3. Kesal

580 67 4
                                    

"Aku diantar ke apartemen, kan?" tanya Widya yang memperhatikan Farhan tengah merapikan barang-barang miliknya ke dalam tas besar. Widya sudah diperbolehkan pulang setelah tiga hari dirawat inap.

"Bukan. Kamu dan aku akan pulang ke rumah kita," jawab Farhan, tetap fokus dengan kegiatannya.

"Apa? Nggak. Aku nggak mau berdua sama kamu," tolak Widya cepat.

"Ada Bi Endah dan Pak Juki. Jadi bukan cuma kita berdua," koreksi Faran tanpa menoleh.

"Aku nggak mau!"

Mendengar rengekan Widya itu membuat Farhan mau tak mau menoleh ke arah istrinya. "Widy—"

"Aku masih belum terima kalau kamu yang jadi suami aku."

"Terima atau nggak, aku tetap sudah jadi suami kamu. Sekarang kita akan pulang ke rumah."

"Apartemen!" ucap Widya bersikeras. Farhan menghela napas.

"Aku nggak mungkin biarin kamu tingal sendiri di apartemen dalam kondisi hamil seperti sekarang. Nurut sama aku, bisa?" Farhan berusaha menjaga suaranya agar tetap tenang. Sungguh, ia masih belum terbiasa menghadapi Widya yang ingatannya sudah kembali. Sangat berbeda dengan Widya yang menjadi istrinya saat masih amnesia.

"Nggak," tolak Widya tegas dengan tangan melipat di dada, tidak peduli pada raut wajah Farhan yang sudah mengeras dan menatap tajam ke arahnya.

Keduanya saling menatap dalam diam. Saling menantang satu sama lain. Aura ketegangan diantara mereka berakhir saat pintu ruangan terbuka, lalu papi muncul di baliknya.

"Udah siap beres-beresnya?"

Tiba-tiba sebuah ide terlintas di benak Widya.

"Pi, aku pulang ke rumah Papi, ya? Aku masih kangen sama Papi."

Papi tersenyum. "Bagi Papi nggak masalah. Tapi kamu harus izin dulu sama Farhan, suami kamu." Ingin sekali Widya mendengus setelah mendengar ucapan papi. Tapi ia tahan karena tidak mau papi tersinggung. Dirinya lumayan kesal karena papi seolah lebih berpihak pada Farhan dibanding putrinya sendiri. Rasa kesalnya bertambah saat menangkap seringai kecil Farhan yang tertuju padanya.

"Aku nggak akan larang kalau daritadi kamu bilang mau ke rumah Papi," ujar Farhan kalem.

"Loh, memang Widy awalnya bilang apa?" tanya papi penasaran.

"Dia mau ke ap—"

"Udah beres, kan? Yuk berangkat sekarang. Widy udah nggak betah lama-lama di rumah sakit," potong Widya seraya turun dari ranjang. Wanita itu langsung merangkul lengan papi untuk keluar kamar inap, mencegah Farhan melanjutkan kalimatnya.

Yang tidak disadari Widya, Farhan tersenyum geli di belakang mereka, mengikuti langkah Widya dan papi yang sudah lebih dulu berjalan.

***

Hari ini, Widya ingin pergi jalan-jalan keluar. Sudah dua minggu sejak dirinya pulang dari rumah sakit dan tidak punya kegiatan apa-apa selain berdiam diri di dalam rumah. Papi melarangnya masuk kantor untuk bekerja, padahal dirinya sudah gatal untuk beraktivitas seperti biasa.

Widya ingin pergi seorang diri. Sebelumnya, ia memastikan dulu papi dan Farhan sudah berangkat kerja. Lalu ia menunggu Bi Suwi, pembantu rumah tangga di rumah papi keluar rumah untuk pergi belanja ke pasar. Selain itu, ia mengelabui Pak Juki, supir pribadi yang diperintah Farhan untuk mengantar sekaligus mengawasinya. Ia sengaja meminta Pak Juki untuk membelikannya sate padang dengan alasan ngidam. Widya tersenyum senang saat audi hitam yang dikendarai Pak Juki sudah keluar melewati gerbang.

Tak lama, sebuah taksi berhenti di depan gerbang rumah papi yang masih terbuka. Widya yang sudah bersiap akhirnya keluar dari rumah. Ia meminta supir taksi untuk bergerak berlawanan arah dengan jalur yang diambil Pak Juki tadi.

Pilar HatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang