9 - Don't Cry

82 37 2
                                    

Jangan lupa vote+komen. Tq:)

.......

Kania menghembuskan napas berat. Sudah cukup jauh ia berjalan, dan dapat dipastikan posisinya kini telah terlampau jauh dari rumahnya.

Ia masih terisak dalam diam. Sesekali, ia menyeka air mata nya yang tumpah berkali-kali tanpa diminta.

Ia melirik ke arah kiri dan kanan. Sunyi. Malam telah benar-benar larut mengiringi kesedihan Kania yang tidak dapat dilukiskan saat ini.

Merasa lelah, ia memutuskan untuk beristirahat di sebuah taman kecil yang berada tak jauh dari sana. Kania lalu duduk di atas bangku taman berwarna coklat gelap yang terbuat dari kayu namun masih cukup kuat.

Berkali-kali angin berhembus dan menerbangkan beberapa helai rambut Kania yang ikut basah karena terkena air mata. Matanya menatap lekat areal jalanan sepi yang hanya disoroti beberapa lampu dengan tingkat pencahayaan redup.

Pikirannya masih menerawang. Lebih tepatnya, pada peristiwa gempar yang terjadi beberapa jam lalu. Air mata nya kembali menitik lagi saat mengingat rentetan peristiwa menyedihkan itu.

"Papa jahat.." Gumam Kania sambil terisak. Ia masih tak percaya dengan apa yang dilakukan oleh papanya tadi. Untuk pertama kalinya di dalam hidup Kania, ia melihat dengan mata kepalanya sendiri bahwa mama nya ditampar dan itu pun dilakukan oleh papanya sendiri. Iya, lelaki pertama yang sangat Kania sayangi.

Kania pikir, sesering apapun orang tuanya bertengkar, mereka tidak akan pernah mempunyai niatan untuk berpisah. Namun kali ini perkiraan Kania meleset jauh. Ia merasa benar-benar telah ditampar keras oleh kenyataan dimana hubungan keluarga nya sudah ada di ujung tanduk sekarang.

"Mbak? Permisi?"

Kania tersentak, saat tiba-tiba suara seseorang terdengar memanggil dan membuyarkan lamunannya.

"Hah?" Kania makin terkejut saat menolehkan tatapannya ke arah sumber suara.

"Lo?" Balas orang itu tak kalah terkejut.

"Ngapain kakak disini?" Tanya Kania langsung.

"Lo sendiri ngapain malem-malem ada disini?" Tanya lelaki tampan berperawakan tinggi dan berkulit putih itu. Ya, dia Arga!

Kania tak menjawab. Ia hanya diam saja, masih mencoba berpikir panjang kenapa laki-laki itu bisa ada disana. Apa mungkin Arga mengikutinya..? Ah tidak,. itu adalah kege-eran tingkat akut yang pernah terpikirkan di benaknya. Batin Kania dalam hati.

"Lo budeg? Bisa denger gue kan?" Sentak Arga keras.

"Eh. Iya kak. Ngapain kakak ada disini?" Jawab Kania mencoba menormalkan raut herannya. "Lo ini ditanya kok malah balik nanya!?" Jawab Arga sinis.

"Hehe." Kania nyengir kuda.

"Lo nangis?" Tanya Arga seketika. Ia baru menyadari bahwa mata gadis di hadapannya itu sembap dan wajahnya terlihat pucat.

"Oh nggak papa kak." Kania bergerak cepat lalu beralih pandang dan menghapus sisa air mata yang masih membasahi pipinya. Gara-gara kedatangan Arga yang tiba-tiba tadi, Kania sampai lupa akan acara menangis nya sesaat.

"Kenapa dihapus? Gue udah tau." Kata Arga dingin. Matanya masih menatap lekat Kania yang terlihat kelabakan sendiri.

"Nggak papa kak." Kania lalu menggeser duduknya, ia memberikan space seandainya Arga memiliki niatan untuk duduk, karena sedari tadi lelaki itu hanya berdiri saja.

Tak butuh waktu lama, Arga langsung mendudukkan dirinya di atas bangku yang sama. Ia melemparkan pandangannya ke sekitar. "Lo disini sendirian?" Tanya Arga memecah keheningan.

HURTSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang