Ganira masih mengunci pintu kamarnya rapat-rapat. Berulang kali aku mengetuk pintunya, berulang kali juga keheningan kudapatkan. Aku memanggil-manggil namanya, tapi anak itu tak pernah menyahut. Hari telah malam, istri Januar masih terisak, anak itu tak mau keluar, dan aku berada di dalam kebimbangan dalam memutuskan tetap tinggal atau pergi saja karena toh seharusnya anak itu tidak menjadi beban pikiranku. Namun, semakin larut, pilihan antara dua keputusan itu tak kunjung datang. Aku duduk di sofa, termenung, sekaligus sebagai bentuk istirahat karena telah memanggil Ganira berkali-kali hingga tak dapat kuhitung lagi dengan jari.
Anak itu akan keluar, hanya masalah waktu sampai anak itu merasa lapar, ingin mandi, maupun merasa tak nyaman dan harus berinteraksi dengan manusia lain sebagai makhluk sosial. Namun, aku tak memiliki waktu sebanyak itu, yang membuatku terpaksa bersabar menunggu Ganira keluar dari kamar. Rumahku sekarang pasti sudah menjadi incaran pencuri karena lampu luar yang belum kunyalakan.
Istri Januar masih termangu, tak melakukan apapun. Matanya terjun melihat keramik putih yang disusun rapi, berfungsi sebagai lantai, tetapi pikirannya jelas melayang ke mana-mana. Sesenggukan akibat tangisnya telah mereda, tetapi jelas pikirannya masih membuat beban yang sama besar. Aku sendiri tak dapat melakukan apapun. Jadi, aku meminta izin pada perempuan itu untuk ke dapur, membuat kopi yang aku harap dapat menenangkan pikiranku, sekaligus membuatku berjaga untuk membantu memutuskan pilihan yang bagiku bagai buah simalakama. Cangkir kecil, dua sendok kopi tanpa gula, bercampur menjadi satu dengan air panas. Adukanku membuat kegaduhan di malam yang sepi karena sendok yang terus beradu dengan mulut gelas. Selain itu, aku tak menyangkal jika pikiranku pun sedang meracau ke mana-mana.
Apakah aku harus mencoba menarik Ganira keluar sekali lagi?
Kini, kondisi dengan dua pilihan beda yang lain bersemayam pada otakku. Ketika aku mencuci sendok yang kugunakan sebagai pengaduk kopi, aku menimbang-nimbang segala konsekuensi yang mungkin terjadi—meminta atau tidak meminta Ganira untuk keluar. Namun, berbeda dengan kondisi sebelumnya, pilihanku kali ini lebih mudah untuk kuputuskan. Tak ada konsekuensi berarti seandainya aku meminta Ganira untuk keluar selain ... ya, Ganira tidak mau keluar. Jadi, aku tidak segera menyesap kopi yang baru saja kubuat, melainkan kembali menuju lantai atas, menampakkan diri di depan pintu yang tak kunjung terbuka.
Pikiranku melejit kembali. Jika sebelumnya aku terlalu sibuk berpikir untuk bersikap seandainya Ganira tak ingin keluar, sekarang aku mulai berpikir, bagaimana jika seandainya Ganira memutuskan untuk menyudahi persembunyiannya? Skenario itu tak pernah terlintas di dalam otakku. Apakah aku harus memarahinya? Bagaimana jika kulakukan itu dan Ganira malah kembali bersembunyi di dalam kamarnya? Apakah aku harus menunggu berjam-jam lagi untuknya keluar?
Akhirnya, cabang-cabang kemungkinan malah mendera dalam pikiranku, membuat jaringan yang semrawut dan terpaksa kuhiraukan dengan mengetuk pintu kamar Ganira.
"Ganira, kamu mau laper nggak? Mau makan apa? Nanti om yang beliin."
Terdengar bodoh, bahkan untukku. Bujukan seperti itu biasanya berlaku untuk seorang ibu yang berusaha meredakan rasa marah maupun takut anaknya. Namun, aku hanyalah orang asing yang sedikit dikenal oleh Ganira, tak lebih, dan seharusnya bujukan itu tak mempan.
Namun, aku mendengar suara kunci yang berputar, dan seketika pintu terbuka perlahan. Aku terkejut bukan main karena Ganira pada akhirnya mau keluar, dan sekarang aku terkejut kembali karena skenario seandainya Ganira benar-benar keluar belum kususun secara rapi.
Pintu tak terbuka seluruhnya, Ganira hanya mengintipku dari baliknya. Tangan kanannya masih memegang kenop pintu, sebelahnya lagi tengah memegangi perut. Dengan jelas, dapat kudengar suara keroncongan dari balik bajunya. Aku berpura-pura tertawa, berusaha meyakinkan anak itu bahwa aku bukanlah seorang monster pemakan segala.
KAMU SEDANG MEMBACA
Detektif Roy : Keparat-keparat Metropolitan [SELESAI]
Mystery / ThrillerAKP ... ah, Komisaris Roy kini harus berhadapan dengan musuh yang mendeklarasikan perang dengannya. Namun, tindakan yang dilakukan Komisaris Roy malah membuatnya kembali menyelidiki kasus tujuh tahun lalu yang melibatkan seorang anak biasa. Atau...