Fans (?) - 2

2K 182 0
                                    

"Yap!"

Magenta sontak berbalik menghadap Roy. "Apa yang bisa saya bantu?"

"Tolong Mbak telepon Cyan, beritahu bahwa saya menunggu di sini."

Please deh, memangnya lo siapa? pikir Magenta.

"Aduh, maaf banget, Pak. Kebetulan baterai ponsel saya habis, dan telepon kantor jam segini sudah dikunci."

Roy merogoh saku. "Pakai ini." Ia mengulurkan handphone, tetapi Magenta menolak dengan alasan tidak bisa mengingat nomor teleponnya.

"Apa kantor nggak menyimpan nomornya, Mbak?" desak Roy.

"Maaf, Pak. Maaf, banget. Sekalipun datanya tersimpan di kantor, kami tidak berhak memberikan nomornya kepada siapa pun."

"Kan Mbaknya yang telepon. Setelah itu boleh kok, nomornya dihapus dari handphone saya." Roy tetap memaksa agar Magenta mau menelepon Cyan. Tetapi lagi-lagi Mag menolak.

Merasa habis akal, Roy terpaksa menyudahi percakapan dan berpamitan dengan Magenta.
"Mbak Dean, titip salam buat Cyan, ya. Agar selalu menjaga kesehatan dan suaranya. Setiap mendengar suara Cyan kok saya selalu bisa merasa tenang dan nyaman."

Magenta mengangguk dan tertawa renyah.

Seiring Roy keluar dari kantor spekta, Magenta melepas napas lega dan beranjak ke ruangan Olive.

Giliran Cyan menunggu situasi aman dan Roy berlalu dari kafe. Laki-laki itu melangkah pelan, seiring rinai hujan yang mulai jatuh perlahan. Tanpa sengaja matanya beradu pandang dengan Cyan, lalu Roy berhenti sejenak dan melempar senyum kepada perempuan yang dirinya enggan dikenali itu. Cyan membalasnya dengan tersenyum tipis sambil menunggu saat yang tepat untuk segera beranjak ke dalam studio. Ia hanya melihat laki-laki itu sepintas, kemudian sosoknya yang tegap berjalan keluar dan menghilang di balik pintu kayu bernuansa etnik.

"Mbak Cyan disapa penggemar kok malah ndelik," tegur penjaga kantin sambil mengemasi beberapa gelas kosong di meja.

"Lho, ini bukan ndelik, Mbak. Tapi aku sengaja, biar mereka tetap nyaman dengan imajinasinya. Nanti kalo mereka ketemu aku ...,"

"Memangnya kenapa, Mbak?"

" ... trus ternyata diriku ini di luar ekspektasi mereka, kan bisa jadi mereka ogah dengerin spekta, Mbak. Trus yang rugi siapa, coba?"

"Ya tapi kan ndak semua pendengar begitu to, Mbak. Apalagi Mbak Ayu ...,"

"Cyan."

"Oh, ya. Maap. Mbak Cyan kan cantik, to. Sesuai kok sama suaranya." Mbak penjaga kantin mendekati Cyan dan duduk di depannya.

"Masa, sih?"

"Bener, Mbak. Suer. Lha Mbak ini udah beberapa kali ndelik, kalo ada penggemar yang dateng."

"Iya. Udah ah, biarin aja, Mbak."

"Tapi kalo mereka bawa cokelat kayak Mas yang kemarin ...,"

"Lho, memang ada yang bawa cokelat, ya?"

"Lhah, udah dua kali, Mbak."

"O, ya?"

"Nah, nyesel to ndak nerima cokelatnya? Eh, Mbak e ndak tahu, to?" Penjaga kantin duduk di kursi depan Cyan.

Cyan menggeleng.
"Aku ini baru, Mbak. Mana mungkin udah banyak penggemar. Lebay, ah."

"Mbak Cyan kok ndak percaya, sih. Coba tanya Pak Tristan aja."

"Kok ke Pak Tristan? Apa hubungannya?" Cyan sengaja menanggapi penjaga kantin yang memang terkenal suka berbagi gosip. Eh, ngerumpi.

"Jadi kan gini. Seingatku, Mas e yang bawa cokelat itu ke sini sebelum Mbak Cyan siaran malam."

"Trus?"

"Ya, dan udah dua kali. Yang pertama banget, Mas e itu nunggu di sini, wong dia tu nyari Mbak Cyan lewat saya. Trus saya jawab Mbak belum datang. Beberapa saat kemudian, Pak Tristan kan baru datang, trus Mas e itu diajak sarapan di luar. Nah, cokelate dititipke saya, Mbak. Saya mau kasih Mbak Cyan, ndak boleh sama Pak Tristan."

"Hah? Masa gitu, Mbak?" Cyan terkekeh.

"Iya. Saya juga dilarang kasih tau Mbak kalau ada yang nyari. Makanya saya diem aja, kan."

Cyan terkikik. "Nggak apa-apa, Mbak. Aku seneng Mbak udah cerita."

"Eh, Mbak, jangan-jangan ...," Mbak Vio menoleh kiri dan kanan, lalu memajukan mulutnya, dan berbisik. "Pak Tristan suka sama Mbak."

======

AM to FMTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang