Sendang Awu

923 82 16
                                    

Nay mengamati satu persatu foto ibunya. Semua di usia yang sama. Sekitar tiga puluhan. Berulang-ulang dia meletakkan tangannya di atas satu foto itu, tapi menariknya lagi. Ada keraguan untuk mencoba melihat ke masa di mana foto itu dibuat. Pasti ada tujuan seseorang mengirimkan semua itu pada Nay. Tapi apa?

Nay memutuskan untuk mencoba. Dengan konsentrasi penuh Nay meletakkan tangannya di salah satu foto. Nay tertarik ke lorong gelap. Tidak terlihat apapun di sana. Yang terdengar hanya gemericik air, angin dingin yang semilir dan suara gesekan daun-daun bambu. Suasanya begitu nyaman. Berulang kali Nay melangkahkan kakinya berulang kali juga bunyi kecipak air mengikuti. Seperti sedang berada di sungai bebatuan dengan air jernih yang mengalir.

Nay tidak melangkah lebih jauh. Percuma, pikirnya. Dia juga tidak bisa melihat apapun. Nay berdiri menuju jendela yang terbuka. Tatapannya nanar pada lampu-lampu yang terlihat kecil berjajar membentuk pola asimetris di tengah kota. Dia bergeming. Menerka-nerka maksud dari kejadian tadi. Mungkinkah itu sebuah petunjuk?

Dipeluknya erat bantal di sofa. Sambil menatap jauh ke luar, air mata Nay mulai mengalir. Perasaan rindu pada ibunya menjalari pikiran. Terlalu banyak ruang di hatinya yang bertahun-tahun dia biarkan tak terisi.

"Nay, jangan menangis, Sayang." Sri mendekati Nay. Entah sejak kapan dia ada di situ. "Kau butuh bahu untuk bersandar. Seseorang untuk mendengarkan. Bukan makhluk tak kasat mata seperti aku ini."

Nay tidak menanggapi. Dia masih membenamkan mukanya ke bantal. Tangisnya sudah mulai reda.

"Mungkin kau benar, Sri." Nay mengangkat kepalanya.

"Ketuk pintunya, Nay. Dia tidak jauh. Hanya butuh beberapa langkah saja dari sini."

"Rey maksudmu?" Dahi Nay mengerut.

"Jangan bohong, Nay. Soal cinta aku lebih tahu. Jangan sampai kau terlambat menyadari. Dia tidak akan menunggumu terus." Sri mendekatkan mukanya di depan Nay. "Pergi sana! Ketuk pintunya."

"Apa tidak memalukan perempuan mendatangi laki-laki? Gak mau ah!"

"Nayara, kamu ini gadis jaman batu kah? Keras kepala banget!"

"Zaman Dinosaurus! Puas!" Nay membalas ketus.

"Sudahlah, pergi sana! Simpan dulu gengsimu itu. Tenang aku tidak akan menggangu. Walau sebenarnya aku cemburu," kata Sri terkikik melayang pergi.

Nay menghela napas. Memang selama ini Rey adalah laki-laki yang paling peduli dengannya. Selalu siap membantu kapan saja dibutuhkan.

Setelah sedikit merapikan diri, Nay mengetuk pintu apartemen Rey. Berkali-kali, tapi tidak dibuka. Mungkin belum pulang, pikir Nay. Dia mengetuknya sekali lagi. Akhirnya, Rey muncul membuka pintu.

"Hey, gadis cantik mengetuk pintu rumahku? Bakal ada badai pasir ini. Kejadian langka." Rey membuka pintu dengan hanya mengenakan handuk. Dada bidangnya terlihat jelas di depan mata. Cepat-cepat Nay menundukan pandangannya. "Maaf, aku baru selesai mandi," sambung Rey.

"Rey, handuk satunya mana?" Suara perempuan terdengar dari dalam.

"Sebentar ya, Nay." Rey kembali masuk tanpa menutup pintu.

Nay mengepal kuat tangannya. Ada sesuatu yang tiba-tiba bergemuruh di dada. Dia datang di saat yang tidak tepat. Saranmu sangat tidak bagus Sri!

Nay mengambil langkah. Bergegas menuju lantai paling atas apartemen itu. Dia mengomeli dirinya sendiri. Bodohnya aku! Bodoh!

"Aaa ...!"

Satu teriakan Nay sepertinya mengejutkan makhluk-makhluk astral yang sedang berkumpul di atap gedung apartemen. Terdengar suara-suara menggeram silih berganti dari gerombolan Genderuwo di belakangnya.

NAYARA (Underworld Adventure)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang