Kejutan yang diberikan Pak Jajang seharusnya bisa membuat manusia mana pun merasa gugup, mengeluarkan keringat dingin tetapi tetap tak mendapatkan kesemaptan untuk menyekanya karena otak berhasil memanipulasi pikiran untuk tubuh tetap terdiam. Namun, reaksi yang pantas dilakukan manusia itu tak kunjung meresapi tubuhku. Aku kaget, kebingungan, tetapi hanya itu, tidak sampai merasa terancam hingga harus berteriak untuk mengekspresikan perasaanku. Aku menduga semua itu terjadi karena Luthfi—siapapun nama sebenarnya—yang terus memberikan tekanan untukku, mengambil jiwaku sebagai manusia dan membuangnya sejauh mungkin.
Aku bersikap tenang, bahkan lebih dari seharusnya. Padahal, sebelumnya aku sedang marah-marah. Sepertinya aku tahu bahwa marah dalam situasi seperti ini tak akan membantuku.
Pak Jajang tidak meminta izin untuk masuk ke dalam rumahku, pun aku tak menawarinya untuk masuk, tetapi secara perlahan ia mengangkat kedua kakinya secara bergantian. Langkahnya berhasil memaksaku untuk mundur lebih jauh karena tak ingin moncong pistol—peredam lebih tepatnya—terus menusuk perutku, dan aku tak merasa memiliki kecepatan yang cukup hingga dapat merebut pistol itu begitu saja darinya. Pak Jajang sudah tua, gerakannya mungkin lamban, tetapi jari telunjuknya sudah siap siaga menarik pelatuk, bukannya diletakkan pada gagang pistol untuk menghindari marabahaya. Bahkan, satu kesalahan yang tidak sengaja ia lakukan saja kurasa bisa membunuhku karena secara tak sengaja juga pelatuk itu akan tertarik. Terpeleset, misalnya.
Aku semakin mundur, dan kini Pak Jajang benar-benar berhasil masuk menghindari barikade tubuhku. Pintu rumahku segera ditutupnya, dan di saat yang bersamaan aku menggerutu dalam hati karena sama sekali tak ada di antara tetangga-tetanggaku yang melihat kejadian ini. Aku semakin membenci kehidupan individualisme, padahal aku sendiri termasuk salah satu penganutnya.
"Di mana kau menyembunyikan Yusup?"
Aku sudah menduga pertanyaan yang akan keluar dari mulutnya, tetapi aku memang tidak memiliki niat untuk menjawab pertanyaannya. Setidaknya, jika dia memang yakin Yusup masih hidup, seharusnya dia juga yakin bahwa aku adalah satu-satunya orang yang tahu di mana Yusup berada. Sehingga, setidaknya aku bisa tenang sedikit karena ia tak akan menembakku begitu saja. Peluangnya menjadi lebih kecil.
Aku mengangkat kedua tangan, memberikan tanda padanya bahwa aku tak berbahaya, dan sekali lagi aku mundur. Kini, Pak Jajang tidak mengikuti gerakanku. Moncong pistol dan perutku terpaut cukup jauh sekarang ini.
"Kenapa Anda yakin saya menyembunyikan Yusup, Pak?"
Itu bukan pertanyaan yang cerdas, sangat mudah disiasati dengan balasan 'itu tidak penting' atau semacamnya, tetapi tak ada salahnya mencoba, kan?
Pak Jajang dengan tak ragu menjawab, "Itu tidak penting."
Dan sekarang aku merasa mencoba menanyakan pertanyaan itu adalah sebuah kesalahan, karena Pak Jajang, sekali lagi, memperpendek jarak antara kami.
"Kalau begitu, bisakah kita membicarakan ini baik-baik?" Aku bertanya, berusaha menahan nada bicaraku agar tak terlalu tinggi, membuat emosinya memuncak, dan aku menunggu jawaban darinya dengan penuh harap dan cemas.
Pak Jajang melekatkan tatapannya tajam-tajam ke arahku, alisnya menukik tajam dan menunjukkan rasa ketaksukannya padaku, entah karena apa. Namun, hal itu tak membuatnya mempercepat pengambilan keputusan. Aku sudah mengangkat kedua lenganku beberapa lama, bahkan sampai kedua punggungku pegal. Aku ingin menurunkannya, tetapi aku tahu situasinya sedang tidak baik.
"Membicarakan baik-baik bagaimana?"
Aku bersyukur.
"Kita berdua bisa duduk, kemudian saya akan menceritakan seluruh hal yang saya ketahui mengenai Yusup. Bagaimana?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Detektif Roy : Keparat-keparat Metropolitan [SELESAI]
Mystery / ThrillerAKP ... ah, Komisaris Roy kini harus berhadapan dengan musuh yang mendeklarasikan perang dengannya. Namun, tindakan yang dilakukan Komisaris Roy malah membuatnya kembali menyelidiki kasus tujuh tahun lalu yang melibatkan seorang anak biasa. Atau...