8. In the Air Tonight

2.3K 325 27
                                    

Dua orang guru yang pernah menjadi guru wali Yusup—keduanya tak kukenal—telah berdiskusi dengan denganku juga Wijaya. Walaupun kami mewawancarai mereka dalam waktu yang berbeda, garis besar kepribadian Yusup digambarkan dalam sebuah cerita yang hampir sama.

Anak baik, tetapi pemalas. Tidak pernah berbuat onar, hanya saja hampir tak pernah mengerjakan tugas sekolah. Tidak terlalu menonjol di kelas, malah terkesan di bawah rata-rata. Selalu mendapat nilai lima puluh dalam ujian, itulah komentar mereka.

Sekarang, aku dan Wijaya tengah menunggu guru terakhir—Ibu Ai—yang pernah menjadi guru wali Yusup di kelas dua belas.

Seperti yang kuceritakan sebelumnya, aku mengenal guru itu, dan tak kusangka hingga kini ia masih aktif dalam kegiatan belajar mengajar. Memang, ketika aku menimba ilmu di sini, Ibu Ai termasuk salah satu guru muda yang baru memulai pekerjaannya sebagai guru, tetapi dua puluh tahun bukan waktu yang singkat, kan? Aku tak tahu apakah ia masih mengingatku atau tidak. Namun, melihat gelagat sebelumnya—ketika aku dan Wijaya mempersilakan perempuan itu untuk mendahulukan pekerjaannya dibanding memenuhi panggilan kami—aku rasa dia lupa, dan aku tak menyalahkan hal itu.

Kebijakan full day school benar-benar memaksa kami menunggu hingga matahari hampir menyentuh garis cakrawala. Dua cangkir kopi sengaja dibuatkan atas perintah kepala sekolah untuk menemani kami, sekaligus menerima kami sebagai tamu. Namun, Wijaya tak pernah menyentuh gagangnya, tentu saja karena ia tak begitu suka kopi, apalagi kopi pahit.

Di ruang tunggu ini, aku dapat melihat aktivitas-aktivitas yang terjadi di bagian depan sekolah secara leluasa. Mobil-mobil berlalu-lalang, memulai kemacetan karena waktu mulai menyentuh jam pulang kantor. Beberapa angkutan kota sengaja menghentikan laju kendaraannya untuk menunggu siswa-siswa yang akan berhambur keluar dari sekolah sekitar sepuluh menit lagi. Selain itu, satpam yang sebelumnya mengantar kami ke ruang kepala sekolah, membuat percakapan dengan Wijaya yang meninggalkan cangkir kopinya. Aku tak dapat mendengar percakapannya, tetapi aku yakin ada banyak topik yang mereka bicarakan hingga mereka sanggup mengobrol selama dua jam. Sedangkan aku, di sini, berusaha menghibur diri dengan membaca berita-berita daring yang dipenuhi komentar warganet—sebagian besar bersifat cemoohan—sambil sesekali memperhatikan keadaan sekitar.

Walaupun pada akhirnya kebanyakan murid berjalan keluar sekolah setelah lantunan lagu tanda kegiatan belajar mengajar berakhir, beberapa di antara mereka mengambil kesempatan, pergi meninggalkan gerbang sekolah lebih cepat lima menit dari waktu yang seharusnya. Namun, seolah biasa dengan pemandangan itu, si satpam tidak mencegahnya, membuatku menggelengkan kepala beberapa kali. Kebanyakan dari mereka anak laki-laki. Ah, maksudku semuanya.

Di balik kerumunan anak-anak berseragam SMA, Wijaya melambaikan tangan. Tentu, bukan ditujukan untukku, melainkan seorang perempuan yang tengah menggendong tas berwarna biru muda dan mengenakan rok sekolah seperti anak-anak yang lainnya. Aku tak dapat melihat wajahnya. Namun, aku yakin perempuan itu merupakan Riska. Wajah Wijaya berseri-seri ketika perempuan itu memberikan salam. Kemudian, tepat ketika kusesap kopi yang sudah semakin menghangat, Wijaya mengayunkan lengannya, kemudian menggantungnya tepat ketika bidikan jempolnya mengarah padaku, membuat Riska—yang mungkin sebelumnya tidak tahu akan keberadaanku di sini—berbalik dan tersenyum ke arahku.

Dengan mulut penuh cairan, segera kuletakkan cangkir itu ke atas meja, sekadar membalas senyum Riska dan memastikan bahwa ia dapat melihatnya.

Aku pikir, perempuan itu akan segera menghampiri ruang tamu, menemani Wijaya berjalan dan kembali pada kesehariannya yang membosankan. Namun, segera seteah ia melempar senyum padaku dan melanjutkan sedikit percakapan yang sebelumnya putus dengan Wijaya, perempuan itu pergi, melangkah ke arah gerbang sekolah bersama dengan beberapa temannya. Sedangkan Wijaya, masih dengan wajahnya yang sumringah, berjalan sendirian kembali ke ruang tamu.

Detektif Roy : Keparat-keparat Metropolitan [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang