SATU

7.2K 490 12
                                    

Enam bulan sebelumnya

“Ayu besok datang ke kantor aja, langsung temui Olive bagian produksi. Jangan lupa bawa CV, dan rekaman audio dalam bentuk CD, ya,” ujar lelaki paruh baya, setelah beberapa kali mendeham di seberang telepon, “Itu sebenarnya hanya formalitas aja, untuk kelengkapan berkas profil penyiar.”

“Tapi, Om. Mereka nggak perlu tahu kalo Ayu ini keponakan Om.”

“Kenapa begitu? Nanti prosedurnya bakal panjang, Ayu. Bisa-bisa kamu bolak-balik kantor tiga sampai lima kali. Dari pertama bawa berkas lamaran dan rekaman audio, kemudian setelah studio menganggap suaramu dibutuhkan ... Itu kalo dianggap cocok, lho ya. Mereka menghubungi kamu, lalu kamu harus datang audisi untuk membawakan acara yang mereka tentukan ... Biasanya sesuai karakter suara. Belum lagi ….”

“Nggak masalah, Om. Ayu bakal ikutin prosedur sesuai aturan, lagipula kemarin sudah sempat browsing dan semua persyaratan sudah Ayu siapkan, tinggal esok pagi antar ke kantor aja.”

“Tunggu, tunggu. Atau begini saja. Om coba telepon bagian director program, sepertinya dalam waktu dekat Spekta akan siaran di sekolah-sekolah ...,"

"Spekta ngovi in da school, Om?" Ayu berdiri, "Itu salah satu program kesukaanku di Spekta, Om!"

Ayu terkekeh mengenang Ngobrolin yang viral dan spektakuler di sekolah bareng tim Spekta tujuh tahun lalu saat ia masih berseragam putih abu-abu.

Tradisi yang sedang viral di sekolah, dibahas dan ditelanjangi habis-habisan oleh tim Spekta.

Bulan Oktober, salah seorang teman perempuan, menjadi korban kejahilan tradisi di hari ulang tahunnya ke-17. Beberapa siswa laki-laki dengan penuh nafsu mengangkat dan melemparnya tanpa perasaan ke kolam ikan. Seekor ikan besar menerobos roknya, hingga ia kesakitan. Keesokan harinya teman perempuan itu mengalami sakit di pangkal paha dan tidak masuk sekolah selama empat hari.

"Nah, kalau begitu kamu pasti bisa menangani acara itu. Om akan usulkan agar kamu terlibat di sana. Cocok."

Seketika Ayu tersadar. Kalau ia benar menerima tawaran itu, berarti harus siap bertemu dengan orang banyak. Sontak pikirannya melayang, membayangkan dirinya sedang berada di tengah-tengah kerumunan siswa putih abu-abu dan putih biru, beserta para guru dan staff. Tangannya gemetar. Bisa saja satu-dua dari mereka mengenal Ayudya si ratu pesta. Bisa jadi mereka kenal dari kakak, teman, atau dari mana saja. Karena zaman sudah tidak kolot lagi. Beberapa aturan pesta, karaoke, kelab, pub, dan diskotek, tidak terlalu kaku di batasan usia. Ya, apalagi pengunjung yang pandai memanipulasi usia.

“Ja - ja - jangan, Om. Nggak perlu. Ayu coba antar lamaran ke kantor aja. Tapi bener kan, orang studio nggak ada yang kenal Ayu?"

Ayu merasa masih harus meyakinkan diri sendiri bahwa tidak ada seorang pun yang mengenalnya.

"Lho, ya Om nggak tau mereka kenal kamu atau nggak. Kamu ... Sebentar. Ini Om kirim data karyawan ke emailmu. Kamu bisa pastikan sendiri setelah cek data itu."

Ayu menarik napas dalam dan berjalan mendekati komputer di meja sambil memasang earphone.

Jangan sampai mereka tau secuil, seuprit, apalagi sampai seabrek masa laluku. Tidak!

"Mas Hendra!" teriak Ibu Tjandra seraya merebut posel dari tangan Ayu, "Pokoknya aku nggak mau Ayu ketemu sama laki-laki itu lagi lho, Mas."

"Laki-laki yang mana to, Tjan?"

Ibu Tjandra mematikan sistem loudspeaker, menjauhi Ayu, dan untuk beberapa saat dia terlihat serius membahas sesuatu bersama sepupu satu-satunya yang kini tinggal di Surabaya.

"Pokoke intinya ndak boleh ada yang tahu kalau Ayu sekarang sudah balik Semarang, apalagi kerja di tempatmu." Ibu Tjandra mengembalikan ponsel setelah mengangguk dan bergumam tanda menyatakan kesepakatan.

“Oke. Tadi Mamimu sudah menjelaskan panjang lebar, dan intinya... Om setuju. Tidak masalah kalo memang Ayu mau identitasnya dirahasiakan, silakan,” Om Hendra mengakhiri pembicaraannya. "Tunggu. Itu datanya sudah Om kirim, silakan Ayu cek dan beri kabar Om secepatnya."

“Baik, Om. Terima kasih banyak.” Ayudya menutup telepon dan meletakkannya ke nakas lalu melempar tubuhnya ke kasur. Dadanya bergemuruh, membayangkan suasana PT. Intra Spekta esok hari.

Ah, data karyawan... Setelah memejamkan mata beberapa saat, aku akan segera memastikan tidak ada seorang pun yang mengenalku.

Kedua tangannya terlentang, Ayu memperhatikan satu per satu sticker glow in the dark bermotif bintang kesukaannya yang tersebar di langit-langit sambil menghitung, "Satu, dua, tiga, empat, ...."

======

Yeeaay...
Kebahagiaan tersendiri bisa menyelesaikan bagian satu.

Manteman, terima kasih sudah berkenan meluangkan waktunya untuk membaca kisah yang tak seberapa ini, ya.

Semoga aku terus bisa konsisten publish satu bagian tiap hari.

Mohon dukungan dan semangatnya, ya.
Klik vote dan komen...

Sekalian titip jaringan provider, biar kita bagi rata.
Maklum, sinyal ke sini rada malu-malu.
😂😂

Baiklah.
Sekali lagi ...
Terima kasih.

AM to FMTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang