Menjemput Maut

815 78 18
                                    

Tanah di sekitar suara gemuruh mulai retak. Energi itu menuju ke permukaan. Nay naik ke udara, dia mengambil jarak untuk berjaga-jaga.

Brakkk!

Tanah merekah bersamaan dengan sebuah bola energi yang besar terlontar ke udara. Berwarna jingga dan transparan. Terlihat jelas serabut merah memenuhi rongga bola energi itu. Persis kantung embrio unggas tanpa cangkang. Satu sosok berada di dalamnya. Tidak terlihat jelas bentuknya. Hanya seperti seseorang yang sedang berdiri.

Hawa panas merambat keluar dari bulatan energi di depan Nay. Tanpa membuang waktu ia menyerap hantaran energi itu. Tubuhnya dengan cepat menyesuaikan diri. Energi Astramaya telah menyatu dengannya.

Sosok di dalamnya terlihat semakin membesar. Mendorong selubung yang semakin meregang. Sebentar lagi makhluk itu akan keluar. Nay terus memperhatikan sambil sesekali membuka dan menutup kepalan tangannya. Menyerap energi sebanyak yang dia bisa.

Selubung atas terkoyak. Kepala makhluk di dalamnya menyembul keluar. Seketika selaput energi berubah menjadi butiran serupa pasir jatuh berhamburan ke tanah. Kini, berdiri di hadapan Nay sosok lelaki berbadan kekar, memandangnya dengan sorot mata tajam. Tubuhnya sempurna. Tidak seperti bayi yang Nay lihat di bejana milik Suri.

"Bertemu juga kita akhirnya. Aku sudah lama bersabar menantikan saat ini." Sosok itu melangkah mendekati Nay. "Serahkan saja tanganmu. Akan kuberikan yang Affandra inginkan." Dia menyeringai sinis.

"Aku tidak peduli dengan urusan kalian." Nay melangkah mundur. Terlalu dekat dengan sosok itu membuatnya tidak nyaman. "Untuk apa lagi tanganku ini bila kau sudah memilikinya?"

"Jangan terlalu percaya dengan apa yang kau lihat, Nayara." Sosok itu menghentakkan satu kakinya ke tanah. Terbuka sebuah lubang energi. Pendar cahaya hijau memancar bersamaan dengan munculnya sebuah keris berenergi kuat. "Ini yang Affandra inginkan, bukan? Kekuasaan!" Dia mengambil keris yang mengambang setinggi dada Nay, lalu memasukkannya ke dalam sarung yang terikat di pinggangnya.

"Jadi kau, Tarangga?"

"Menurutmu?" Dia balik bertanya.

"Entahlah! Aku tidak terlalu yakin." Nay menjawab tak pasti.

"Seorang Nayara bahkan tidak bisa memastikan siapa aku." Sosok itu tertawa membawa tubuhnya ke udara. Nay dengan cepat mengikutinya.

Tidak lama mereka sampai di tepi kawah Astramaya. Tarangga berdiri memunggungi Nay, tepat di mana ibunya dulu bersimpuh dan menangis setelah menjatuhkan tubuh bayinya ke dalam kawah itu.

"Aku suka berdiri di sini. Manaruh telapak kakiku di atas jejak kaki perempuan yang seharusnya kupanggil, Ibu. Kadang aku merasa benci padanya, tapi seringkali aku merasa rindu."

"Untuk apa kau katakan itu padaku? Toh, tidak akan mengubah apapun. Sejujurnya aku lebih suka kalau kita sudahi saja semuanya. Aku tidak akan menuntut balas atas apa yang menimpa ayah ibuku. Aku sudah berdamai dengan diriku sendiri. Apa yang tertulis itulah yang akan terjadi."

"Kau tidak tahu rasanya dibuang oleh orang-orang yang semestinya melindungimu. Terlalu dalam luka yang sudah mereka goreskan! Tidak termaafkan! Aku harus menguasai dunia bawah. Itu satu-satunya cara membuat mereka menyesal telah membuangku!"

Tubuh Tarangga mengeluarkan hawa panas. Kobaran api memenuhi seluruh bagian tubuhnya. Aliran energi dari dalam kawah mulai berloncatan ke udara. Sepertinya Tarangga sedang memberikan perintah. Mulut dan tangannya bergerak seirama.

Nay yang sedari tadi sudah menyerap energi di sekitarnya mencoba membaca energi pada tubuh Tarangga. Dia ingin memastikan bahwa laki-laki itu benar-benar Tarangga. Mata batin Nay buka lebih dalam. Konsentrasinya tertuju pada tangan dan kaki laki-laki itu. Pasti ada perbedaan energi antara yang asli dan tempelan.

NAYARA (Underworld Adventure)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang