"Nah, ini dia. Sahabat saya, yang sekarang menjadi Ketua BHC Semarang." Tristan mendekati laki-laki itu. "Dia juga punya kafe di daerah Semarang Selatan.""Terima kasih, semuanya. Salam kenal, aku Farel Marcellino," ujarnya tegas. Cyan terperanjat. Laki-laki itu kini ada di hadapannya.
=======
Menyugar, laki-laki itu mengalihkan pandangan, menatap Cyan. Waktu pun terasa berhenti. Seketika semuanya berubah. Seulas garis melengkung manis di wajah Cyan, menjadi datar. Matanya semakin terasa hangat dan meredup. Binarnya digantikan dengan linangan bening yang tertahan. Entakan westlife juga kian sayup dan hanya ada jarum jam yang seakan berdetak di dekat telinga.
Laki-laki itu berjalan mendekatinya. Semakin dekat dan Cyan bisa melihat senyumnya masih sama. Simpel, dengan menarik salah satu sudut bibir ke atas, dibarengi alis yang sedikit terangkat. Sudah lama Cyan tidak bisa memandang wajahnya sedekat ini. Bahkan untuk bertemu hingga berhadapan pun, ini untuk pertama kalinya.
Rasa itu pun masih tetap sama. Meski kehadirannya tidak serta merta membawa Cyan melayang ke awan, seperti beberapa tahun lalu, dekat dengannya, cukup membuat pupil mata Cyan melebar.
Sorot matanya meneduhkan, bahu lebar, dan lengan yang kekar, membuat Cyan ingin segera menghambur ke dalam pelukannya, menikmati kehangatan rengkuhan tangan laki-laki itu. Embusan napas yang terasa menenangkan ketika menyapu puncak kepalanya, selalu berhasil membuat Cyan merasa nyaman.
Sama seperti yang ia butuhkan di pagi menjelang siang ini. Tetapi tubuhnya membeku. Kakinya pun tidak bisa melangkah. Seolah ada bongkahan batu besar menindih dan membuat raganya terpaku. Lebih berat dari itu, gemuruh di dalam dadanya, bak gunung berapi aktif yang siap memuntahkan laharnya. Kerinduan yang tidak pernah bisa diakui selama lebih dari tiga tahun, kini muncul di hadapannya.
Menatap laki-laki itu dalam diam. Sesak. Tanpa disadari, air mata Cyan mulai mengalir perlahan. Napasnya kian tidak beraturan. Mulutnya ingin berujar sesuatu, tapi kerongkongannya tercekat. Menarik napas pun terasa sangat berat.
Ternyata ini rasanya bertemu dengan ayah dari anak yang pernah dilahirkannya. Sama-sama pernah hadir dalam sekejap mata, menggoreskan tanda cinta ke dalam jiwa raga, dan membekas sampai ke relung hati. Namun, keadaan memaksa untuk tidak bisa bersama.
Keringat dingin membasahi telapak tangan dan kaki Cyan, kemudian dahinya, dan hampir merata di sekujur tubuhnya. Tiba-tiba semua menjadi ringan. Seisi ruangan terasa berputar.
Mengerjap-ngerjap beberapa kali dan memijat pelan pelipis dan area telapak tangannya, Cyan berusaha tetap menjalani apa yang harus ia kerjakan.
Menggigit kecil sudut bibir bawahnya, Cyan ingin memastikan bahwa ini bukan mimpi. Sekarang, di depannya, laki-laki itu berdiri, menatap bola mata Cyan lekat-lekat, dan mengucap salam, tapi Cyan tetap bergeming.
Mulutnya terkunci rapat. Tebersit di benak Cyan bahwa Tristan yang merencanakan ini semua. Dengan segera ia menepikan pikiran itu.
Berulang kali Cyan berusaha menarik napas dan mengatur degup jantungnya agar semua kembali seperti sediakala, tapi sia-sia. Laki-laki itu berdiri semakin dekat dan berujar lirih, "Ayu ...,"
Tik... tik... tik...
Waktu berdetik
Tak mungkin bisa kuhentikan
Maumu jadi mauku
Pahit pun itu kutersenyum
Kamu tak tahu
Rasanya hatiku
Saat berhadapan kamu
...
[Kotak - Masih Cinta]Cyan menelan ludah dengan susah payah. Ia memaksa matanya agar tetap terlihat bersinar, dan tangannya mengusap kedua pipi untuk memastikan tidak ada bulir bening yang mengalir. Panas. Matanya terasa berat. Namun Cyan berusaha sebisa mungkin untuk bersikap profesional. Baginya, dua jam bersama laki-laki itu, pasti bisa dilalui dengan baik.
Setelah semuanya selesai nanti, ia bisa bebas mengutarakan kepada siapa dan apa yang dia rasakan, tapi tidak di spekta.
=======
Well, Cyan berada di posisi yang sulit, kali ini...
Dia ingin dan memang harus bersikap profesional, tapi perasaan saat itu amburadul.
Sebagai penyiar, tidak peduli apa yang sedang terjadi, Cyan harus bisa bercuap-cuap dengan suara yang terdengar bahagia. Apalagi itu jam siar siang yang harus dibawa dengan riang.
Di saat hatinya masih terasa gado-gado, dia harus duduk berhadapan, berbincang dengan Farel. Pasti juga akan terjadi tatap menatap.
Aaaarghh...
Pasti rasanya mau meledaaaak.Kira-kira bagaimana wawancaranya tuh? Lancar nggak, ya?
Ya ampun 😣
Doakan saya kuat melanjutkannya, setelah mewek membayangkan di posisi Cyan saat itu.
Gemeeessh.Big hug,
Evelyne Tanugraha
(Gavet Lou)
KAMU SEDANG MEMBACA
AM to FM
ChickLit[[CERITA INI MASIH PROSES REVISI DI WORD!]] Ayudya Maheswari menjadi penyiar dengan harapan menemukan kembali arti kehidupan. Ia berusaha meninggalkan masa lalu demi mendapat seberkas kebahagiaan. Menjadi seorang yang sangat berbeda dengan dirinya...