5. Pura-pura bodoh

450 67 0
                                    

"Ceraikan aku."

Farhan tertegun. Ia dulu pernah menduga, Widya yang telah pulih dari amnesia kemungkinan besar akan meminta cerai darinya. Namun Farhan tidak menyangka hal itu akan terjadi secepat ini.

Kenapa bisa? Bahkan Farhan belum melakukan usaha apapun untuk meluluhkan hati Widya ataupun berusaha belajar untuk merelakannya. Mendengar kalimat yang dibenci Tuhannya keluar dari mulut sang istri, Farhan diliputi beragam rasa. Yang paling dominan adalah rasa sakit, perih, dan amarah.

Farhan memilih menutup matanya sejenak. Dengan kesabaran yang masih tersisa, Farhan mencoba meredam amarah yang sedang melingkupi dirinya, juga mengatur napasnya yang entah sejak kapan mulai memburu. Tangannya terkepal kuat untuk menyalurkan emosi yang tak bisa dikeluarkannya. Tidak boleh. Ia harus sadar diri bahwa saat ini Widya masih belum menerima seutuhnya kenyataan yang ada. Kenyataan saat ini mereka telah menikah, Widya hamil, serta posisi dirut yang saat ini dipegang olehnya. Farhan harus mengumpulkan lebih banyak stok sabar untuk dirinya sendiri.

Seharusnya, masih ada banyak waktu bagi Farhan meyakinkan Widya agar mulai menerima kenyataan yang ada secara ikhlas. Tentu saja tidak dengan cara berpisah. Apalagi Widya sedang hamil anaknya. Farhan tidak akan membiarkan hal itu terjadi. Disini perannya sebagai kepala keluarga diuji. Imam bagi istri dan juga calon buah hatinya.

Perlahan, Farhan membuka matanya. Manik hitamnya menatap lekat ke arah Widya. Farhan mendudukkan dirinya di pinggir ranjang. Widya seketika menggeser tubuh agar tidak terlalu dekat dengannya. Farhan menghela napas panjang sebelum membuka suara.

"Cerai? Aku nggak akan pernah membiarkan itu terjadi. Apalagi saat ini kamu sedang mengandung anak kita, Widy," ucap Farhan mencoba keras untuk tenang. Widya masih tak menoleh sedikitpun ke arahnya.

"Aku minta maaf soal menggantikan posisi kamu menjadi dirut dua tahun lalu. Aku nggak bisa menolak permohonan papi saat itu." Jeda sesaat sebelum Farhan melanjutkan, "Mengenai pernikahan kita, aku juga minta maaf karena semua terjadi disaat kamu nggak ingat apa-apa. Meskipun begitu, aku nggak pernah menyesal telah menjadi suami kamu."

"Yang terakhir, kamu yang harus ingat sendiri kenapa kamu bisa hamil. Aku yakin kamu nggak akan punya alasan untuk menyalahkanku setelah mengingatnya," tambah Farhan.

Mendengar kalimatnya terakhir berhasil membuat Widya menoleh kearahnya. Farhan menarik salah satu sudut bibirnya. Widya kembali mengalihkan pandangan seraya mendengus.

***

Walaupun sempat terganggu dengan pernyataan Farhan beberapa malam lalu, Widya tak mau ambil pusing. Ia juga tidak berniat untuk kembali mengingat hal yang sudah dilupakannya, termasuk bagaimana ia bisa hamil sesuai perkataan Farhan. Apa hak pria itu menyuruhnya mengingat apa-apa yang terlupa? Tidak akan ada pengaruhnya. Kenyataan yang ada saat ini pun tidak akan bisa diubah. Kenyataan dimana ia telah menikah dengan pria yang tidak ia inginkan, juga kenyataan dimana dirinya tengah hamil. Semua hal yang sudah terjadi padanya itu, Widya limpahkan kesalahannya pada satu orang—Farhan.

Hari-hari Widya yang hanya berkutat di rumah papi sangat membosankan. Ia yang dulu terbiasa sibuk dengan urusan kantor membuatnya tidak terbiasa berdiam diri. Kalau saja Raka sedang tidak mempunyai urusan keluar kota, maka bisa dipastikan saat ini Widya tengah menghabiskan waktunya yang berharga bersama kekasihnya itu.

Untuk keluar bersenang-senang pun tidak Widya lakukan karena ia tidak memiliki satupun teman dekat. Dulu, setelah menduduki jabatan direktur utama membuat hidupnya hanya dilingkupi dengan urusan pekerjaan. Kenalannya hanya orang-orang yang terlibat bisnis dengan perusahaan. Ia telah merasa cukup hanya memiliki Raka sebagai satu-satunya orang terdekatnya kala itu.

Pilar HatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang