kakinya yang mulai keram, Peluhnya benar-benar mencucur keras. Entah apa yang ada dibenak Evano tega menyuruh Vandella mendorong motor itu.
"Lo tunggu disini ya, gue beli bensin bentar."
"Buruan geblek, gue bener-bener capek nih. Lo harus beliin gue minum sama makan ntar." tagih Vandella yang tidak terima, kalau dia tidak mendapat imbalan. Di dalam pikiran Vandella, bagaimana bisa laki-laki yang kodratnya lebih kuat dari wanita, menyuruhnya mendorong motor tersebut. Dia benar-benar yakin bahwasannya selama adiknya pacaran dengan Evano, Vandezza juga diperlakukan seperti ini.
"Kok muka lo kerutan gitu sih? Makasih lo ya udah dorongin motor gue." Evano tertawa renyah, dia terlihat sangat senang melihat Vandella menderita. Tanpa segan-segan dia langsung menaiki motor Evano, "gue laper! Nggak ada penolakan. Cepet!" ucap Vandella dengan nada tinggi.
Motor Evano melaju meninggalkan tempat tersebut, dia sengaja meninggikan kecepatan laju motornya, membuat Vandella berteriak histeris, sedangkan Evano tertawa sangat bahagia. Dengan berat hati Vandella harus melingkarkan tangannya kepinggang Evano, jika saja dia tidak seperti itu bisa saja dia jatuh dan juga beresiko.
***
Evano menepati janjinya tadi, dia membawa Vandella makan. Tempatnya biasa saja, di pinggir jalan hanya dialasi terpal lesehan sebagai tempat duduk, di warung pecel lele lamongan kaki lima. Menu yang hanya di dapati seperti ayam, itik, lele yang disajikan dalam bentuk goreng atau bakar serta ditemani minuman khas warung kaki lima (es/panas) teh atau jeruk. Mereka mengambil posisi duduk di paling ujung warung, terpal yang hanya muat 2 orang saja. Kemudian memasan ikan lele goreng sebagai lauk dan es teh pelepas dahaga.
"Mas, cepetan ya! perut saya udah keroncongan dari tadi." pinta Vandella yang terlihat sudah tidak bertenaga lagi.
"Iya mbak, sabar ya masih antri ini. Makan kerupuknya aja dulu mbak."
"Es teh nya aja dulu deh kalau gitu mas, saya dehidrasi parah nih, habis dorong sepeda motor yang bobotnya 500 kg." seketika itu Vandella menyindir Evano. Mas lamongan tadi pun dengan gercap mengantarkan minuman, dari pada rugi mending segera dilayani. Es teh yang baru saja sampai dihadapannya langsung lenyap seketika hanya dalam beberapa tegukkan.
"Mas nanti kalau pas ngantrin makanannya, tambahin 3 gelas es teh lagi ya." teriak Vandella, membuat beberapa pasang mata tertuju kepadanya. "Buset dah, nggak kembung apa air semua?" Evano kaget, ikut menatap aneh Vandella. Vandella hanya menghiruakan ucapan Evano, terus menatap ke arah penjual yang tengah menghidang pesanannya.
Mereka menyantap semuanya dengan lahap, tanpa ada yang tersisa. Hingga tanpa sadar, jam saat ini menunjukkan pukul setengah dua belas malam. Jalanan tampak sepi, walau masih banyak kendaraan yang lewat, tetapi tidak sepadat biasanya. Perjalanan mereka mulus, hingga sampai didepan pintu gerbang rumah Shania. Vandella turun dari motor dan menekan tombol bel, namun tidak ada tanda-tanda pintu gerbang tersebut akan di buka. "Lo punya nomor Shania kan?" Evano mengangguk, dia kemudian menyerahkan ponselnya ke Vandella.
Nomor yang anda tuju sedang tidak aktif...
Hanya suara itu yang tersambung, Vandella pasrah, dia menyandarkan tubuhnya di tembok pagar. "Lo Ngapain kesini sih?" ucap Evano yang masih bingung.
"Gue udah bilang ke Mama kalau nginep ngerjain tugas dirumah Shania, kalau gue pulang sekarang malah panjang urusannya." Evano mengangguk mengerti, dia menarik paksa Vandella segera menaiki motornya. Membawa Vandella ikut pulang kerumahnya.
"Lo mau bawa gue kemana?"
"Liat aja nanti, gue kasihan lihat lo nantinya tidur di jalan." Vandella memilih diam.
Motor tersebut berhenti di sebuah rumah besar yang terlihat megah, kemudian mengikuti Evano memasuki rumah tersebut. Suasana pertama kali yang Vandella lihat di dalam rumah tersebut adalah amburadul, berbeda dengan pemandangan luar di rumah Evano yang tertata apik. Masih ada botol wine yang bertebaran dimana-mana, walaupun Dena sudah pernah berjanji mengurangi konsumsi alkohol tapi masih saja diingkari. Mereka mendapati Dena yang sudah terkapar lunglai diatas kursi.
"Nyokap gue emang kayak gini, jadi jangan heran. Tapi nyokap gue udah nggak se-pemabuk dulu lagi, ini lagi kambuhnya." jelas Evano, Vandella hanya diam menanggapi hal itu. Dia benar-benar tidak percaya, kalau Mama Evano seorang wanita pemabuk.
Evano membawa Vandella ke kamarnya, lantas Vandella hanya berdiri diam di depan pintu kamar karena sudah berprasangka buruk duluan. "Gue nggak bakal nagapa-ngapain lo kok. Lo tidur di kamar gue, nanti gue tidur di luar." Evano kemudian meninggalkan Vandella yang masih berdiam kaku didepan pintu tersebut.
__________
Aku update lagi permisahh, selamat menikmati!
KAMU SEDANG MEMBACA
Vandella [ Completed ] ✓
Ficção Adolescente(Terima kasih karena sudah tidak menjadi silent reader) Menjadi mahasiswa baru di kampus, mempertemukan Evano dan Vandella yang ternyata memiliki keterkaitan dengan kisah mereka. Evano merupakan pacar adiknya Vandella, yaitu Vandezza yang sudah meni...