Farhan melirik jarum jam sekali lagi. Sudah belasan kali ia mencoba memanggil nomor yang sama. Setiap panggilan terhubung, tapi tidak satupun yang diangkat. Lagi-lagi suara operator diujung panggilan mengambil alih, membuat Farhan kembali berdecak kesal.
Farhan rehat sejenak, menyandar tubuhnya di sofa dengan satu lengan menutup mata. Ia memikirkan kemungkinan kemana istrinya pergi. Hari sudah hampir gelap dan Widya belum juga pulang ke rumah. Panggilan teleponnya juga tak pernah dijawab.
Bi Endah mengatakan Widya pergi diantar Pak Juki membawa kotak makan ke kantor Farhan. Lelaki itu tidak menyanggah bahwa Widya sama-sekali tidak datang ke kantornya seperti dugaan wanita paruh baya tersebut. Pak Juki pun sama, tidak bisa dihubungi karena ponselnya ketinggalan di rumah.
Satu-satunya yang terpikirkan oleh Farhan sejauh ini hanyalah satu tempat. Sadar akan hal itu, pria itu langsung bangkit berdiri. Ia menyambar jaket dan helm. Membawa motor akan membuatnya lebih cepat sampai, karena jalanan petang hari pasti macet.
Tidak sampai satu jam, Farhan sudah tiba di depan gedung tujuannya. Ia mencari Pak Juki di parkiran. Pak Juki kaget mendapatinya berada disana sekaligus merasa bersalah karena lupa membawa ponsel. Farhan tidak menggubris masalah itu melainkan meminta Pak Juki langsung mengantar Widya pulang setelah ini.
Farhan langsung masuk ke dalam lift. Tujuannya adalah unit apartemen milik Raka. Ya, ia akhirnya tahu bahwa pria itu memilki unit apartemen di gedung yang sama dengan unit milik istrinya.
Farhan membunyikan bel apartemen Raka berkali-kali. Tak lama kemudian, pintu yang sedari tadi tertutup itu pun terbuka. Raka muncul dibaliknya. Farhan langsung melayangkan tinjunya. Kali ini Raka tidak tinggal diam, pria itu membalas pukulan Farhan lebih kuat.
"Mana istri gue?" bentak Farhan.
"Gue nggak tau," wajah tak acuh Raka benar-benar memicu amarah Farhan lebih besar.
"Jangan bohong. Atau gue geledah tempat lo." Raka terbahak sambil meringis karena rahangnya terasa nyeri setelah pukulan Farhan.
"Wiwid emang kesini tadi. Nggak lama. Dia pergi lagi. Gue nggak tahu dia kemana," tukas Raka. "Dia istri lo, tapi lo nggak tahu keberadaannya?" sindir Raka seraya berdecak prihatin.
Farhan ingin kembali mendaratkan bogem mentah ke wajah pria yang sama sekali tidak ada menariknya itu. Tapi ia urungkan karena saat ini prioritasnya menemukan Widya. Dengan langkah lebar, ia berlalu dari hadapan Raka.
Farhan naik ke lantai berikutnya. Unit apartemen Widya memang berbeda satu lantai dengan pria tadi.
Farhan mendesah lelah. Apa harus ia meminta papi untuk menjual apartemen itu, agar Widya tidak kembali lagi kesana? Ia lalu menggelenggkan kepala, tersenyum miris dengan segala pemikirannya. Bagaimanapun usahanya untuk menjauhkan Widya dari Raka, tidak akan berhasil selama wanita itu tetap keras kepala dengan keinginannya.
Pintu apartemen Widya langsung Farhan terobos begitu sampai di depannya. Ia tidak bisa mendesah lega setelah berhasil menemukan Widya. Sebab, penampakan di dalam apartemen sukses membuat napas Farhan tercekat. Bukan hanya karena melihat tubuh Widya yang tergeletak tak berdaya di lantai dekat sofa. Tetapi saat bercak darah juga tertangkap di matanya.
***
"Kita harus bersyukur karena kandungan istri Bapak sangat kuat. Pendarahan yang sempat terjadi tidak sampai membahayakan janinnya. Namun karena pendarahan ini bukan kali pertama, Bu Widya harus bedrest total. Walaupun janinnya sehat, kondisi Bu Widya tidak bisa dikatakan baik. Dugaan sementara akibat kelelahan. Lelah fisik dan juga stres. Saya sudah pernah mengatakan jika ibu hamil sangat rentan terhadap stres. Jadi, tolong hindari hal-hal yang dapat membuat istri Bapak tertekan, kalau tidak mau kejadian serupa terjadi lagi."
"Silahkan Bapak isi formulir, apakah ingin bedrest disini atau di rumah. Jika di rumah, konsekuansinya harus ada satu orang yang memantau Ibu Widya agar tidak melakukan kegiatan lain selain bedrest. Selain itu juga bertugas memastikan nutrisi Ibu Widya selalu terpenuhi," lanjut dokter itu lagi.
"Terima kasih, Dok. Saya pilih bedrest di rumah saja."
Akhirnya Farhan bisa sedikit bernapas lega. Widya sudah dipindahkan ke kamar inap. Dokter mengatakan Widya akan bangun dalam rentang dua atau tiga jam kedepan. Farhan duduk menatap wajah Widya yang pucat. Baru disadarinya wajah Widya sedikit tirus. Sungguh berbeda dari wanita hamil pada umumnya yang berubah makin berisi.
Kondisi Widya yang berubah buruk akibat stres sama-sekali tidak terpikirkan oleh Farhan. Pasalnya saat kontrol kandungan terakhir kali, dokter mangatakan kondisi fisik dan psikis Widya baik-baik saja.
"Apa hidup bersamaku membuatmu sangat tertekan?" lirih Farhan pelan. "Segitu inginnya kamu berpisah denganku dan kembali bersama pria itu?" tambahnya tak kalah lirih dari sebelumnya.
Tangan Farhan bergerak mengelus perut besar Widya. Farhan amat bersyukur ketika dokter mengatakan bahwa kandungan Widya kuat dan sehat. Kini yang harus ia pikirkan adalah bagaimana agar kondisi Widya ikut membaik hingga menjelang kelahiran nanti.
Apakah ia harus meminta papi atau bunda menginap untuk menjaga Widya hingga keadaannya membaik? Farhan masih ingat bagaimana raut bahagia Widya kala bertemu dengan bundanya selama acara tujuh bulanan yang lalu. Widya juga tampak bersemangat setiap menerima telepon dari bunda. Mungkin karena wanita itu sudah lama merindukan sosok seorang ibu.
***
Widya membuka mata dan menemukan dirinya telah terbaring di atas ranjang. Matanya mengitari sekeliling dan sadar bahwa dirinya sedang berada di rumah sakit. Lagi. Widya mendesah pelan. Sepertinya ia pingsan setelah sampai di apartemen miliknya.
Kemudian sosok Farhan yang berdiri sambil bersandar di dinding tertangkap penglihatannya. Tepat di seberang ranjang tempatnya berbaring.
"Untuk apa lagi kamu pergi ke apartemen itu?" tanya pria itu dengan raut wajah menahan amarah. Widya tebak Farhanlah yang menemukannya pingsan di apartemen. Widya hendak menjawab, tapi kalimat Farhan selanjutnya keluar lebih dulu.
"Kamu menemui pria itu lagi? Lalu ingin melenyapkan janinmu?"
Widya bisa melihat jelas Farhan tersenyum miring. Senyum yang menurutnya lebih mengerikan dibanding senyum yang diberikan Raka kepadanya tadi.
"Sayang sekali usahamu gagal, Widya," lanjut Farhan, masih menatap lekat dirinya. Widya masih bergeming saat Farhan mulai melangkah mendekati ranjang.
"Dengar. Mulai saat ini, kamu akan kuawasi 24 jam. Kamu harus menuruti semua kata-kataku. Aku nggak akan biarkan kamu mencelakai calon anakku lagi."
Widya diam tak membalas. Bibirnya terkatup rapat begitu saja. Ia sangat paham maksud perkataan Farhan barusan. Percuma membela diri jika pria itu sudah menuduh dirinya dengan sengaja menyakiti janinnya sendiri.
Luka hatinya yang belum pulih setelah menangkap basah pengkhianatan Raka, kembali terbuka lebar karena tuduhan kejam Farhan kepadanya. Seburuk-buruk sifatnya, ia tidak akan tega menyakiti buah hatinya sendiri.
Tangisannya luruh ketika sosok Farhan sudah keluar kamar, meninggalkannya seorang diri. Ia terus menangis hingga lelah sendiri dan berakhir jatuh dalam lelap.
Bersambung.
Ditunggu vote dan komennya yaa.. Makasiih : D
KAMU SEDANG MEMBACA
Pilar Hati
RomanceSpin off "Menuju Tiga Tahun" *** Farhan sudah menyangka semua akan berubah ketika ingatan Widya kembali. Namun tidak mudah baginya melepaskan Widya. Apalagi ketika Widya tengah mengandung buah hatinya. *** Awal publish : agustus 2019 Tamat : - -Ziti...