Tentang Luka

2.1K 189 9
                                    


Sesaat mereka saling terdiam. Masing-masing tertawan dengan pikirannya. Pertanyaan demi pertanyaan mencuat dalam benak Farel. Sosok Ayudya, perempuan liar yang kini tidak punya keberanian untuk berkutik.

=======

"Farel," ujar Cyan memecah keheningan.

"Saat ini aku lebih ingin dikenal dengan nama Cyan. Cukup mereka mengenal aku sebagai seorang penyiar. Dan masa laluku yang akan dikenang esok, dimulai dari sini. Bukan Ayu dengan segala keliarannya," Cyan menarik napas. "Setelah semua ini terjadi," lanjutnya pelan.

"No ...," Farel menggeleng. "Kamu nggak bakal bisa membangun masa lalumu yang akan dikenang esok hanya sejak berganti identitas menjadi Cyan. Cyan itu ada, karena Ayudya Maheswari dengan segala masa lalunya. Suka atau nggak, mau atau nggak, kamu harus mengakui itu."

Cyan tetap diam. "Aku nggak mungkin mengakui sesuatu yang tidak ingin aku akui!"

"Pun ketika kamu tidak menginginkan sesuatu terjadi, jika itu yang kamu alami, kamu harus bisa mengakui dan menerima dirimu sepenuhnya."

"Meski membuat luka yang sangat dalam?"

"Nggak ada luka yang akan terus menganga."

Cyan memejamkan mata dan menarik napas panjang. "Kamu nggak akan paham, Farel," lirihnya.

"Karena kamu juga menganggap aku hanya laki-laki liar yang nggak pernah terluka, jauh dari tanggung jawab, dan si pemberi harapan palsu kepada banyak perempuan."

Cyan meghela napas.

"Come on. Ayudya ... Aku juga manusia yang bisa terluka dan setiap luka pasti punya cerita."

Cyan semakin terdiam. Ia menunduk. Dadanya terasa sesak. Sembari menarik napas panjang, satu per satu bulir bening mengalir.

Selama ia mengenal Farel, laki-laki itu tidak pernah serius seperti sekarang. Bahkan setiap kali bertemu, obrolan mereka hanya sekadar basa-basi sebelum meringkuk bersama di balik selimut. Untuk sesaat Cyan merasa ada laki-laki lain yang sedang duduk bersamanya.

Farel menyodorkan tisu. "So, would you tell me something about semua?"

Cyan menggeleng. "Aku mau pulang."

"Kamu serius?"

"Aku capek."

"Sure?" tanya Farel untuk memastikan permintaan Cyan dengan menatap lembut kedua matanya.

Jauh di dasar hatinya, perasaan itu masih ada, dan semakin sakit ketika harus dekat dengan laki-laki yang pernah mengisi harinya namun bukan miliknya. Bukan dia yang membuat Cyan terluka, melainkan ketika ada yang membuat jarak antara mereka, sehingga menambah luka yang ada. Dan mungkin ini saat yang tepat bagi mereka untuk saling membuka apa yang terjadi selama ini.

Cyan merogoh tas dan mengambil ponselnya. "Aku harap kamu benar dengan kata-katamu. Kalau semua luka punya cerita, mungkin sekarang saatnya kamu mendengar semua."

Setelah mengetuk beberapa kali, tampak foto seorang bayi kurus yang dibalut kain putih. Kulit wajahnya yang terlihat pucat dihiasi seulas garis tipis yang datar tanpa senyum.

"Dokter bilang semuanya terlambat," ujar Cyan menanggapi Farel yang mengernyitkan dahi setelah melihat potret bayi itu.

"Ini ...," Farel menggantung ucapannya.

"Dia Gendhis. Bayi mungil yang menempati rahimku selama delapan bulan sembilan hari."

Farel menaikkan alis seketika dan sudut bibirnya terangkat.

"Ya. Dua bulan sebelum waktunya dia dilahirkan, dokter memintaku untuk melakukan test darah, dan ternyata Gendhis keracunan darah. Tapi semua sudah terlambat. Penanganan yang dilakukan setelah terdeteksi ada kelainan darah yang membahayakan janin, ternyata nggak membawa hasil yang menggembirakan.

Gendhis terpaksa lahir lebih cepat sebulan, dan tiga hari kemudian Gendhis susah bernapas, suhu tubuhnya naik, dan kulitnya terlihat semakin pucat, kuning. Seharusnya test darah itu dilakukan segera bahkan sebelum kehamilan."

"Hamil? Tunggu. Aku masih belum tahu. Gendhis itu siapa?"

Cyan melirik Farel dan kembali menunduk lalu mengangguk pelan.

"Me?"

Cyan mendesah perlahan.

"Damn!!! You pregnant, I have a kid and you didn't told me!!!"

"Maaf."

"Tapi kenapa kamu memilih diam dan pergi?"

"Entahlah." Cyan membuang napas dan mengetuk-ngetuk meja dengan ujung jari-jarinya.

"That's it."

"Aku hanya tahu kamu sudah bertunangan, dan itu berarti ada perempuan lain yang harus kau bahagiakan. Bukan aku. Kamu bertanggung jawab untuk itu, Farel. Dan aku nggak mau dia tersakiti."

"Oh, God!" Farel mengepalkan tangan erat dan melayangkannya ke udara di sisi kanan.

"Why?"

"Oke. Aku salah sudah menyanggupi pertunangan kami. Tapi aku nggak pernah mengakui dia tunanganku. Karena aku hanya merasa kasihan."

"Kasihan? Trus kamu tinggalkan? Dan cincin itu?"

"Ya, oke. Pertunangan memang ada. Tapi itu bukan benar-benar tunangan!"

"Aku nggak ngerti."

=======

AM to FMTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang