AKP Rama mendengarkan rekaman yang kuberikan. Pipi tirus dengan rahang kotak berjanggut tipisnya tak bergerak sedikitpun. Walaupun bola matanya mengadu ke mana-mana, bergerak ke segala arah dan melihat ke seluruh penjuru ruangan, tetapi aku yakin otaknya tengah memproses informasi yang telinganya berikan. Sebelah tangannya disimpan di atas meja, menunggu saat yang tepat untuk mengetuk—mungkin itu rencananya saat audio dari rekaman berhenti berputar.
Namun, AKP Rama menghentikan audio secara paksa. Begitu selesai, ia mengembalikan ponsel itu padaku, menyebrangkannya melewati sebelah lengannya yang masih belum bergerak.
"Saya turut berduka cita, Pak Komisaris," komentarnya, segera setelah aku menerima kembali ponselku dan mengantunginya.
"Terima kasih."
Dalam beberapa detik, pikiranku kosong. Namun, segera kucegah dengan memberikan salinan rekaman itu. Hard Drive hitam yang sedari tadi kutinggalkan di atas meja kini berpindah tangan. AKP Rama menerimanya dengan senang hati.
Hard Drive itu bukan milikku, melainkan milik Luthfi. Lelaki bertopi itu baru memberikannya pagi hari ini, tepat ketika aku akan berangkat kerja. Seperti kebiasaannya—sok misterius, menunggu agar aku menghampirinya terlebih dahulu. Dia bersandar pada pintu pengemudi mobil, mengambil bagian yang tertutup dan tak dapat dilihat orang-orang. Sebelah tangannya dimasukkan ke dalam saku jaket, sedangkan tangan satunya lagi terlalu sibuk mengotak-atik ponsel.
Ketika aku melihatnya pertama kali, aku tak akan berbohong untuk mengakui bahwa aku benar-benar kaget. Tubuhku tersentak, refleks melompat ke belakang, tetapi tidak terlalu terlihat seperti seekor kelinci yang kabur menghindari predatornya. Sedangkan Luthfi, tanpa melibatkan terlalu banyak emosi, menghampiriku, seolah-olah dia tahu persis kapan aku keluar rumah. Dia tak mengatakan apapun selain data yang kuinginkan malam kemarin—ketika aku mengunjungi rumah Januar tanpa undangan—ada di dalam Hard Drive yang ia keluarkan dari saku jaketnya.
Lelaki bertopi itu berjalan, pergi meninggalkan kawasan tempat tinggalku tanpa kendaraan, membuatku baru sadar bahwa selama ini tak pernah kudapati Luthfi mengendarai kendaraan pribadi—atau mungkin aku lupa?
Terbatasnya waktu perjalanan—tak ingin terjebak macet—serta karena kurangnya fasilitas yang memadai, membuatku terpaksa mengecek isi dari Hard Drive di kantor. Ketika kabel USB kupasangkan, membuat sambungan antara komputer jadulku dengan Hard Drive itu, di saat itulah kudapati mesin virtual, persis seperti apa yang kulihat di komputer Januar, yang memuat informasi-informasi rahasia Januar. Ukurannya yang terlalu besar membuatku tak dapat menyalin informasi-informasi yang ada terlebih dahulu ke dalam komputerku. Terlalu lama. Lagipula, aku sudah memanggil AKP Rama perihal kasus yang sedang ditanganinya.
Jadi, kini AKP Rama memegang semuanya: barang bukti yang menguatkan kesalahan pelaku pembunuhan serta beberapa data tambahan yang dapat mengungkapkan lebih banyak anggota-anggota polisi korup. Walaupun mungkin agak berbahaya untuk memberikan bukti-bukti kuat yang tak mungkin bisa didapatkan oleh sembarang orang, hal itu terpaksa kulakukan. Lagipula, seharusnya Luthfi menyimpan salinan datanya, kan? Entah di mana.
AKP Rama melumat kedua bibirnya. Lelaki itu ingin mengatakan sesuatu, tetapi tertahan, entah karena ragu dalam bentuk penyampaiannya atau merasa apa yang akan diucapkannya itu hanya sekadar omong kosong. Namun, akhirnya aku mendorongnya untuk berbicara.
"Ada yang ingin kaubicarakan?"
Sekali lagi, AKP Rama terlihat ragu, tetapi pada akhirnya ia memberanikan diri.
"Sebenarnya ada, Pak Komisaris."
Kuangkat sebelah alisku, mempersilakannya berbicara. Namun, AKP Rama malah menyodorkan sebuah berkas padaku. Memang, sebelumnya kulihat ia membawa-bawa map kuning yang tak begitu kuperhatikan. Sebab, akulah yang memintanya untuk datang ke sini, untuk menyerahkan barang bukti yang bisa ia gunakan untuk membantu penyelidikannya, bukan karena ia yang ingin bertemu denganku. Aku pikir dia membawa-bawa berkas itu karena terburu-buru datang ke kantorku—aku memang memintanya datang pagi, sih. Namun, ternyata benda itu memang ditujukan untukku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Detektif Roy : Keparat-keparat Metropolitan [SELESAI]
Mystery / ThrillerAKP ... ah, Komisaris Roy kini harus berhadapan dengan musuh yang mendeklarasikan perang dengannya. Namun, tindakan yang dilakukan Komisaris Roy malah membuatnya kembali menyelidiki kasus tujuh tahun lalu yang melibatkan seorang anak biasa. Atau...