17. Rencana

185 19 4
                                    

Haii readers😃

Apakah kalian menunggu update-an ini?
Sorry ya lama😬

Btw, kalian ada rekom drakor yg bagus gak sih? Genre action-fantasy kalau bisa, hehe🤭 Mau refreshing ngedrakor

Happy reading!

***

"Anak kita. Kamu tidak memikirkannya?"

Widya menggigit bibir bagian dalam, ia menahan agar matanya tidak melirik ke arah box bayi di samping ranjangnya.

"Sudah ada kamu. Aku tidak perlu melakukannya," sahutnya pelan.

"Bayi yang kamu lahirkan dengan susah payah, kamu yakin akan meninggalkannya?" Tanya lelaki itu lagi.

Widya menjawab tanpa menatap Farhan. "Ya."

"Kamu benar-benar yakin?"

Menghela nafas kesal, Widya menatap lelaki itu dan menyahut, "Iya."

"Hmm. Baiklah." Jawaban Farhan yang terdengar santai membuat Widya mau tak mau menatap lelaki itu. Yang ia temukan adalah wajah tersenyum yang menyebalkan.

Menepis rasa penasaran akibat reaksi tidak terduga tersebut, Widya menambahkan, "Aku akan urus berkasnya. Kamu tunggu saja surat dari-"

Gerakan Widya yang akan beranjak dari ranjang rumah sakit berhenti karena lengannya ditahan. Pelakunya tentu saja lelaki yang masih berstatus suaminya. Ah ralat, calon mantan suami.

"Kenapa buru-buru? Istirahatlah, nanti sore kita pulang." Usai mengatakan itu, Farhan beranjak keluar ruangan.

***

Aneh.

Atau hanya ia yang merasa aneh?

"Kenapa masih di luar? Ayo masuk."

Widya masih diam di depan pintu rumah yang terbuka lebar. Lelaki yang menyuruhnya masuk sudah melangkah ke dalam dengan satu tangan menyeret koper, dan tangan lainnya menggendong bayi mungil yang sudah dilahirkannya dua hari yang lalu.

"Apa yang kamu rencanakan?" tanya Widya ketika melihat Farhan kembali ke hadapannya dengan tangan yang sudah tidak membawa apapun.

"Aku tidak punya rencana apapun. Masuklah. Angin sangat kencang di luar."

"Antar aku ke rumah papi," geram Widya. Ia menahan diri untuk tidak bergerak saat lelaki itu menarik tangannya untik masuk ke dalam rumah.

Emosi Widya mulai naik saat mendapati lelaki itu mengehela nafas lelah dan berujar, "Tidak sekarang. Ayo masuk."

Ia menghentak agar lengannya terlepas dari tangan Farhan, "Baiklah, aku bisa pergi sendiri."

"Widy, sayang. Kok masih di luar?" Suara dari dalam mencuri atensi keduanya. Tubuh Widya batal berbalik, matanya membola mendapati keberadaan ibu mertuanya.

Widya sempat memicing ke arah Farhan sebelum mengubah ekspresinya saat menatap ke arah ibu mertuanya.

"Bunda? Belum balik ke Cirebon?"

"Lah, Farhan belum kasih tau kamu? Bunda disini satu sampai dua bulanan. Lihat nanti lah. Biar Bunda bisa bantu kalian mengasuh si mungil yang baru lahir."

"Dingin loh di luar. Ayo, masuk. Bunda udah siapin makan malam untuk kita," sahut Bunda yang langsung menarik Widya yang masih bingung dengan penjelasan sang bunda.

"Kamu sengaja, kan?" Mata Widya menyipit ke arah Farhan yang secara sadar mengabaikannya. Ia langsung menodong lelaki itu begitu keduanya masuk ke dalam kamar.

"Aku nggak mau tau, kamu bujuk bunda supaya balik ke Cirebon secepatnya."

Widya semakin kesal saat Farhan masih diam. "Aku tau kamu dengar, Farhan."

"Mas," sahut lelaki itu pendek.

"Apaan sih? Kalau kamu nggak mau, biar aku yang bujuk bunda."

"Kamu harus panggil aku Mas. Kamu bisa diceramahi bunda kalau nggak sopan panggil suami. Ini Farid juga lagi haus. Tolong kamu susui bentar," jawab Farhan panjang dan tidak nyambung dengan keinginannya. Ditambah seenaknya ia menyerahkan bayi mungil ke dalam dekapannya.

Widya mendengus, namun tetap membuka kancing bajunya untuk menyusui. Tatapannya masih tajam ke arah lelaki yang kini tersenyum dengan wajah tanpa dosa yang membuat kesal Widya bertambah dua kali lipat.

"Ngapain ngintip? Sana keluar!" Usirnya ketus.

***

Senyum di bibir Farhan tidak luntur meski sudah sepenuhnya berada di luar kamar. Entah Widya sadar atau tidak, ia dengan sukarela mau menyusui bayi mereka, bertolak belakang dengan kalimat wanita itu saat di rumah sakit tadi. Tentu Farhan mensyukurinya.

Mengenai rencana yang ditanyakan Widya, tentu saja baru terpikir olehnya saat di rumah. Melihat keberadaan bunda, memunculkan harapan. Bunda secara tidak langsung membantunya untuk menahan istrinya tersebut keluar dari rumah. Ia harus merencanakan beberapa hal agar perpisahan mereka tidak akan terwujud.

"Hai, ngapain kamu senyam-senyum liat tembok. Mana Widy? Ajak ke bawah, kita makan malam."

"Bunda, ada rencana stay disini lebih dari dua bulankah?"

"Belum tau, tanya Ayah kamu dulu. Kenapa? Tumben, biasanya kamu paling nggak senang kalau dengar bunda mau nginap sini."

Farhan tidak menanggapi. Namun senyumnya makin lebar. Berarti misinya membujuk sang ayah agar mengijinkan sang bunda berada di Jakarta lebih lama.

"Han, horor bunda liat kamu senyum begitu. Sana panggil Widy. Bunda tunggu di bawah."

Bersambung.

31 Januari 2023

Zitidi

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jan 31, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Pilar HatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang