Sarapan pagi ini diisi oleh keheningan. Widya yang sedang tidak nafsu makan hanya mengaduk-aduk nasi goreng di depannya. Farhan melirik sesekali disela mengunyah sarapannya.
"Aku nanti pulang larut. Kamu jangan lupa makan tepat waktu, minum vitamin dan minum susu."
"Hmm."
"Kalau mau keluar jangan lupa kabari. Minta Pak Juki yang mengantar."
"Hmm."
"Nanti aku beliin sepatu baru."
"Hmm."
"Kamu marah?"
"Hmm"
"Kamu marah."
"Hmm."
Lama kelamaan Farhan tidak tahan dengan respon Widya yang hanya berupa gumaman. Ia tahu tindakannya tadi malam terlalu berlebihan. Tapi kalau mengingat sifat keras kepala Widya, mau tak mau ia harus melakukan hal itu.
"Jangan diaduk aja. Suap nasi kamu atau mau aku suapi?" Farhan tersenyum simpul saat Widya akhirnya menyuap nasi meski dengan tampang terpaksa. Ia menunggu hingga Widya menghabiskan sarapannya. Baru setelah itu, ia berangkat kerja.
***
Widya memandang datar flat shoes yang memenuhi rak sepatunya dalam kamar. Ternyata mengganti yang disebut Farhan dua hari yang lalu bukanlah mengganti miliknya persis dengan yang asli. Tetapi mengganti dengan yang dibutuhkannya saat ini. Widya mendengus. Ia berniat akan membalas Farhan setelah dirinya melahirkan. Ia akan menguras habis uang Farhan untuk membelikannya high heels keluaran terbaru.
Suara ponsel miliknya berbunyi. Ia kira pesan dari Farhan seperti biasa. Ternyata pesan dari asisten Raka yang mengabarkan bahwa kekasihnnya akan datang ke studio mulai Senin. Widya tersenyum senang. Kekesalannya terhadap Farhan dipending dulu. Ia ingin segera bertemu Raka. Ia penasaran kenapa Raka sulit dihubungi selama seminggu terakhir.
Esoknya, Widya tiba-tiba ingin ikut Bi Endah belanja ke pasar. Namun Bi Endah menolak karena bisa membuat Widya lelah jika harus mengelilingi pasar dalam kodisi hamil besar. Alhasil, Widya hanya memberi catatan bahan apa saja yang harus dibeli Bi Endah. Ia juga meminta diajari memasak beberapa masakan. Tentu saja, Widya tidak mengatakan masakan itu untuk siapa.
"Neng Widy padahal udah bisa masak, lho," ujar Bi Endah seraya mengeluarkan belanjaannya di dapur.
"Apa, Bi?" tanya Widya heran.
Bi Endah lagi menyindir atau apa? Widya tahu dirinya tidak pandai soal masak-memasak. Makanya, ia lebih suka terjun kerja di kantor. Tapi sekarang ia terpaksa jadi 'pengangguran' karena pekerjaannya direbut oleh pria yang sampai saat ini masih berstatus suaminya.
"Eh, nggak ada," sahut Bi Endah setelah sadar bahwa istri majikannya tersebut tidak ingat kalau dulu saat masih amnesia, Widya sudah pernah belajar masak.
"Neng kalau mau masak gini, Bibi keinget dulu. Neng Widy belajar masak biar bisa nganter makan untuk Nak Farhan." Lagi-lagi Bi Endah tidak sadar kalau sudah membahas hal yang tidak Widya ingat.
"Bi, ini dicuci dulu, kan?" Widya sengaja mengalihkan pembicaraan. Ia benar-benar tidak mau bernostalgia bareng Bi Endah. Apalagi tentang hal yang tidak bisa diingatnya.
Semua masakan sudah selesai dimasak. Bi Endah pamit untuk mencuci baju. Widya menyimpan semua masakannya dalam kotak makan bersusun. Kemudian ia bersiap-siap untuk berangkat ke apartemen Raka.
Jalanan menuju apartemen sedikit macet, mungkin karena sudah masuk jam makan siang. Widya sampai di apartemen sekitar satu setengah jam kemudian. Ia berharap Raka berada di apartemen dan belum makan siang. Walau kemungkinannya kecil jika Raka sampai melewatkan waktu makan siangnya. Widya tersenyum sendiri membayangkan reaksi Raka akan kejutan darinya kali ini.
Lift yang membawa Widya telah sampai di lantai dimana unit apartemen Raka berada. Ia langsung masuk menggunakan kartu akses cadangan yang pernah diberikan Raka. Ketika mengganti sepatunya dengan sandal, ia mendapati sebuah high heels tergeletak begitu saja di antara beberapa sepatu laki-laki. Widya merasa tidak pernah meninggalkan salah satu sepatunya di apartemen Raka. Tidak mungkin pula Raka yang punya sepatu itu. Lalu, punya siapa?
Manahan rasa penasarannya, Widya melangkah lebih jauh ke dalam apartamen. Ia meletakkan kotak makan yang dibawanya di atas meja ruang tamu. Ia mendengar suara dari dalam kamar. Dengan semangat, Widya mendekati pintu kamar yang setengah terbuka.
"Surprise!!" teriak Widya seraya membuka pintu lebih lebar.
Benar-benar kejutan yang tak terduga. Bukan hanya untuk Raka, tetapi juga untuk dirinya sendiri. Mungkin Widya yang lebih terkejut dengan kejutan untuknya dari Raka dibanding kejutan yang disiapkannya untuk pria itu.
"Wid, aku bisa jelasin," ucap Raka setelah beberapa detik terdiam akibat kemunculan Widya yang tiba-tiba. Di sebelahnya terdapat seorang wanita yang tubuhnya hanya berbalut selimut hingga pinggang tanpa memakai atasan.
Widya seketika bergerak membelakangi kamar. Ia menatap nanar kotak makan di atas meja sebelum mengayun langkahnya dengan cepat menuju pintu keluar. Saat mencapai pintu keluar, satu tangannya ditahan.
Sungguh, Widya tidak sanggup berbalik menghadap Raka. Bukan karena ia tak mau menampakkan wajahnya yang sudah berlinang air mata. Tetapi lebih kepada jijik terhadap kelakuan pria yang sialnya masih ia cintai. Ia menghempaskan tangannya agar terlepas dari genggaman Raka.
"Kenapa?" tanya Widya dengan terbata.
Tidak ada sahutan. Widy tahu pria itu masih berdiri di belakangnya. Tapi dirinya juga enggan membalikkan badan.
"Kenapa kamu tega mengkhianati aku?!" kali ini suaranya lebih keras dan menuntut jawaban.
"Bukannya kamu yang berkhianat lebih dulu?" Mendengar jawaban Raka mau tak mau membuat Widya menoleh. "Jadi kita impas," lanjut Raka tanpa rasa bersalah.
Widya terhenyak. Ia tahu dirinya yang lebih dulu menikahi pria lain. "Ta-tapi kamu tahu kondisi aku saat itu—"
"Kamu juga hamil, remember?"
Walau penglihatannya buram karena efek menangis, Widya masih bisa melihat seringai dari wajah Raka. Bukan seringai jahil seperti biasa pria itu tampilkan, tapi lebih kepada seringai puas menatap rivalnya yang kalah.
"Kenapa? Raka yang aku kenal nggak akan seperti ini," lirih Widya sendu. Kemana Raka baik hati yang ia kenal? Kemana Raka yang pemaaf dan tidak pendendam yang ia kenal?
"Oh ya? Sayang sekali. Itu artinya kamu belum benar-benar mengenal seorang Raka."
Tubuh Widya bergetar pelan. Oh Tuhan, bagaimana bisa ia mencintai pria itu? Kisah kasih mereka selama lima tahun pasti tidak berarti apapun bagi Raka. Tanpa membalas, Widya keluar dari tempat yang tidak akan pernah ia datangi lagi.
Widya berjalan lurus, mencoba mengenyahkan bayangan menjijikkan yang dilihatnya tadi. Widya terus melangkah dan menyadari dirinya berjalan ke arah unit apartemen miliknya sendiri. Untung ia membawa kartu akses miliknya untuk jaga-jaga bila Raka tidak kembali ke apartemen hingga sore.
Widya ingin segera merebahkan diri di atas sofa bed ruang tamu unitnya. Tenaga, pikiran dan hatinya, semua terasa sakit bersamaan. Belum sempat tubuhnya mencapai sofa, pandangan Widya sudah buram sepenuhnya.
Bersambung.
Vote dan komen ya kalau suka😆
KAMU SEDANG MEMBACA
Pilar Hati
RomantikSpin off "Menuju Tiga Tahun" *** Farhan sudah menyangka semua akan berubah ketika ingatan Widya kembali. Namun tidak mudah baginya melepaskan Widya. Apalagi ketika Widya tengah mengandung buah hatinya. *** Awal publish : agustus 2019 Tamat : - -Ziti...