Menjelang tengah malam, Farhan melangkah menuju kamar yang ditempati Widya selama hamil. Sudah menjadi rutinitasnya sebelum tidur, masuk ke kamar itu untuk mengamati Widya yang terlelap dan mengajak calon anaknya berbincang.
Pria itu membuka pintu dan terkejut mendapati Widya berdiri di balik pintu. Ia menatap jam dinding, hampir menuju pukul dua belas malam. Ia merasa aneh melihat istrinya yang biasanya sudah terlelap masih terjaga.
"Kenapa belum tidur? Kamu butuh sesuatu?" tanya Farhan bingung. Pasalnya, Widya hanya diam menatapnya.
Farhan menunggu hingga Widya bersuara. Wanita itu tampak gelisah. Tangannya saling menggenggam, sesekali meremas.
Widya menunduk. "A-aku nggak bisa tidur. Dia—" lanjut Widya menunjuk perutnya, "—bikin aku kesulitan tidur."
"Terus, kamu keluar mau apa?" Farhan bingung saat Widya hanya menggeleng.
"Mau aku temani?" tawar Farhan setelah diam beberapa detik.
Widya mengalihkan tatapannya. Cukup lama hingga Farhan akhirnya melihat anggukan lemah dari wanita itu. Menahan senyum geli, ia pun menyuruh Widya berbaring. Sementara ia duduk di pinggir ranjang. Tangannya bergerak mengelus perut besar milik Widya.
Melihat napas Widya sudah teratur, Farhan pun beranjak dari duduknya. Tapi tangannya ditahan saat ia hendak berbalik. Ia menoleh dan mendapati Widya menatapanya sendu. Tangannya juga digenggam cukup erat.
"Jangan pergi. Temani aku." Farhan tertegun. Ia tidak pernah melihat tatapan sendu Widya sejak ingatan istrinya itu kembali. Dan kalimat Widya tadi membawa ingatannya ke masa lalu. Istrinya itu pernah mengatakan hal serupa di situasi berbeda.
Farhan pun merebahkan dirinya. Ia mendekap tubuh Widya seraya mengelus pelan rambut istrinya. "Tidurlah. Aku akan tetap disini menemanimu."
***
Paginya, Widya terbangun lebih dulu. Saat membuka mata, wajah Farhan yang masih terpejam yang ia lihat pertama kali. Jemarinya ingin bergerak menyentuh rahang pria itu, namun urung saat Widya menyadari kelopak mata Farhan mulai bergerak terbuka. Ia seketika memejamkan mata, berpura-pura masih tertidur.
Widya bisa merasakan kening dan pipinya dikecup agak lama. Kecupan itu juga mampir di perut besarnya.
Semua perlakuan Farhan tersebut membuat Widya menahan diri agar tidak segera membuka mata. Ia baru merasa lega setelah yakin Farhan sudah keluar dari kamar. Dadanya bergemuruh hebat. Ia meletakkan tangannya di bagian dada sebelah kiri, merasakan jantungnya yang berdetak lebih cepat.
Widya masih bingung dengan apa yang terjadi pada dirinya tadi malam. Ia masih tak menyangka sudah menahan Farhan hingga mereka berakhir tidur berdua di ranjang yang sama.
Faktanya, sekuat apapun Widya membenci dan menyalahkan Farhan atas semua yang sudah dialaminya hingga saat ini, jauh di dalam hati ia tidak benar-benar bisa melakukannya. Apalagi anak yang dikandungnya selalu membuatnya haus akan perhatian Farhan.
Widya menoleh ke sisi kasur yang ditempati Farhan tadi. Tidurnya terasa nyenyak dalam dekapan pria itu semalam penuh. Ia tidak menampik jika ia menginginkan hal serupa pada malam-malam berikutnya. Widya tidak mengerti apakah itu keinginan bayi yang sedang dikandungnya atau bisa jadi keinginan dirinya sendiri.
Widya geleng-geleng kepala saat pikiran tersebut terlintas di kepalanya. Mau disembunyikan kemana wajahnya jika Farhan mengetahui hal tersebut?
***
"Neng Widy, ngapain di dapur?" Bi Endah baru saja masuk ke dapur untuk menyiapkan makan malam. Terlihat Widya sedang membuka kulkas dan mengeluarkan beberapa bahan masakan.
"Widy mau bantu Bibi masak untuk malam ini. Boleh ya?" Bi Endah terdiam. Farhan sudah berpesan agar ia mengawasi Widya untuk tidak melakukan hal-hal yang memberatkan dan melelahkan. Masa bedrest memang sudah berakhir, tapi Farhan masih was-was jika Widya kembali mengalami pendarahan.
"Bibi takut kena marah Farhan, ya?" tanya Widya dengan wajah murung. Ia melepas bahan masakan yang tadi dipegangnya lalu melangkah keluar dapur. Bi Endah merasa tidak enak.
"Neng," panggil Bi Endah pelan. "Neng Widy boleh ikut masak. Tapi sambil duduk, ya. Kan, Neng masih nggak boleh kerja yang berat-berat," tambahnya seraya tersenyum.
Widya mengangguk antusias. Ia tersenyum lebar dengan mata berbinar. Bi Endah membiarkannya berada di dapur, asal tidak berdiri dekat kompor.
"Bibi mau masak apa? Makanan kesukaan Farhan?"
"Neng Widy mau masak makanan kesukaan Nak Farhan?"
Bi Endah tersenyum geli saat melihat Widya terdiam salah tingkah.
"Nak Farhan sebenarnya suka semua jenis makanan. Nggak punya alergi apapun. Tapi yang paling disukainya oseng tahu-tempe pedas. Neng tau nggak kenapa?"
"Emang kenapa, Bi?" tanya Widya penasaran.
"Itu masakan pertama Neng Widy yang berhasil dan enak menurut Nak Farhan," jawab Bi Endah seraya tertawa. Widya mengerinyit bingung.
"Widya nggak pernah dan nggak bisa masak, Bi," tukas Widya yakin.
"Bibi tau. Makanya dulu Neng Widy belajar masak sama Nak Farhan. Neng Widy tau kan kalau Nak Farhan punya usaha restoran. Sebagian menu di sana, idenya dari Nak Farhan sendiri."
Widya menatap tak percaya akan perkataan Bi Endah. Bi Endah makin tertawa melihat ekspresi majikannya tersebut.
"Sudah. Nggak apa-apa kalau Neng Widy nggak ingat. Neng masih bisa belajar kalau mau bisa masak lagi," ujar Bi Endah menenangkan.
Setelah hampir dua jam berkutat di dapur, akhirnya hidangan untuk makan malam selesai. Widya menatap puas ke arah meja makan. Dari berbagai hidangan yang tersaji, ada satu masakan buatannya. Ia memaksa Bi Endah mengajarkan serta membiarkannya memasak satu menu yang menurut Bi Endah kesukaan pria itu. Ia tersenyum senang. Walaupun ia belum mencicipi bagaimana rasanya, ia ingin melihat reaksi Farhan ketika melihat dan memakan hasil masakan perdananya.
Widya membersihkan diri di dalam kamar. Ia menunggu Farhan pulang agar bisa makan malam bersama. Namun, hingga jarum jam sudah bergeser ke angka sembilan, pria yang ditunggunya tak kunjung tiba. Bi Endah sudah menyuruhnya makan malam duluan tanpa menunggu Farhan pulang sejak pukul tujuh malam tadi. Tapi ia menolak karena ingin makan bersama pria itu.
Kini, selera makannya telah lenyap. Ia hanya minum vitamin dan susu hamil yang disiapkan Bi Endah. Widya kecewa. Ia bertekad bahwa ini yang pertama dan akan menjadi terakhir kalinya ia memasak untuk pria itu.
Widya beranjak menuju kamar. Walaupun menahan diri agar tidak menangis, nyatanya air mata Widya tetap merangkak keluar. Sekali lagi, Widya menangisi dirinya sendiri.
Esoknya, Widya berusaha menghindar agar tidak bertatap muka langsung dengan Farhan. Kalaupun terjadi, ia hanya menyahut seperlunya jika Farhan bertanya atau berbicara padanya. Ia masih kesal karena pria itu tidak pulang saat makan malam kemarin sehingga tidak mencicipi masakan buatannya.
Selain itu, Widya juga merasa resah dan malu. Malam tadi, ia bermimpi aneh. Mimpi yang terasa nyata, dimana Farhan terlihat begitu memujanya saat memberi sentuhan dan kecupan di beberapa bagian tubuhnya. Bertemu pria itu hanya akan membuatnya mengingat kembali mimpi tersebut. Dan Widya sama sekali tidak ingin hal itu terjadi.
Bersambung.
Ditunggu vote dan komennya yaa.. Makasiih😆
Maaf kalau typo. Langsung up nggak ngecek ulang🙏
KAMU SEDANG MEMBACA
Pilar Hati
RomanceSpin off "Menuju Tiga Tahun" *** Farhan sudah menyangka semua akan berubah ketika ingatan Widya kembali. Namun tidak mudah baginya melepaskan Widya. Apalagi ketika Widya tengah mengandung buah hatinya. *** Awal publish : agustus 2019 Tamat : - -Ziti...