Part - 5

43 6 0
                                    

"Reynal?" Benar saja laki-laki itu menoleh, Zila mendekat. "Ngapain Lo berdiri disini, nggak masuk?" Reynal menggeleng "Nunggu Maya" ucapnya. Zila mengangguk.

"Nggak berangkat bareng?" Zila menatap Reynal dengan penuh tanda tanya dan keheranan.

"Dia nggak mau" jawab Reynal, Zila hanya ber oh ria.

"Nggak mau? Lah kenapa?" Reynal berdecak sebal. "Tau,,Bingung gue sama dia" Zila tersenyum kecil terlihat samar.

"Aneh banget si Maya" Reynal menaikkan bahunya. "Udah lama disini?" Tanya Zila lagi.

" 1 jam lalu" Zila terbelalak, "lah dia kemana? Ngoyot dong Lo disini?.

***

"Ayok masuk dek" Zila menoleh terlihat sang Abang yang sudah berdiri dibelakangnya. Tirta mengernyit kala melihat laki - laki yang tidak Tirta kenal dan ia yakin sepantaran Zila. "Siapa nih?" Celetuk Tirta.

"Reynal bang, temen sekelas Zila" Tirta hanya mengangguk. Kemudian mengulurkan tangannya "Tirta"  Reynal membalas ulurannya "Reynal"

"yaudah, gue masuk dulu Rey, Lo mau ikut kita masuk apa masih mau nunggu si Maya disini?" Rey berfikir sejenak, kemudian mengangguk "gue ikut deh" Zila dengan semangatnya ia masuk dalam mall besar itu, mimpinya selama ini bisa terwujud jalan dengan laki - laki sekelasnya itu. menurut Zila malam ini sejarah penting dalam hidupnya karena bisa jalan dengan Reynal sosok yang ia suka sejak lama tapi semua itu Zila pendam tanpa satu orang pun yang tahu.

Mereka bertiga berjalan secara berdampingan mengitari mall, karena   show bioskop untuk film yang ingin mereka tonton pemutarannya masih setengah jam lagi, dan mereka memutuskan untuk berkeliling sejenak.

Reynal beberapa kali memasuki beberapa toko di mall diikuti Tirta dan Zila dibelakangnya, sesekali dia meminta saran dan pendapat kepada keduanya. Akhirnya Reynal mendapat tas merah untuk sang bunda dengan brand yang cukup terkenal disalah satu toko pilihan Zila.

Senyum tampak bersinar dari Zila, sang Abang dan Reynal sudah cukup akrab mungkin karena sama- sama cowok hingga satu pemikiran hingga satu sama lain nyambung. Zila merasa bahagia sekali malam ini walau dari tadi terabaikan oleh kedua pria yang terus mengobrol itu.

"Bang udah hampir jam 9" Tirta menoleh kearah adiknya "yaudah yuk langsung ke studio" Tirta berlalu kemudian diikuti Zila dan Reynal yang tak sengaja berdampingan. Zila jantungnya seperti habis lari maraton, detakan yang cukup keras tak terkendali tampak canggung dan gagu ketika berada tepat disamping Reynal, tidak bisa dibohongi lagi Zila benar-benar menyukai Reynal.

"Gimana Maya sudah ada kabar?" Tanya Zila, dia memberanikan diri untuk bertanya, lebih tepatnya mencairkan suasana yang dingin sejak berdampingan dengan Reynal.

"Belum" jawab Reynal. "Dia nggilang"Lanjutnya.

Studio nampak ramai, para muda- mudi, orang dewasa, bahkan anak kecil semua memasuki untuk pemutaran film bergendre keluarga itu.

Zila duduk diantara Reynal dan Tirta,  sedikit gugup karena Zila kini benar - benar dekat dengan Reynal.

Pemutaran dimulai, studio tampak hening hanya suara audio dari film yang ada, semua mahluk distudio itu fokus dengan alur dan cerita dari film layar lebar ini. Rasa sedih, haru, bahagia, lucu komplit dalam film bergendre keluarga ini.

Setelah kurang lebih 1 jaman setengah pemutarannya, semua orang berbondong - bondong keluar dari studio gelap itu.

"Auw" pekik Zila, dorongan dorongan dari belakang membuatnya terjengkang ke depan, belum sampai terjatuh dilantai seseorang menangkapnya dari depan.

Zila terus mengucapkan syukur karena mukanya tidak sampai lantai dan diinjak - injak oleh banyak orang.

"Hati - hati Zil" Zila mendengus kesal, "gue udah hati - hati Rey, noh ibu gendut tadi yang nggak bisa selow" Lanjutnya dengan nada sebal.

"kenapa dek?" Tanya Tirta tiba - tiba dibelakang. "Ibu - ibu ganas nyenggol Zila bang,dan Zila hampir jatuh" Reynal yang mendengar terkikik geli, Tirta mengernyitkan alisnya.

"Kalo ngomong sembarangan,nggak boleh gitu" Tirta menarik kepala Zila kemudian mendekap dan mencium beberapa kali pucuk kepalanya, jika khalayak umum melihat kedua saudara kandung itu pasti berargumen bahwa mereka adalah sepasang kekasih, Tirta yang dianugerahkan baby face membuatnya terlihat seumuran dengan adiknya padahal sudah berkepala dua.

"Gue pulang dulu bang, Zil" ucap Reynal, dibalas anggukan oleh keduanya.
" Hati - hati" Reynal mengacungkan jempolnya kemudian melambaikan tangannya sebagai tanda perpisahan.

"Seneng banget dek?" Zila menoleh, kemudian menggeleng "Apaan enggak, biasa saja" Zila berusaha untuk menahan senyum, karena kali ini dia tahu sang abang sedang menggodanya.

"Suka sama Rey?" Tirta mengeluarkan seringainya menatap sang Adek dengan penuh selidik dan menaik turunkan kedua alis tebalnya.

"Apaan Sih bang, Enggak" Sangking gemasnya Tirta meremas kedua pipi gembil milik sang adik yang tampak merah dan terlihat lucu.

"Nggak suka tapi merah pipinya" Zila memberontak dari cengkraman sang Abang. "Abang Sakittttt" Tirta berlari dengan terbahak, Zila mendengus kesal abangnya sangat menyebalkan.

***

Terimakasih tuhan, malam ini terlihat cerah dengan senyuman yang dekat darinya. Pertemuan singkat yang menyenangkan walau siang hari ini dia menyebalkan.

~Zila note's: 10 p.m~

Zila menutup buku pink kecil itu, dan kemudian ia masukkan dalam laci putih tepat disisi kanan ranjang miliknya. walau sudah larut tapi Zila masih terjaga, masih terbayang bagaimana lekuk wajah Reynal dari dekat. Menurutnya sangat sempurna, dan mimpinya kali ini bertambah membelai setiap lekuk itu dengan jari mungil Zila.

Rasa kantuk tiba - tiba menyerangnya,  perlahan mata hazel itu tertutup dengan sempurna.

TBC?
Jangan lupa vote readers 🙏😄.

SilentiumTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang