Aku menarik kursi, kemudian menyimpannya tepat di tengah ruangan ketika sang anak dari Januar—Ganira—keluar dari kamar brengsek yang menyimpan sebuah rahasia besar. Anak itu tidak keluar atas inisiatifnya sendiri, melainkan pergi menarik raganya atas dasar perintahku. Ketika aku membuka pintu, ia layangkan tatapannya untuk melihatku, mencoba meyakinkan dirinya bahwa Luhtfi—setidaknya mungkin—bukanlah manusia munafik brengsek yang menyimpan rahasia atas kekejiannya, seperti ayahnya—tentu tak kuucapkan hal itu secara gamblang.
Aku sendiri tidak tahu apakah pada akhirnya anak itu akan benar-benar menemui Luthfi atau kabur keluar rumah dan memanggil tetangga-tetangganya untuk meminta bantuan. Namun, aku punya alasan yang tepat untuk melakukan hal-hal ini, seandainya orang-orang yang tak mengenalku—para tetangganya—berusaha meludahi wajahku karena berpikir aku bertindak semena-mena.
Kini, kursi kedua kutarik sebagai kursi tambahan untuk Januar duduki—kursi terakhir di ruangan ini. Seretan kaki-kakinya terdengar nyaring di telingaku, terutama di tengah kesunyian malam dan tidak memberontaknya sang istri Januar—pada akhirnya. Kuayunkan salah satu lenganku, mempersilakan Januar, masih dengan senyum menyebalkannya, untuk duduk. Dia tak banyak bicara, hampir seperti seekor hewan peliharaan yang mengikuti seluruh perintah majikannya. Bedanya, jika hewan peliharaan akan menampilkan senyuman lucu dengan mulut lebar yang patut untuk difoto, Januar menampilkan wajah termengerikan yang belum pernah kulihat sebelumnya.
Aku duduk di seberangnya, memangku sebelah kaki sambil bersandar pada sandaran kayu yang keras. Kemudian, kutarik napas sedalam mungkin setelah memainkan ponselku dalam beberapa saat.
Satu jam telah berlalu.
Detak jantungku semakin terpacu, aku tak akan menyangkal bahwa di dalam pikiranku, Januar telah babak belur akibat layangan tinju yang berkali-kali kudaratkan pada wajahnya, darah segar keluar dari mulut maupun luka akibat kulitnya yang sobek. Rasanya aku benar-benar ingin merealisasikan hal itu, mewujudkan mimpiku menjadi nyata, tetapi pada akhirnya kutekankan pada diriku bahwa masih banyak hal yang ingin kudapatkan dirinya, membuatku terpaksa menahan emosi dan berita-berita yang akan disampaikan saraf motorik pada anggota tubuhku. Menahan hal itu tidaklah mudah.
Januar tidak terlihat merasa bersalah sedikitpun. Bukannya menghindari kontak mata denganku, Januar malah memicingkan matanya. Alisnya mengerut, mempertajam pandangannya, tetapi tubuhnya tak bergerak sama sekali, seperti seorang predator yang sedang mengintai mangsa dari kejauhan. Walaupun begitu, aku tidak terlalu terkejut. Aku sudah mendapatkan banyak pengalaman, di mana orang-orang menjadi korban kejahatan sanak saudaranya, bagaimana si saudara tak merasa bersalah karena beranggapan sang korban patut mendapatkan pelajaran. Hanya saja, aku tak pernah berpikir hal yang sama akan menimpaku. Selama aku bekerja, kupikir pekerjaan terberat adalah berinteraksi dengan para pelaku yang selalu menyangkal perbuatannya. Namun, kini aku mendapatkan pekerjaan yang lebih berat: berinteraksi dengan pelaku yang menyangkal perbuatannya, tetapi hal itu menyangkut kehidupan pribadimu.
Kuberikan nada terendah dari pita suaraku, tetapi tetap kuusahakan agar dapat Januar dengar.
"Pada akhirnya kau mengakui perbuatanmu," kataku. "Kenapa?"
"Sudah kukatakan jika aku lelah berpura-pura, kan?"
Kuteguk ludahku, merasakan sensasi cairan mengalir melalui kerongkongan.
"Maksudku, kenapa kau melakukannya, Brengsek!"
"Hei, hei, Roy, jangan berubah menjadi kasar begitu."
Kepalan tanganku melayang, kemudian mendarat tepat di dagu Januar, membuatnya meringis kesakitan. Untungnya, aku bukan seorang petinju profesional yang dapat membuat lawan jatuh pingsan dalam satu pukulan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Detektif Roy : Keparat-keparat Metropolitan [SELESAI]
Mystery / ThrillerAKP ... ah, Komisaris Roy kini harus berhadapan dengan musuh yang mendeklarasikan perang dengannya. Namun, tindakan yang dilakukan Komisaris Roy malah membuatnya kembali menyelidiki kasus tujuh tahun lalu yang melibatkan seorang anak biasa. Atau...