12. Believe in Me

2.1K 296 37
                                    

Semakin kuperhatikan gerak-gerik Ganira, semakin kusadari bahwa tak ada tindakan aneh yang muncul dari anak itu, dan tindakan-tindakan tak anehnya itu malah tampak semakin janggal bagi diriku.

Kurasa Ganira tak pernah membicarakan masalah ayahnya pada siapapun, tapi bukan berarti anak itu memendamnya seorang diri. Ia bermain layaknya seorang anak-anak, berbicara lantang, terkadang berteriak, tapi tak menunjukkan rasa takut ataupun amarah, sekadar gurauan biasa yang terkadang membuat orang kesal karena volume suara yang berlebihan. Dari kejauhan, yang membuatku tampak seperti seorang penculik anak-anak tahun sembilan puluhan, aku hanya melontarkan pertanyaan-pertanyaan yang tak pernah keluar dari mulutku.

Seiring dengan berjalannya waktu, Wijaya mampu memberikan perkembangan kasus yang lebih signifikan. Terang saja, karena ketika Wijaya sibuk mencari informasi ke sana dan ke mari, aku malah sibuk mengurusi anak orang lain—tanpa sepengetahuan orang tuanya—yang bahkan tak wajib kulakukan.

Wijaya tengah mengemudi, matanya menatap tajam jalanan yang dipenuhi dengan kendaraan. Lengan kirinya beberapa kali menekan klakson hanya untuk memerintahkan para pengendara motor menyingkir, mengambil lajur tengah agar tak menghambat lajur kiri. Sedangkan aku, masih mengutak-atik ponsel Wijaya, memperhatikan bagaimana Yusup mendapatkan nilai-nilai tepat lima puluh itu.

"Kasusmu sudah selesai?" Aku bertanya, sekadar basa-basi karena merasa injakan terhadap pedal gas yang Wijaya lakukan tampak kasar. Mungkin, para pengendara motor itu membuat batas kesabarannya menipis.

"Sudah, Pak, administrasinya pun sudah saya selesaikan."

"Aku minta maaf karena seolah-olah kubiarkan kau mengerjakan kasus Yusup ini sendirian."

Sungguh, pilihan kata yang tepat. Aku tidak membuat 'seolah-olah' kubiarkan Wijaya untuk mengerjakan kasus Yusup sendirian, tetapi aku sadar bahwa aku membiarkannya bekerja sendirian. Maksudku, Wijaya yang mendapatkan segala informasi tentang Yusup, termasuk salah seorang saksi—katanya—yang sempat melihat Yusup sebelum dia menghilang.

"Tidak masalah, Pak Roy," katanya, dengan injakan pada pedal gas yang sudah lebih halus. "Saya tahu beberapa hari terakhir ini Anda pulang-pergi Bandung Jakarta."

Kukunci ponsel Wijaya, menyimpannya di atas dashboard seraya menaikkan sebelah alis.

"Tahu dari mana?"

Wijaya cekikikan, membiarkanku menatapnya dengan penuh rasa penasaran.

Apakah pernah kuberitahukan kegiatan beberapa hari terakhirku ini pada seseorang? Aku rasa tidak, atau mungkin aku lupa?

Namun, tepat setelah ia menyalakan lampu tanda ke arah kanan, kemudian berhenti di depan lampu merah dan membiarkan kendaraan-kendaraan lain, dari arah jalanan yang lain, melaju, Wijaya membalas rasa penasaranku.

"Saya hanya asal tebak, Pak," katanya. "Ternyata benar, ya?"

Aku menarik napas, membiarkan oksigen bersemayam di dalam tubuhku.

"Aku sudah mengenalmu, dan aku tahu benar kau tidak akan asal tebak. Jadi, kalau memang kau menebak, kenapa tebakanmu harus itu?"

Wijaya melemparkan pandangannya sekilas. Tentu saja, tak mungkin dia membiarkan beberapa bagian mobilnya digores oleh badan motor hanya karena kelalaiannya.

"Saya mendengar apa yang terjadi dengan kasus Pak Januar, Pak," balasnya. "Saya yakin Anda tak akan membiarkan Ibu Yulda begitu saja."

Selama ini aku memanggil istri dari Januar sebagai istri dari Januar tanpa menyebutkan namanya. Aku tahu namanya, terang saja, toh namanya ditulis dengan jelas pada laporan kasus yang menyangkut kematian Loka.

Detektif Roy : Keparat-keparat Metropolitan [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang