6. Murka

420 62 0
                                    

Selama sepuluh hari terakhir, Widya merasa hidupnya menjadi sedikit lebih bahagia. Bagaimana tidak, ia bisa bertemu dengan kekasihnya hampir tiap hari. Walapun mereka hanya menghabiskan waktu di studio atau apartemen milik pria itu. Widya baru tahu bahwa apartemen Raka yang sekarang berada di gedung yang sama dengan apartemen miliknya. Oleh sebab itu, Widya meminta kembali kartu akses apartemennya dari papi. Ia beralasan ingin menyendiri di apartemen walapun tidak sampai menginap. Papi pun luluh. Pak Juki yang mengantarnya setiap kali ingin ke sana, lalu menjemputnya saat hari telah beranjak sore. Widya melarang Pak Juki ikut naik ke unit apartemennya agar tidak ketahuan bahwa sebenarnya ia sedang menemui Raka.

Hari ini berbeda dari biasanya. Widya tiba-tiba ingin pergi belanja ke pusat perbelajaan bersama Raka. Ia mulai bosan karena tiap kali bertemu, mereka hanya berada sepanjang hari di studio sambil menemani Raka bekerja, atau keduanya hanya menghabiskan waktu di apartemen.

Raka menghela napas. "Nanti kalau kita ketahuan gimana, Wid?" tanyanya cemas. Bukan hanya khawatir ketahuan oleh suami Widya atau papinya, tetapi juga khawatir oleh orang-orang yang mengenal Raka sebagai publik figur.

"Kan kamu bisa pakai masker dan topi biar nggak ketahuan, Sayang. Aku juga deh, biar kita samaan." Sungguh, Widya ingin jalan-jalan keluar bersama Raka, tidak hanya mendekam seharian di dalam ruangan.

"Yaudah deh. Tapi nggak usah lama-lama, ya. Kasihan kamu lagi hamil. Nanti gampang capek."

"Siap, Bos," sahut Widya seraya terkekeh. Raka selalu begitu, mengkhawatirkan keadaannya dalam kondisi apapun. Widya bersyukur memiliki kekasih seperti Raka.

Seperti ucapan Raka, mereka tidak terlalu lama di pusat perbelanjaan. Widya memutuskan membeli beberapa stel pakaian, tas, juga sepatu. Ia menolak saat Raka ingin membayar barang belanjaannya karena merasa hal itu bukan kewajiban pria itu. Raka pun tidak memaksa.

Tidak sampai tiga jam, mereka kembali ke apartemen. Raka mengantarnya hingga ke depan pintu unit miliknya sebelum Raka kembali ke studio.

"Makasih ya, Sayang," ucap Widya seraya memeluk Raka sebelum mereka berpisah.

"Sama-sama. Masuk, gih. Kamu pasti capek abis jalan-jalan." Widya hanya menjawab dengan anggukan. Dengan berat hati, ia melepaskan tubuh Raka dari pelukannya lalu berbalik memasuki unit apartemennya.

Widya terduduk di sofa. Ia mengirim pesan kepada Pak Juki untuk menjemputnya di apartemen. Sambil menunggu, ia mengeluarkan barang belanjaan. Menimbang apakah ia tinggalkan saja di apartemen itu, atau membawa pulang ke rumah papi. 

Sibuk berpikir, Widya tidak sadar ada orang lain yang sudah masuk ke dalam apartemennya. Widya baru menoleh ketika mendengar langkah kaki yang mendekat. Matanya terbelalak kaget melihat sosok yang berdiri tak jauh darinya.

"Kamu—kenapa kamu bisa masuk kesini?" tanya Widya heran.

"Jadi, ini alasan kamu selalu meminta pindah ke apartemen?" tuduh Farhan.

"Kamu ngomong apa, sih?" tanya Widya tidak mengerti.

"Jangan pura-pura bodoh, Widy. Aku barusan melihatmu dan Raka di depan pintu apartemen ini." Suara Farhan mengeras, nyaris membentak. Widya terdiam. Baru kali ini Farhan membentaknya. Pria itu tidak pernah mengeraskan suara ataupun membentaknya meski tahu Widya terus-menerus berusaha menyulut emosi pria itu.

"Apa bedanya dengan kamu yang pura-pura bodoh menikahiku saat aku amnesia?" balas Widya dengan nada tenang.

Telak, gantian Farhan yang terdiam. Pria itu bergeming cukup lama. Widya kembali fokus pada barang belanjaannya, mengganggap pria itu seolah tak kasat mata.

"Besok jadwal kontrol kandungan. Aku akan menjemputmu jam satu siang. Sebaiknya kamu pulang sekarang. Aku nggak mau Papi khawatir." Suara Farhan kembali terdengar.

Pilar HatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang