Desas-desus kembali dibukanya kasus Yusup membuat orang-orang gempar. Pasalnya, aku yang berasal dari bagian pembunuhan dan sepatutnya tak ikut campur dengan kasus itu malah menjadi orang pertama yang bersikeras untuk kembali membukanya.
Aku berdiri di depan, untuk pertama kalinya, memimpin jalannya pertemuan dadakan atas gabungan dua departemen yang tak pernah kurencanakan. Biasanya, aku tak pernah segelisah ini. Namun, keringat-keringat yang mengucur keluar memenuhi kedua telapak tanganku mengatakan yang sebaliknya. Berulang kali kutenangkan diriku, menghirup napas panjang dan mengeluarkannya secara perlahan, tetapi detak jantungku sama sekali tak menunjukkan ketenangan akan datang.
Semua orang telah berkumpul, ruang pertemuan ini dipenuhi oleh wajah-wajah familier yang membuatku hampir muntah karena sudah terlalu sering kulihat. Di ujung tempat biasa aku duduk, kulihat AKP Rama tengah memainkan ponselnya dengan tergesa-gesa sebelum menyimpannya ke dalam saku.
Aku menyampaikan salam, tentu sebagai bentuk pembukaan resmi pertemuan ini. Beberapa orang menguap, tetapi aku memakluminya. Toh, suasana siang ini memang benar-benar melelahkan. Satu batang spidol kutarik dari permukaan meja, membuatnya melayang, sesuai dengan pergerakan capitan jemariku. Kutuliskan nama Yusup sebesar mungkin, bulan dan tahun dia dinyatakan kabur dari rumah, serta tanggal tepat hari ini.
Kemudian, aku mulai bercerita, persis seperti kakek tua yang berusaha membuat cucu-cucunya tertidur dengan dongeng lama.
"Tujuh tahun lalu, Yusup dinyatakan hilang dengan alasan kabur dari rumah," ucapku, tentu saja setelah mengatur nada suara agar terdengar lebih berwibawa. "Dan beberapa minggu lalu, saya menemukan alasan untuk tidak memercayai hal itu. Mungkin beberapa di antara kalian sudah tahu alasan apa yang bisa menguatkan keyakinan saya bahwa Yusup tidak kabur dari rumah."
Beberapa orang mulai berbisik, mencari jawaban ke sana dan ke mari. Mungkin, berpikir bahwa mereka seharusnya sudah tahu alasan yang kumaksudkan. Guritan-guritan di wajah mereka, kebanyakan, menunjukkan rasa penasaran. AKP Rama pun tak lepas dari kegiatan yang sama. Kepalanya condong ke arah yang lain, mengikuti posisi tubuh Wijaya yang berada di sampingnya bagai bunga matahari yang konon selalu mendekatkan kelopaknya ke arah matahari. Wijaya berpaling, namun hanya sesaat. Mulutnya komat-kamit, tetapi aku yakin dia hanya meminta AKP Rama untuk mendengarkan penjelasanku lebih lanjut. Sedangkan yang lain, kebanyakan dari mereka menggelengkan kepalanya.
"Kalian sudah tahu kasus AKP Januar, kan?"
Semua orang mengiyakan. Tentu saja. Jika ada seseorang di ruangan ini yang tak mengetahui kasus itu, sudah pasti kulemparkan keluar jendela.
Aku beralih ke papan yang lain, papan hijau yang terbuat dari tripleks tipis, tetapi memiliki ukuran yang cukup besar hingga dapat kuletakkan berpuluh-puluh pengumuman jika ingin kulakukan. Kertas-kertas yang kuraih sebelumnya kini kutempelkan pada papan itu. Beberapa orang di bangku belakang terpaksa berdiri dan menyipitkan kedua matanya, membatasi penglihatan agar dapat fokus memahami cuplikan-cuplikan animasi yang kuambil langsung dari dokumen Januar.
"Ini rancangan pembunuhan, tersimpan dalam komputer AKP Januar, semi-tersembunyi. Korban bernama Yusup, tujuh tahun lalu dia merupakan anak SMA, kelas dua belas."
Polisi di baris kedua mengacungkan lengannya, kupersilakan dia untuk berbicara.
"Kenapa orang-orang PK ingin mengambil nyawa anak itu, Pak Komisaris?"
PK adalah julukan yang tiba-tiba muncul begitu saja, merupakan kependekan dari Polisi Korup. Aku sendiri tidak tahu siapa pencetus julukan itu. Bahkan, begitu aku kembali ke kantor, tampaknya julukan untuk para polisi korup itu sudah menyeruak. Hampir semua orang menggunakannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Detektif Roy : Keparat-keparat Metropolitan [SELESAI]
Mystery / ThrillerAKP ... ah, Komisaris Roy kini harus berhadapan dengan musuh yang mendeklarasikan perang dengannya. Namun, tindakan yang dilakukan Komisaris Roy malah membuatnya kembali menyelidiki kasus tujuh tahun lalu yang melibatkan seorang anak biasa. Atau...