15. Arti senyummu

1.4K 110 17
                                    

Beberapa hari telah berlalu. Namun rasa canggung diantara keduanya masih terasa. Farhan kebingungan dalam menghadapi Widya yang masih berusaha menghindarinya, walau wanita itu masih akan menjawab setiap perkataan atau pertanyaannya dengan singkat. Farhan merasa Widya menyembunyikan sesuatu darinya. Tapi ia sama sekali tidak mendapat gambaran tentang hal apa.

Besok adalah jadwal cek kandungan Widya. Usia kehamilannya sudah memasuki minggu ke 32.

Pulang dari kantor, Farhan memutuskan langsung masuk ke dalam kamar istrinya untuk mengingatkan jadwal tersebut. Tampak Widya sedang duduk bersandar di kepala ranjang. Wanita itu sedang fokus dengan buku bacaan di tangannya. Farhan ingat, itu buku yang dibelinya beberapa hari lalu atas anjuran asistennya. Buku tentang parenting, khususnya bagaimana cara merawat bayi dan balita. Ia bahkan belum membaca buku itu sama sekali.

"Widy, besok jadwal cek kandungan." Mendengar suaranya, Widya terbelalak kaget. Wanita itu refelks menjauhkan buku yang sedang dipegangnya hingga jatuh ke lantai.

Farhan berjalan mendekat, lalu memungut buku tersebut sebelum meletakkannya kembali di pangkuan Widya.

"Besok siang kita ke dokter. Aku akan menjemputmu jam 2. Sebelum itu, kamu harus sudah makan dan siap-siap."

Widya mengangguk kaku. Karena tidak tahu harus bicara apa lagi, Farhan pun berlalu keluar kamar.

***

"Bunda?"

Farhan baru saja memasukkan mobil ke halaman rumah saat melihat sosok yang telah melahirkannya ke dunia tengah berdiri di teras depan. Ia segera keluar dari mobil dan menyapa.

"Bunda kok disini? Kapan sampai? Bareng Ayah?" tanya Farhan beruntun.

Bunda mendelik ke arahnya. "Kalau ketemu orangtua itu salim dulu. Udah mau jadi Bapak, masa' masih harus diajarin tentang ini."

Oke. Farhan memilih tak membantah. Mencegah bunda mengomel lebih panjang. Ia mengucap salam dan mencium punggung tangan bunda. Menahan diri untuk tidak mengulang pertanyaan tadi, ia menggiring bundanya masuk ke dalam rumah.

"Bunda?" Widya ternyata sudah terlihat rapi untuk berangkat. Wanita itu bangkit dari sofa ruang tengah yang ia duduki, lalu menghampiri bunda.

"Lihat. Istrimu lebih siap jadi ibu." 

Farhan diam saja saat tahu bunda tengah menyindirnya, karena Widya langsung mencium punggung tangan bunda. Tak cukup itu, Widya juga memeluk bunda dengan hangat.

"Sayang, kamu rapi gini mau pergi keluar?" tanya bunda saat beliau dan Widya kembali duduk di satu sofa panjang. Ternyata bunda datang sendiri naik travel tanpa ayahnya. Farhan tidak mengerti kenapa ayahnya bisa mengizinkan bunda berangkat sendiri.

"Mau cek kandungan, Bun. Aku baru pulang dari kantor untuk jemput Widy," jawab Farhan saat melihat Widya hanya diam. Wajah bunda seketika sumringah.

"Wah, udah jalan 8 bulan, ya. Bunda ikut ngantar ke dokter ya? Sekalian nanti kamu USG buat tahu jenis kelaminnya," ujar bunda memohon.

Farhan ingin mencegah tapi Widya lebih dulu menjawab sang bunda.

"Nggak apa-apa, Bun? Bunda kan baru sampai. Pasti capek. Baiknya  Bunda istirahat dulu," sahut Widya sopan. Farhan mendesah lega, berharap bunda mengikuti saran istrinya.

"Bunda nggak capek, kok. Ayo berangkat sekarang. Bunda udah nggak sabar mau lihat calon cucu." 

Bunda menarik Widya berdiri, lalu berjalan keluar rumah. Meninggalkan Farhan di belakang yang menghembuskan napas panjang.

Ketiganya sampai di rumah sakit. Farhan pasrah ketika dirinya seolah dijadikan supir karena bunda memaksa Widya duduk di bangku belakang bersama beliau.

Pilar HatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang