12. Pereda mual

516 70 1
                                    

Setelah tiga hari dirawat, Widya diperbolehkan pulang oleh dokter. Selama perjalanan hanya diisi oleh keheningan. Widya tidak berniat membuka obrolan. Jujur, hatinya masih sakit setelah mendapat tuduhan keji dari Farhan.

Mobil yang dikendarai Farhan telah memasuki halaman depan. Pria itu keluar lebih dulu. Sementara Widya masih bergeming di dalam mobil. Tiba-tiba pintu di sampingnya terbuka. Didapatinya Farhan berdiri dengan tangan memegang kursi roda. Melihat itu, Widya memutar bola mata malas. Dokter memang menyuruhnya bedrest total. Tapi rasanya berlebihan jika ia harus menggunakan kursi roda hanya untuk masuk ke dalam rumah

"Aku masih bisa jalan kalau cuma masuk ke dalam," ujar Widya ketus.

"Kamu nggak ingat kata-kataku sebelumnya? Jangan membantah," timpal pria itu dengan tatapan dinginnya.

Widya turun dari mobil mengabaikan perkataan Farhan. Ia merasakan lengannya ditahan saat berjalan melewati pria itu.

"Pakai kursi roda, atau kamu mau aku yang gendong?" Widya menoleh, menatap sangsi bahwa Farhan mampu menggendongnya yang tengah hamil besar. Bobot tubuhnya sekarang mungkin melebihi bobot tubuh pria itu.

Namun yang terjadi selanjutnya, Widya memekik kaget saat Farhan dengan gampang mengangkat tubuhnya. Seolah badannya masih seramping dulu sebelum ia menikah. Refleks kedua lengannya melingkari bahu dan leher pria itu.

"Jangan anggap remeh. Aku masih kuat kalau hanya gendong kamu," sahut Farhan tanpa melihat ke arahnya.

Mata Widya menatap lekat ke arah Farhan. Selama ini ia tidak pernah memperhatikan wajah pria itu. Baru disadarinya wajah Farhan cukup rupawan setelah dilihat dari jarak dekat. Alisnya tebal, sesuai dengan tatapan tajam milik pria itu. Rahangnya tegas. Hidung mancungnya kontras dengan bibirnya yang tipis. 

Bicara soal bibir, ingatan tentang ciuman Farhan saat di ruang kerja kantornya dulu langsung terlintas dikepala Widya. Baginya, itu adalah ciuman pertama mereka. Tetapi perasaan Widya mengatakan sebaliknya ketika ia hanya mampu terdiam menikmati lumatan bibir pria itu.

Tunggu. Menikmati? Widya bergidik ngeri akan pikirannya sendiri.

"Kenapa? Kamu masih mau digendong?" Widya mengerjapkan matanya secara cepat. Suara Farhan mengembalikan kesadarannya bahwa sejak digendong, tatapannya tidak beralih dari wajah tampan pria itu.

Tampan? Lagi, Widya menggeleng keras karena tanpa sadar sudah memuji Farhan di kepalanya.

"Nggak. Turunin aku," Widya memalingkan wajah. Ia hampir merutuki dirinya sendiri yang sempat terpesona akan ketampanan Farhan. Semoga wajahnya yang pasti sudah memerah karena malu tidak disadari Farhan. Atau sudah terlambat?

"Kalau mau turun, lengan kamu nggak usah erat meluknya. Gimana turunin kamu, coba?" Kali ini Widya sukses merutuki dirinya sendiri. Ia segera menarik lengannya dari leher Farhan.

Dengan hati-hati, Farhan menurunkannya di atas ranjang. Pria itu mengatur selimut untuknya sebelum keluar kamar. Tidak lama, kembali lagi bersama kursi roda yang didorongnya. Widya pura-pura tidak memperhatikannya.

"Mulai besok, akan ada perawat untuk menjaga kamu selama masa bedrest," ujar Farhan seraya menutup mulut Widya yang hendak protes. Wajah pria itu datar meski nada suaranya terdengar mengancam. "Masih ingat perkataanku saat di rumah sakit, kan? Jadilah penurut dan semua akan baik-baik saja."

Farhan berlalu keluar kamar. Widya menatap punggung tegak itu hingga menghilang di balik pintu. 

Sepeninggal pria itu, Widya termenung. Tatapannya kini beralih ke arah perutnya yang sudah besar. Walaupun sempat mengingkari dan menolak keberadaan janin dalam perutnya, Widya merasa semakin hari, ia semakin terikat dengan janin tersebut. Bagaimana tidak, ialah yang merasakan perubahan-perubahan janin itu tiap minggunya. Ia juga yang membawa janin itu kemana pun melangkah.

Pilar HatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang