Part - 8

46 6 0
                                    

"gue pulang dulu, dah malem nih"

Karin mengangguk, Aljori merah ditangannya menunjukkan pukul 10 p.m dan ini menurut Zila sudah sangat malam, karena biasanya hanya sampai pukul sembilan paling mentok setengah 10 sudah sampai rumah. Tapi kali ini jam 10 masih berada dirumah sang sahabat, semua gara - gara cerita yang panjang Soal Zayn Malik ex one direction  idola mereka berdua, yang tidak ada habisnya jika menyangkut dengan Zayn.

Kala keluar dari rumah Karin, pertama yang ia rasakan adalah suasana sepi dan sunyi. Kemudian ia nyalakan motor dan berkendara untuk pulang.

Mata Zila menyipit, ketika melihat seseorang wanita yang cukup ia kenali berada di diskotik tempat para muda mudi yang ingin  berfoya - foya. Wanita itu berjalan dengan sempoyongan  dan dipapah oleh seorang laki - laki bertelanjang dada menuju mobil bermerk  Mercy dipinggir jalan.

Maya? Batinnya. Zila berhentikan sejenak motor miliknya kemudian ia ucek matanya untuk memperjelas penglihatannya dan  membuktikan  bahwa dia benar - benar Maya kekasih Reynal.

Zila menutup mulutnya yang ternganga, dia benar - benar Maya. Zila tak menyangka siapa sebenarnya Maya itu, jadi benar ucapan Karin kemarin sore Maya adalah wanita bar - bar.

Mencoba untuk tidak memperdulikan Maya kali ini. Zila kembali menghidupkan motornya dan segera ia tancap gas.

Sesampainya di rumah, lampu rumah setengah menyala maksudnya ada yang sudah redup dan juga masih terang. Zila masuk terlihat Abang nya masih setia duduk dengan televisi yang masih menyala.

"Belum tidur bang?" Tirta menoleh dengan tatapan yang tajam. "Dari mana?" Tidak menjawab pertanyaan sang Adik, Tirta malah balik bertanya. Zila berdecak kemudian berjalan mengitari sofa putih yang diduduki Tirta , ia duduk di samping sang Abang.

"Rumah Karin" Tirta mendengus sebal dengan tingkah adeknya itu, tidak merasa bersalah atau bagaimana, malah dengan santainya ia duduk disamping dan meminum Teh hangat milik Tirta.

"Ditangan kamu namanya apa? " Zila mengernyit, dengan pertanyaan yang sulit dimengerti dari Tirta.

"Ini?" Zila mengangkat tangannya dan melihatkan jam merah miliknya.

"Ya jam lah bang" balas Zila, "tau kegunaannya?" Zila mengangguk.

"Kalau tau, kenapa main sampai selarut ini?" Ucap Tirta dengan rahang yang sudah terlihat mengeras.

Zila terdiam dia mencerna setiap perkataan Tirta, beberapa detik kemudian Zila menyadari apa maksud dari pertanyaan abstrak sang Abang tentang benda ditangannya. Abangnya kini marah karena Zila lupa dengan ketetapan main dirinya.

"Maaf bang, Zila terlalu asyik bercerita dengan Karin" Zila menatap sang Abang dengan tatapan sendu andalannya, dan mata yang sedikit berkaca, Zila terlalu sensitif jika abangnya sedang marah.

Tirta menghela nafas, jika adeknya sudah menatapnya seperti itu maka tandanya ia harus menghentikan aksi marahnya, meredam emosinya. Karena rasanya Tirta tak rela mata Zila mengeluarkan air mata karena dirinya.

"Huh...pinter banget sih dek, bikin Abang luluh" Zila menunduk. "Padahal tadi emosi Abang sudah dipucuk, tiba - tiba turun lagi bahkan lenyap" tutur Tirta lagi.

Dengan lembut ia tarik kepala Zila dalam dekapannya, terdengar isakan kecil yang keluar dari mulut adiknya. Tirta sudah tahu tabiat bagaimana sifat Zila, sangking manjanya ditatap tajam saja sudah nangis.

"Kok nangis?" Zila menggeleng kemudian memeluk erat Abangnya. Tirta tersenyum kecil kemudian ia usap pucuk kepala Zila. "Besok papa pulang" Zila mendongak dengan binaran bercampur efek air mata seperti kaca.

"Beneran?" Tirta mengangguk kecil, "sekarang kamu tidur, udah malam" Zila segera bangkit dengan antusias,kabar ini merupakan kabar paling bahagia menurutnya karena hampir 1 Minggu ini sang papa keluar kota dan rindu yang teramat dari anak manjanya.

***

Matahari kian bersinar megah, mengawali pagi yang cerah nan sejuk ini. Gadis cantik menggeliat dari ranjangnya kemudian menyadarkan jiwanya dan beranjak ke kamar mandi untuk membersihkan bau kasur yang melekat di seluruh tubuhnya.

Zila sudah siap dengan segera perlengkapan alamamter dan hal lainnya untuk  kesekolah.

Tiba disekolah Zila berpaspasan dengan Reynal, Zila menggigit ujung jarinya.

"Zil" panggil Reynal. Zila semakin deg degan. Dengan keberaniannya Zila menoleh.

"Thank ya bunda gue suka sama kado pilihan Lo" Zila tersenyum kaku,

"Iya syukur deh"

"Yaudah, yuk bareng kekelas"  Zila tercengang, nggak salah dengar kan batinnya. Deg degannya semakin kencang nggak bisa dibiarkan.

Zila terus diam, Reynal mengernyit diajak bareng malah diem.

"Ayok Zil, malah bengong lagi"

"Hehe,,,iya Rey"

Mereka berjalan beriringan, Jangan ditanya lagi bagaimana gugupnya Zila saat jalan berdampingan dengan Reynal.

"Rey.." Zila dan Reynal berbalik kemudian kernyitan muncul di jidat masing-masing, Maya lah yang ia lihat. Maya berpenampilan aneh kali  ini dengan syal yang melingkar di lehernya.

"Sakit?" Tanya singkat Rey.

"Kamu masih marah?" Bukannya menjawab, Maya malah juga bertanya.

Reynal menggeleng. "Kamu sakit?" Tanya Reynal kembali.

"Nggak enak badan"

Zila terdiam bingung dengan penampilan Maya kali ini, apa ini berkaitan yang ia lihat tadi malam atau benar benar sakit? Batinnya. Zila tersadar kali ini hatinya memanas kala Reynal mengusap dahi putih milik Maya.

"Gue duluan" Tanpa basa basi Zila berlari, untuk meredamkan hatinya yang sempat memanas.

Reynal dan Maya seketika menoleh menatap punggung Zila yang semakin menjauh termakan oleh panjangnya koridor. Keduanya saling menatap kemudian sama - sama mengedikkan bahunya.

Reynal menatap sayu sang kekasih,
Reynal tidak tega melihat wajah pucat sang kekasih, kemudian Reynal papah menuju kelas Maya yang ada di sebrang.

"Nggak ke UKS aja yang" secarik senyuman yang terpampang diwajah Maya,panggilan sayangnya sudah kembali lagi tandanya kekasihnya tidak marah lagi.

"Malah senyum- senyum, ke UKS aja ya"

"Nggak Rey, aku hanya nggak enak badan. Jadi nggak papa"

"Pucat kamu, aku nggak tega" Reynal mengelus puncak kepala Maya.

"Nggak papa, kamu kekelas gih udah mau masuk" dengan pasrah Reynal kembali kekelasnya.

Kelas kali ini masih terdengar ramai suaranya seperti hewan yang sedang bersahutan, tampak ramai.

Reynal mengedarkan ruangan ini, kemudian menangkap seseorang yang duduk dibangku nomor dua dari belakanh urutan ke tiga menelungkup kan wajahnya ke tangannya yang ia tekuk. Reynal masih heran dengan kepergiaan Zila tiba - tiba di lorong tadi.

"Zil.." Zila terganggu dengan suara berat itu, dia menegakkan tubuhnya.

"Kenapa?"

"Apanya?" Reynal berdecak.

"Lo tadi lari gitu aja" Zila mengedikkan bahunya.

"Apa urusannya sama elo?" Reynal menggelengkan kepalanya "Yaudah" ucap Zila cuek.

"Aneh Lo" ucap Reynal berjalan ke bangku nya dibelakang.

TBC?
Jangan lupa vote readers 🙏😃😊


SilentiumTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang