Namanya memang jalan bebas hambatan. Namun, begitu kami memasuki kawasan industri, kendaraan-kendaraan yang menyemarakkan jalanan ini malah membuat kami terhambat, sangat kontras dengan namanya, seolah-olah jalanan ini tak memiliki lajur cepat maupun lambat—semuanya sama.
Di bagian belakang kami, sebuah Nissan Elgrand hitam hendak menyusul, membuat barisan baru di antara Agya yang tengah Luthfi kendarai dengan truk besar pengangkut pasir. Kurasa, pengemudinya terlalu tolol sampai tak sadar bahwa bodi mobil itu besarnya tidak sembarangan, sehingga malah makin menimbulkan kekacauan di lalu lintas yang padat.
Bukan hanya itu, ia membunyikan klaksonnya berkali-kali, mencoba kembali masuk ke dalam barisan yang sedari tadi tak Luthfi beri. Lelaki itu selalu menginjak pedal gas di saat yang tepat ketika sang pengemudi Nissan baru memutar setirnya ke arah kiri yang kembali dibantingnya ke kanan karena tak ada ruang yang cukup baginya. Jadi, lajur di jalan tol ini malah bertambah satu karena kebodohan si pengemudi Nissan.
Aku tak akan berbohong, aku menyukai tindakan Luthfi. Setidaknya, dia tahu bagaimana harus memperlakukan orang yang berkendara seenaknya.
Kalau aku tidak memikirkan kelakuannya yang aneh dan tak jelas, Luthfi sebenarnya mirip orang pada umumnya. Dia tidak pernah terlihat nyentrik selain topi yang selalu dikenakannya. Bahkan, ketika mengemudi pun dia sengaja mencari radio yang menyetel lagu rock klasik yang mendominasi dunia permusikan di tahun 80-an. Ah, ya, sebenarnya ini mobilku, sih, tapi aku tidak keberatan. Selain karena dia tak memberitahu rencana yang telah ia buat untuk menangkap AKP Januar sehingga aku tak dapat memaksanya duduk di belakang dan memberi navigasi, aku masih belum bisa percaya sepenuhnya atas pernyataan yang ia berikan.
Seperti yang telah kubilang berkali-kali: aku tak memiliki alasan untuk tidak memercayainya, tetapi aku juga tak memiliki bukti untuk memercayainya. Namun, jika apa yang ia katakan itu benar, aku tak berbohong jika ... aku benar-benar ingin AKP Januar kehilangan nyawanya.
Aku menarik napas dalam-dalam, menghirup udara dingin akibat pengatur suhu yang dinyalakan, fasilitas paling penting untuk seluruh pemilik mobil.
Tiga jam dalam perjalanan, tetapi sepatah katapun belum keluar dari mulut kami berdua. Sialnya, aku mulai tak tahan. Kemacetan ini bukan wahana yang menyenangkan, ditambah si pengemudi Nissan menyebalkan itu masih membunyikan klaksonnya—bahkan lebih keras. Beberapa pertanyaan terkait Luthfi terlintas dalam benakku, beberapa di antaranya merupakan pertanyaan konyol, jadi aku tak dapat membendungnya lebih lama lagi.
"Jadi, apa pekerjaanmu sebenarnya?"
Fokus Luthfi pada jalanan sedikit goyah. Matanya menilik tajam, melihat ke arahku. Kurasa ia berpikir jika aku telah mengganggunya, melakukan tindakan yang seharusnya tak kulakukan. Nah, dari sinilah kau akan melihat bagian yang berbeda antara Luthfi dengan orang-orang pada umumnya. Ia kelihatan seperti setan yang bersemayam dalam tubuh manusia.
Namun, biarpun begitu, aku tak ingin terintimidasi olehnya. Jadi, kulemparkan pandanganku ke arah jendela luar. Sungguh, ban besar truk bukanlah pemandangan yang menarik, tapi itu lebih baik daripada tatapan Luthfi yang mengerikan sekaligus menyebalkan.
"Kau sudah tahu," katanya, sambil terus melajukan kendaraan dengan kecepatan tak lebih dari sepuluh kilometer perjam.
Tentu, aku tidak setuju dengan Luthfi.
"Maksudku pekerjaanmu yang sebenarnya, benar-benar sebenarnya, sebelum ... anggap saja kau menjadi seorang penuntut keadilan."
Luthfi kembali mengalihkan pandangannya ke jalanan, atau mungkin lebih tepatnya ke arah mobil yang berada di depan kami, karena untuk melihat jalanan dalam kemacetan seperti ini tidaklah mudah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Detektif Roy : Keparat-keparat Metropolitan [SELESAI]
Mystery / ThrillerAKP ... ah, Komisaris Roy kini harus berhadapan dengan musuh yang mendeklarasikan perang dengannya. Namun, tindakan yang dilakukan Komisaris Roy malah membuatnya kembali menyelidiki kasus tujuh tahun lalu yang melibatkan seorang anak biasa. Atau...