Luthfi melemparkan tubuh Januar secara kasar, membuat bahu kiri Januar menabrak keramik putih dingin. Refleks, lelaki itu meringis kesakitan, hanya saja suaranya tetap tertahan kain yang menyumpal mulutnya. Selain itu, dia berusaha meraih bagian tubuhnya yang terbentur. Namun, tentu tidak semudah itu karena kedua tanganya tengah teringat.
Mungkin, kini dapur rumah Januar akan lebih terlihat seperti ruang penyiksaan daripada dapur.
Ketika Januar bangkit, duduk dengan bersandar pada lemari besar yang terbuat dari kayu, aku memberi pesan pada Luthfi untuk tak ikut campur terlebih dahulu. Biarpun mungkin memang benar Januar pelakunya, aku ingin memastikannya terlebih dahulu, memberikan beberapa pertanyaan yang tentu saja tak boleh dipotong oleh Luthfi.
Lelaki bertopi itu, masih dengan pembawaannya yang tenang, tak mengatakan apapun. Namun, dari gelagatnya, aku yakin dia tak merasakan adanya masalah dengan keputusanku.
Kugeledah tubuh Januar, mendapati ponsel dalam keadaan terkunci dari saku celananya. Untungnya, ponsel canggih itu dapat dibuka dengan sidik jari Januar. Lelaki itu meronta, ia berusaha mengepalkan kedua tangannya ketika tahu maksud dari tujuanku. Sayangnya, gerakanku yang lebih bebas darinya memberikan keuntungan. Dalam sekian detik, aku berhasil membuka kunci ponsel Januar tanpa perlu bersusah payah.
Begitu wallpaper hitam dengan gambar titik di tengahnya muncul, jempolku langsung kunavigasikan untuk mencari daftar kontak.
"Katakan berapa orang lagi dari kalian yang belum ditangkap," kataku. Kemudian, baru kusadari kebodohanku yang luar biasa.
Januar tak mungkin bisa menjawab, mulutnya masih dipenuhi dengan kain yang basah akibat air liurnya. Jadi, kukeluarkan benda itu dari mulutnya. Untuk sesaat, Januar terengah-engah. Matanya mengerjap beberapa kali sambil merapikan ritme napasnya.
Sambil menunggunya berbicara, kembali kutarik jempolku, menggeserkan layar untuk menampilkan nama demi nama. Ada 106 kontak, tapi aku tak mendapati nama-nama aneh yang membuatku curiga. Jadi, aku melihat-lihat riwayat obrolannya. Namun, sekali lagi, nihil.
Aku kembali menggeledah Januar, mencoba mencari ponsel kedua dan membiarkan lelaki itu mengatur napasnya di dekatku, tetapi aku tak mendapati benda yang kuinginkan. Ia tak memiliki ponsel kedua.
"Gila! Apa yang kaulakukan, Roy!?" Januar berteriak begitu ia siap, hampir membuatku tulis.
Segera kutarik diriku, berdiri di samping Luthfi yang tak melakukan apa-apa, tepat seperti yang kuminta.
"Kau ikut bergabung dengan polisi-polisi korup itu?"
"Hah?" Januar membelalakkan matanya. Ia melihatku dan Luthfi secara bergantian.
"Kau yang membunuh Loka, kan?"
Januar tidak segera membalas. Ia masih terlihat terkejut. Alisnya mengerucut hingga lebih tajam dari pensil yang baru saja diraut. Mulutnya bergumam kecil, tapi tak keluar suara.
"Kau bercanda, Roy? Mana mungkin!"
Namun, tepat di saat percakapan dua arah kami, Luthfi memotong, "Sudah kukatakan tak akan semudah itu, kan?"
Tentu, Januar tak setuju.
"Siapa dia? Kau menuduhku karenanya? Kau gila, Roy? Memangnya untuk apa aku menghilangkan nyawa anakmu itu?" bentak Januar, lebih keras dari seharusnya, seolah-olah sengaja ia lakukan karena sebelumnya seluruh kalimat yang ada di dasar mulutnya tertahan oleh sumpalan kain
Luthfi berdecih, ia hampir meludah, hanya saja tertahan karena ia tahu sedang berada di dalam tempat tertutup yang seharusnya tak dikotori. Sebagai gantinya, ia berlalu, meninggalkan aku dan Januar dalam kondisi yang tak baik, seolah-olah sengaja membiarkan dua ekor kucing untuk saling berkelahi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Detektif Roy : Keparat-keparat Metropolitan [SELESAI]
Misterio / SuspensoAKP ... ah, Komisaris Roy kini harus berhadapan dengan musuh yang mendeklarasikan perang dengannya. Namun, tindakan yang dilakukan Komisaris Roy malah membuatnya kembali menyelidiki kasus tujuh tahun lalu yang melibatkan seorang anak biasa. Atau...