Dalam beberapa hari lagi, seluruh mahasiswa akan menghadapi ujian akhir semester. Evano manusia yang sibuk dengan kegiatannya di BEM bahkan hampir lupa dengan kewajibannya belajar. Alhasil mengetahui kalau minggu depan adalah UAS dia berlari di sepanjang koridor kampus hingga menyisir seluruh isi kampus mencari Vandella. Kenapa Vandella? Ya karena saat ini teman terdekat dan terpintar baginya Vandella. Mau minta ajarin sama Kenan, malahan tambah goblok jadinya.
Dari kejauhan, seorang gadis duduk mengobrol dengan Shania memunggungi jalanan koridor, Evano berfikir jika itu adalah Vandella, kemudian dia mengagetkan perempuan itu yang tengah menyeruput air, padahal Shania sudah memberi tau jika itu bukan Vandella. Apa daya hal itu sudah terjadi.
Perempuan itu langsung tersendat, batuk-batuk kecil disertai umpatan sambil melirik kebelakang siapa Yang telah melakukan hal itu kepadanya. Evano benar-benar kaget, tenyata bukan Vandella, malah iblis bermuka dua yang sering bertengkar dikelas dengannya.
Hany. Perempuan yang selalu berbeda opini dengan Evano, merasa selalu benar.
"Uhuk..uhukk.." sembari memukul pelan dadanya.
"Maaf Han, gue pikir Della,"
"Maaf..maaf, emang gue emak lo, kalau mau jahil mikir-mikir dong. Nggak tau Barbie lagi minum."
"Nah, Shan. Lo lihat Della nggak?"
"Della lagi sakit, emang lo nggak di kasih kabar?"
Hani memotong pembicaraan mereka, "Lo pacaran sama Della?"
"Doain aja, makasih ya Shan."
"Van, mikir, ingat masa lalu lo!" teriak Shania lantang setelah mendengar ucapan Evano.
***
Kini Evano sudah berada di depan rumah Vandella, dia memberanikan diri untuk lewat pintu depan tanpa bersembunyi, memanjat dinding untuk menemui Vandella.
"Jika ingin mendapat pujian lakukanlah dengan berani, jangan buang-buang waktu hingga yang ingin dicapai hanya menjadi harapannya." Kutipan kecil dari mamanya, sedikit memberikan rasa percaya diri. Evano menghela napasnya, menarik kemudian membuangnya secara perlahan.
Dia mengetok pintu hingga tiga kali, namun tidak ada sahutan dari dalam rumah. Ketika dia hendak melakukan kebaisaan gilanya memanjat dinding, melihat Vandella lewat jendela kamar, suara pintu terbuka, Evano memutar balik badannya, melihat Dina yang memasang ekspresi terkesiap.
Dina berjalan mendekati Evano, plak! Sebuah tamparan mendarat di pipi Evano. Dia terdiam seketika, Evano memang pantas mendapatkannya.
"Sudah hampir dua tahun, kamu baru muncul dihadapan saya?"
"Tante, maaf. Saat mendengar kabar Vandezza meninggal, bahkan saya tidak berani untuk keluar rumah, bertatap muka dengan orang."
"Lantas, apa tujuan kamu kesini? Percuma kamu kesini, Dezza, orang yang kamu cari udah nggak disini. Bahkan saat pemakaman anak saya, kamu tidak muncul." ucap Dina, dia benar-benar meluapkan emosinya sambil memukul dada Evano berkali-kali hingga terduduk lemas dilantai.
Mendengar suara yang sangat berisik diluar, Vandella merasa terganggu dan keluar dari kamar dalam keadaan masih lemas. Bi Imah membantunya berjalan kedepan. Pemandangan yang ia lihat, begitu mengusik baginya. Dina akhirnya bertemu dengan Evano. Tanpa memikirkan sakitnya, Vandella melepaskan pegangan dari Bi Imah, Dan berlari membantu Dina bangun.
"Mama ngapain?"
"Kamu, sejak kapan dekat dengan dia?" ucapan Dina tertuju kepada Vandella.
"Evano temen aku di kampus Ma!"
"Tapi Mama nggak ngizinin kamu dekat dengan dia, kamu mau bernasib sama seperti adik kamu?"
Ucapan yang dilontarkan Dina, begitu menohok untuk Evano. Dia benar-benar menelan ucapan itu. Apa yang diucapkan Dina memang betul. Memang seharusnya dia dan Vandella tidak dipertemukan. Karena pertemuan yang kedua akan lebih menyakitkan.
"Tapi Ma, itu semua masa lalu. Mama harus ikhlasin Dezza. Kalau semuanya dikaitkan dengan masa lalu, semua kehidupan bakal dihantui oleh yang Mama pikirin."
"Masa lalu atau masa depan itu perlu dikenang. Kalau kamu nggak belajar dari masa lalu, kamu mau kejadian yang kayak dulu terulang lagi?" Dina berteriak histeris, menangis.
Dina memeluk Vandella, "Mama nggak mau lagi kehilangan untuk kedua kalinya." Dikala itu, Vandella juga ikut meneteskan air matanya.
Kemudian, melepaskan pelukkannya dari Vandella dan menyuruhnya masuk kedalam rumah. "Ma, tapi bukan kayak gini caranya menyelesaikan suatu masalah. Della nggak mau pertemanan Della sama Vano hanya putus gara-gara ini." Vandella berusaha mendekati Evano, tetapi Dina tetap menariknya masuk kerumah dengan Bi Imah.
"Saya harap, jangan temui anak saya lagi!"
Di saat itu, Evano hanya bungkam, tidak bisa berkutik. Melihat wajah Vandella begitu pucat, dan nampak keringat bercucuran di keningnya, Ingin sekali rasanya dia memeluk Vandella, bahkan untuk terakhir kalinya. Melihat pintu rumah Vandella sudah tertutup, dia membalikkan badan, dan berjalan seperti tanpa tenaga.
***
Vandella membenamkan wajahnya pada bantal, air matanya berhasil membasahi permukaan bantal yang ia kenakan. Seharian ia mengurung diri, Mungkin semua makanan yang dibawakan Bi Imah sudah mulai mendingin.
Vandella meraba-raba kasur, mencari ponselnya. Ponsel tersebut berhasil ia raih, kemudian mengetik pesan Sambil menangis, membuat air matanya membasahi ponselnya. Isi pesan itu menyuruh Shania datang kerumahnya.
Setengah jam ia menunggu Shania, akhirnya pintu kamar berbunyi. Ia melihat Shania masuk dan juga membawa buah-buahan kemudian meletakkannya di meja. Melihat Vandella menangis, Shania buru-buru mendekati dan memeluk Vandella.
"Lo kenapa nangis?" Shania tampak khawatir, "bagian mana yang sakit? Ayo ke rumah sakit." Sambungnya lagi.
"Mama... Shan, tadi Evano kesini, dia ketemu sama Mama." tangisan Vandella makin menjadi.
"Lalu?"
"Dia ngelarang gue buat ketemu sama Evano, dan Mama tadi juga ngungkit masalah Dezza."
"Sabar Dell, mungkin tadi Mama lo shock ketemu Evano, jadinya dia nggak bisa kontrol emosi."
"Tapi gue nggak mau hidup dibayang-bayangin oleh masa lalu, gue pengen ngejalanin hidup kayak orang lain."
"Lo suka sama Evano kan? Jawab jujur!" Seketika tangisan Vandella berhenti, dan malah menundukkan kepalanya, tidak berani menatap Shania. "Gue tau lo suka sama Evano." imbuh Shania.
"Kalau gue sih, semua tergantung sama lo, kalau lo nggak mau Mama lo kecewa lo harus ngikutin kata Mama lo, mungkin juga Mama lo punya alasan dibalik semua ini, tapi kalau lo benar-benar nggak mau kehilangan Evano, lo harus yakinin Mama supaya nerima Evano."
"Disisi lain, gue nggak mau bikin Mama sakit lagi,apalagi bipolarnya Mama udah nggak separah dulu lagi." kata Vandella.
Vandella naik ke tempat tidurnya, kemudian menarik selimut dan menutup matanya. Berharap semuanya bisa terselesaikan lewat mimpi.
"Shan, malam ini lo nggak boleh pulang, harus nemenin gue!"
______________
Teman-teman, insha'Allah dalam beberapa part lagi, Kisah Pelik akan tamat, mudah2an lancar sampai akhir cerita. Mohon dukungannya ❤

KAMU SEDANG MEMBACA
Vandella [ Completed ] ✓
Teen Fiction(Terima kasih karena sudah tidak menjadi silent reader) Menjadi mahasiswa baru di kampus, mempertemukan Evano dan Vandella yang ternyata memiliki keterkaitan dengan kisah mereka. Evano merupakan pacar adiknya Vandella, yaitu Vandezza yang sudah meni...