Ketika jenazah anakku—Loka—diturunkan, aku hampir tak dapat melepaskan diri dari berbagai delusi mengenai kehidupan dalam dunia alternatif lain. Aku berandai-andai, bagaimana Loka hanya mempermainkanku, mengagetkanku dari belakang ketika memanggil-manggil namanya, membuatku melompat tinggi.
Loka menertawaiku, sedangkan aku, dengan jantung yang berdegup kencang, merasa malu karena telah dipermainkan oleh seorang anak yang bahkan umurnya belum genap berusia dua puluh tahun.
Aku marah, meneriakinya, kemudian mengetuk pelan kepalanya dengan sebelah tanganku, memberikan kalimat-kalimat brengsek yang tak disukainya. Mungkin, di dunia alternatif itu, aku benar-benar marah, tetapi hal yang berbeda terjadi di tempat ini. Aku malah menginginkan kejadian seperti itu. Aku akan lebih senang untuk jatuh tersungkur akibat terkejut, mendengar teriakan Loka yang memang sengaja dilakukannya untuk mengagetkanku. Aku benar-benar berharap kejadian itulah yang menimpaku pada malam kemarin, tetapi tentu waktu tak dapat diputar kembali. Jadi, aku hanya merekam ulang kejadian-kejadian yang tak pernah terjadi itu di dalam otakku.
Ketika butiran-butiran pasir kembali menutupi lubang yang telah digali, saat itu pula orang-orang memberikan salam terakhirnya untuk Loka. Kemudian, beberapa di antara mereka pulang, meninggalkan gundukan tanah yang penuh dengan taburan bunga. Aku sendiri memilih untuk tinggal lebih lama, begitu pula dengan beberapa orang yang ikut mengantar Loka ke dalam peristirahatan terakhirnya.
Hampir semua rekan kerjaku datang, Wijaya pun termasuk ke dalamnya. Lilia—istri Wijaya—tak absen untuk menampakkan wajahnya, sekadar untuk menghormatiku. Riska—adik tiri Wijaya—tak dapat hadir karena sedang sekolah.
Selain itu, beberapa teman Loka—masih dengan menggunakan seragamnya—menjadi perwakilan atas utusan sekolah dalam menghormati salah satu kepergian anak didik mereka. Dua orang perempuan dan dua orang laki-laki, tetapi aku tidak kenal betul dengan mereka. Yang jelas, aku pernah melihat si anak laki-laki menjadi teman nongkrong Loka ketika ia masih duduk di kelas sepuluh dan sebelas. Namun, aku tak ambil pusing.
Tetangga-tetanggaku datang melayat. Aku merasa cukup bersyukur karena setidaknya mereka memiliki rasa kepedulian atas kepergian Loka, walaupun tetap harus ditemani dengan desas-desus tak mengenakkan khas omongan-omongan tetangga. Mulai dari sekadar merasa sedih atas kepergian Loka, hingga membuat hipotesis bahwa seorang penjahat keluar dari penjara, kemudian membunuh Loka untuk membalaskan dendamnya padaku.
Sungguh, aku tak mengerti dengan cara berpikir mereka. Tak bisakah mereka mengunci mulutnya untuk sementara? Walaupun harus kuakui, mungkin ada benarnya juga, sih.
Ketika pemakaman sudah semakin sepi, menyisakan aku, Wijaya, dan istrinya, hampir kukeluarkan air mata yang telah kutahan selama ini. Aku tak ingin terlihat cengeng, aku tak dapat membiarkan orang-orang melihatku sebagai orang yang hiperbolik. Jadi, selalu kutegaskan dalam diriku bahwa semua orang pada akhirnya akan mati, meninggalkan orang-orang yang dicintainya, walaupun tentu aku tetap tak dapat menerimanya karena kematian Loka bukanlah kematian yang wajar.
Mengenai profesi yang kujalani, jelas aku pernah melihat berbagai macam orang yang kehilangan anggota keluarganya secara tak wajar, bagaimana mereka menangis, menginginkan keadilan, dan kini aku berada dalam posisi mereka. Namun, jika mereka bisa mengadu kepada kami, meminta kami untuk menyelesaikan kasusnya, kemudian memaksa kami untuk membuat keadilan sesuai dengan keinginan mereka, bagaimana denganku? Apa aku harus mengadu pada diri sendiri? Lalu jika aku ingin orang itu mati, bukankah orang-orang hanya akan melihatku sebagai polisi payah yang bertindak sesuka hati? Aku harus tetap bertindak profesional, berperilaku sesuai prosedur, dan tentu akan sangat menyebalkan. Bagaimana jika si pembunuh hanya dijatuhi hukuman lima belas tahun penjara? Dia bisa melenggang bebas setelahnya ketika Loka akan tetap terkubur untuk selamanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Detektif Roy : Keparat-keparat Metropolitan [SELESAI]
Mystery / ThrillerAKP ... ah, Komisaris Roy kini harus berhadapan dengan musuh yang mendeklarasikan perang dengannya. Namun, tindakan yang dilakukan Komisaris Roy malah membuatnya kembali menyelidiki kasus tujuh tahun lalu yang melibatkan seorang anak biasa. Atau...