11. Fundamental Elements of Madness

2.1K 317 24
                                    

Aku ingat ketika Luthfi menampakkan amarahnya, meninggalkanku sendirian di depan Bandung Indah Plaza ketika kutolak tawarannya untuk terlibat dalam rencana pengungkapan petinggi polisi-polisi korup itu. Sialannya, harga diriku terlalu mahal untuk menjilati lelaki itu, memohon agar aku dapat terlibat di dalam rencananya, kemudian mencari tahu siapa orang brengsek yang memerintahkan mereka semua, para polisi korup yang telah beroperasi cukup lama.

Bayanganku memberikan wajah Luthfi yang tersenyum senang, bangga, menginjak-injak harga diriku dan menganggapku orang tak berguna, hanya mendekatinya karena merasa harus mencari orang yang bertanggung jawab setelah kelompok itu menghilangkan nyawa anakku. Maksudku ... apa bedanya aku dengan seorang teman yang hanya berteman karena ada maunya?

Aku tak tahu kelanjutan rencana itu. Apakah pada akhirnya kelompok polisi korup itu menemui Luthfi dan kawanan rampoknya atau tidak? Yang jelas, hingga saat ini aku tak mendengar kabar apapun dari sang lelaki bertopi.

Matahari senja bersinar cukup terik, tanpa sedikitpun awan menghalangi. Ketika aku berdiri di depan pintu yang tak asing, bulir-bulir keringat mulai menjalar keluar dari tubuhku. Seragamku basah, wajahku lengket, aku benar-benar merasa tak nyaman tapi juga tak memiliki pilihan lain.

Aku mengetuk pintu, membuat dentuman kecil dan berharap kayu besar yang menjadi batasan antara dunia luar dan tempat tinggal ini terbuka. Ketika kudengar suara kunci yang berputar, aku menarik napas sambil menggeleng-gelengkan kepala, menghilangkan berbagai pikiran buruk yang hinggap di dalam benakku.

Apa yang kulakukan? Kenapa aku kembali ke rumah Januar?

Kemarin, ketika istri Januar pulang, aku masih dapat melihat sisa-sisa keterkejutannya. Wajahnya melongo, hanya saja dengan tatapan yang kosong tanpa pikiran. Aku memerintahkan seorang petugas untuk mengantar perempuan itu, tetapi semalaman aku tak dapat tidur, memikirkan tindakan-tindakan apa yang mungkin dilakukan perempuan itu ketika mengetahui ... ya, mengetahui kebrengsekan Januar.

Jadi, setelah menimbang-nimbang, aku kembali menemuinya. Namun, tentu bukan untuk menariknya kembali ke kantor kepolisian, memintanya bekerja sama untuk membujuk Januar. Tujuan kali ini agak beda, lebih ke masalah pribadiku. Aku hanya ingin memastikan bahwa perempuan itu baik-baik saja.

Ketika wajah perempuan itu tampil di hadapanku, menyertai pintu yang terbuka, kusaksikan raut wajahnya yang tak berubah sedikitpun. Walaupun pandangannya tertuju ke arahku, aku yakin perempuan itu sedang melamun. Gila, kan? Padahal aku pikir perempuan itu akan menyambutku dengan antusias—membentakku. Bahkan, saat ini kurasa aku lebih berharap ia membentakku daripada melongo seperti itu.

Aku mengucapkan salam, kemudian melemparkan senyuman yang tak pantas kuberikan. Akhirnya, semua kelakuanku itu membuatnya sadar. Perempuan itu mempersilakanku masuk, duduk, bahkan menawariku secangkir kopi panas yang sebenarnya tak kubutuhkan, apalagi di bawah hawa panas Jakarta.

Ketika aku duduk di sofa ruang tamu, Ganira tengah memainkan ponsel, duduk di atas sofa yang berseberangan denganku. Anak itu tak merasa keberatan dengan kehadiranku. Bahkan, karena matanya terlalu fokus pada layar ponsel sehingga tak menyadari kedatanganku. Jempol-jempolnya cekatan meraih sisi-sisi ponsel, menaik-turunkan halaman, tenggelam dalam dunianya sendiri ketika kusesap kopi yang tak kubutuhkan itu.

"Saya minta maaf atas kejadian kemarin," kataku, memperlihatkan rasa bersalahku yang sukses membuat perempuan itu tercengang. "Tak pernah terpikirkan oleh saya jika ...."

Kalimat itu terputus, tepat ketika kembali kulirik Ganira yang masih serius memainkan ponselnya. Otakku berkemelut, mana mungkin aku mengatakan jika Januar adalah orang paling brengsek yang pernah kutemui di depan anaknya, kan?

Namun, seolah mengerti akan gelagatku, istri Januar meminta anaknya untuk mengurung diri, menutup pintu, tak mendengarkan pembicaraan kami. Anehnya, jika kebanyakan anak cenderung melawan dan bertanya-tanya mengenai sesuatu yang disembunyikan darinya, anak itu lebih memilih diam, menuruti seluruh perkataan orang tuanya. Kakinya melompat, kemudian berjalan menyusuri tangga hingga penampakannya tak tampak lagi di netraku.

Detektif Roy : Keparat-keparat Metropolitan [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang