"Andai bisa menghentikan waktu, aku ingin kita tetap berdua seperti ini, Mas." Ucapan lembut keluar dari bibir mungil perempuan berambut curly sepinggang. Tatanannya apik dan rapi, dipilin kecil bagian kanan dan kiri, kemudian disatukan di belakang dengan jepit warna merah muda, membuatnya terlihat simpel dan elegan.
Di belakang perempuan itu berdiri seorang laki-laki yang melingkarkan tangan ke perutnya seraya mengecup leher jenjangnya dan berbisik, "Ya, hanya ada aku dan kamu."
***
"Permisi ...," ujar laki-laki bertubuh tegap mengejutkan seorang pengunjung di meja nomor lima. " ... Ini kopinya." Setelah meletakkan secangkir kopi hitam dan nasi goreng pesanannya, tangan laki-laki itu menyugar rambut bagian depan yang acapkali turun menutupi mata.
"Terima kasih ...," sahutnya. Melalui sudut mata, dia menangkap nama yang tertera di bagian dada kiri laki-laki itu. " ... Farel."
"Sama-sama," sahut Farel, kemudian berlalu meninggalkannya. Belum jauh kaki Farel melangkah, terdengar suara pengunjung itu memanggilnya.
"Nasi goreng buatanmu paling perfect."
Farel tersenyum dan mengucapkan terima kasih, sebelum melanjutkan langkahnya.
Roy Prasetyo. Hampir dua bulan terakhir, kafe bergambar pelangi di salah satu dindingnya dengan desain warna-warni menjadi tempat terfavorit untuk menikmati secangkir kopi pagi dan seporsi nasi goreng, serta suasana cerah yang seolah menghipnotis pengunjung agar siap menjalani hari.
Ingatan Roy tentang perempuan berparas cantik dan lembut yang berhasil mengelabuhinya dengan segala rayuan, kembali merajai pikirannya. Ia rela menjadi manusia paling bodoh karena perempuan yang menjual air mata dan cerita demi keluarga.
Hingga hari ini, sudah 25 tahun Roy tidak pernah mendengar kabar tentang perempuan itu lagi. Sejak terakhir kali ia menandatangani surat jual beli tanah dan hak guna bangunan.
Semua menggelinjang ke permukaan sejak Roy mengenal sosok penyiar yang suaranya terdengar membulat alami di dalam kerongkongan, dan meninggalkan jejak rasa penasaran, setelah mendarat di telinga. Suara yang sempurna dan mengingatkannya kepada seseorang.
Helaan napas dan deheman ringan di sela-sela tiap ujarannya kian menjadi candu bagi siapa pun sehingga ingin mendengarnya lagi, pun untuk Roy yang usianya bahkan sudah memasuki setengah abad.
Gila! Kalian benar-benar mirip, ucap Roy dalam hati seraya menatap layar ponselnya. Semua yang ada pada perempuan itu membuatku ingat kamu. Tatapannya saat menolak ajakan makan siang, bukan karena benar-benar tidak mau. Dia hanya malu bertemu aku, yang hanya orang asing. Persis seperti kamu saat awal pertemuan kita.
"Nggak mungkin!!" gumamnya lebih terdengar seperti teriakan secara tiba-tiba, sambil menggeleng dan mengetukkan ujung jari ke meja dengan pola tidak beraturan.
Hanya berjarak dua kursi, Farel yang sedang duduk dengan salah satu bagian keuangan kafe sambil mengerjakan pembukuan bulanan sontak menoleh ke arah Roy, laki-laki paruh baya dengan kopi hitam di depannya yang sudah kehilangan uap panas.
"Ada yang bisa dibantu, Pak?" Farel menawarkan.
"Maaf." Roy menyesap kopinya.
...
The smile on your face
let's me know that you need me
There's a truth in your eyes
saying you'll never leave me
The touch of your hand
says you'll catch me if
wherever I fall
You say it best
when you say nothing at all.
[Ronan Keating - When You Say Nothing at All]Ya, rainbow cafe tempat pertama kali Roy mendengar suara Cyan. Sejak itu, paginya selalu diawali dengan menikmati menu kesukaan racikan Farel Marcellino, nasi goreng tuna dan secangkir kopi hitam tanpa gula diiringi alunan lagu dari 102.7 spekta radio.
Selain mendengar suara Cyan mengudara, spekta radio menyimpan kisah pilu antara Roy Prasetyo dan perempuan bernama Tjandra Hadikusuma.
=======
KAMU SEDANG MEMBACA
AM to FM
ChickLit[[CERITA INI MASIH PROSES REVISI DI WORD!]] Ayudya Maheswari menjadi penyiar dengan harapan menemukan kembali arti kehidupan. Ia berusaha meninggalkan masa lalu demi mendapat seberkas kebahagiaan. Menjadi seorang yang sangat berbeda dengan dirinya...