Pukul 11 malam, mobil yang dikendarai Farhan akhirnya memasuki pekarangan rumah. Malam ini ia terpaksa lembur. Pekerjaannya menumpuk karena beberapa hari terakhir ia terpaksa pulang lebih cepat untuk mengawasi istrinya di rumah. Untunglah bedrest Widya berakhir kemarin sehingga hari ini ia bisa full mengurus perusahaan. Walaupun setiap jam ia akan menelpon Bi Endah untuk memantau keadaan Widya. Sayangnya setelah maghrib, ponselnya mati kehabisan daya dan ia sama sekali tak sadar akibat terlarut menangani berkas penting proyek terbaru yang akan dikerjakan perusahaan.
Lampu ruang makan masih menyala saat Farhan masuk. Kakinya otomatis bergerak ke arah sana. Tidak ada siapa pun. Farhan tertegun melihat meja makan yang penuh dengan makanan kesukaannya. Terutama pada satu piring yang sudah lama rasanya Farhan tak melihat masakan tersebut.
"Itu Neng Widy yang masak," suara Bi Endah yang tiba-tiba membuat Farhan berjengkit kaget.
"Maksud, Bibi?"
Bi Endah enggan menjawab. Tangannya sibuk memindahkan semua masakan ke dalam wadah plastik untuk selanjutnya dimasukkan ke dalam kulkas.
Saat tangan Bi Endah meraih piring berisi oseng tahu-tempe, Farhan menahan piring tersebut. Ia lantas duduk dan mulai menyantapnya, tanpa nasi.
"Ini beneran Widya yang masak?" tanya Farhan lagi. Ia masih tak percaya ucapan Bi Endah sebelumnya. Tapi setelah merasa masakan tersebut terlalu pedas dan agak asin membuat Farhan percaya itu hasil masakan istrinya. Karena masakan Bi Endah tidak mungkin rasanya seperti itu.
"Buat apa Bibi bohong? Neng Widy daritadi nunggu Nak Farhan pulang biar bisa makan malam bareng. Dia sampai nggak mau makan karena kecewa yang ditunggunya nggak datang-datang." Farhan tersedak. Raut tak percaya masih terpampang jelas di wajahnya.
Widya menunggunya pulang?
Bi Endah memghela napasnya pelan. "Mau Bibi ambilin nasi?" Farhan pun mengangguk.
Setelah makan, Farhan membersihkan diri. Kemudian ia beranjak menuju kamar Widya.
Farhan duduk di pinggir ranjang, menatap wajah istrinya yang terlihat sembab. Rasa bersalah langsung bersarang di hatinya.
Ia meraih tangan Widya dan menemukan beberapa ruas jari wanita itu terbalut plester. Batinnya terenyuh. Masih tidak menyangka bahwa istri yang masih menatapnya benci mau bersusah payah memasak untuknya. Salahkah ia jika berharap suatu saat Widya bisa menerimanya meski ingatan kebersamaan mereka selama dua tahun lalu tidak kunjung kembali?
Jemari yang berada digenggamannya, Farhan kecup satu persatu secara lembut. Tiap kecupan ia selipi do'a kepada Sang Pencipta agar istrinya tetap sehat hingga melahirkan sang buah hati. Ia juga berdo'a agar hati istrinya tidak lagi merasakan kesakitan dan rasa benci, melainkan rasa ikhlas dan kasih sayang. Terutama untuk calon anak mereka.
Tindakan Farhan terhenti saat mendengar lenguhan Widya. Tatapannya beralih dan menemukan mata istrinya masih terpejam rapat. Ia kembali mengecup jemari Widya, lalu lenguhan itu terdengar lagi.
Farhan terdiam cukup lama menatap wajah istrinya, sebelum melakukan sesuatu yang tidak akan pernah disesalinya. Mencumbu istrinya yang sedang tidur. Tidak sampai menggauli, hanya memuja tubuh istrinya yang sudah lama tak ia lakukan sejak mengetahui kehamilan Widya. Sungguh, rindu Farhan sedikit terbayar.
***
Jelas sekali Widya sedang menghindarinya. Pagi ini ketika Farhan tiba di ruang makan, Widya sama sekali tidak melirik ke arahnya. Wanita itu bergegas menyelesaikan sarapannya, lalu langsung beranjak dari ruang makan.
Selesai sarapan, Farhan menyusul Widya yang sudah berdiam diri di kamar seraya memegang ponsel. Ia mendekat dan duduk di pinggir ranjang, menatap lekat Widya yang masih tidak mau menoleh ke arahnya. Bahkan setelah Farhan sengaja berdehem beberapa kali.
Farhan tahu, Widya marah karena semalam dirinya tidak pulang untuk makan malam. Ia hanya berharap Widya tidak sadar ataupun marah akan perbuatannya yang mencuri kesempatan saat istrinya sedang tidur tadi malam.
"Maafkan aku," ucap Farhan mencoba menarik atensi sang istri.
Usahanya tidak berhasil. Widya masih fokus pada layar ponsel. Benar-benar mengabaikannya.
"Oseng tahu-tempenya enak." Farhan pernah dengar sebagian besar wanita suka dipuji. Ia berharap kali ini pancingannya berhasil.
Dan benar. Widya akhirnya melirik ke arahnya walaupun sekilas.
"Nanti malam aku pulang sebelum jam makan malam. Kalau kamu—"
"Nggak. Itu pertama dan terakhir kalinya aku masak," potong Widya ketus. Farhan sedikit kaget mendengarnya. Tapi sedetik kemudian ia tersenyum simpul.
"Baiklah. Lagian aku nggak tega jari-jari kamu terluka kalau masak," balas Farhan kalem. Ia bangkit berdiri. "Aku berangkat. Ingat, jangan lakukan aktivitas yang berat-berat," pamit Farhan sebelum melangkah keluar kamar Widya. Tangannya terulur hendak mengusap kepala istrinya. Namun urung saat menyadari Widya enggan menerima sentuhannya.
***
Widya menatap punggung Farhan yang menghilang di balik pintu. Percuma usahanya pagi ini menghindari pria itu. Nyatanya, Farhan mengikutinya sampai ke dalam kamar. Terpaksa ia meladeni pria itu, walaupun dengan sikapnya yang dingin. Memang, ia sekurang ajar itu pada pria yang berstatus suaminya tersebut.
Widya masih kesal masalah tadi malam, tentu saja. Selain itu, mimpi yang dialaminya semalam selalu berputar di otak cantiknya. Rasanya benar-benar nyata. Anehnya, Widya sama sekali tidak merasa risih atau jijik. Sebaliknya, ia ingin mengulang kembali dalam keadaan sadar.
Widya menggeleng keras. Apa-apaan pikirannya tadi? Mengulang? Ingin rasanya ia membenturkan kepala ke dinding agar otaknya kembali waras.
Widya mencemooh dirinya sendiri. Mimpi tadi malam membuktikan tubuhnya sangat lemah terhadap sentuhan Farhan. Padahal ia yakin tidak memiliki rasa apapun terhadap pria itu. Ia sedikit penasaran bagaimana kehidupan pernikahannya dengan Farhan selama dua tahun yang sudah hilang di memorinya.
Apakah dirinya dulu jatuh cinta pada Farhan? Kalau tidak, tidak mungkin ia mau menikah lalu mengandung anak Farhan, bukan? Atau dulu ia dan Farhan hanya berhubungan badan tanpa adanya cinta diantara mereka?
Bahkan saat ini Widya sangsi, entah Farhan mencintai seorang Widya atau tidak. Mengingat bagaimana pria itu memperlakukannya selama ingatannya pulih, ia tidak bisa membaca dan mengartikan tatapan Farhan. Pria itu kadang memperlakukannya sangat baik, kadang sebaliknya. Hanya satu yang konsisten pada pria itu, yaitu selalu memperhatikan kondisi janin dalam kandungannya. Widya merasa miris ketika membayangkan kemungkinan dirinya saat amnesia begitu tulus mencintai Farhan, namun pria itu tidak pernah mencintainya.
Widya pusing dengan segala kerumitan pikirannya sendiri. Ia pun memutuskan untuk mandi. Saat membuka pakainnya di dalam kamar mandi, matanya sontak melebar. Melihat bayangan tubuhnya di balik cermin, terdapat banyak bercak-bercak berwarna merah keunguan. Terutama di bagian dada dan lengan atas.
Widya mengerjap matanya beberapa kali. Ia tahu bercak-bercak itu tidak lain adalah kissmark. Tapi kenapa bisa—
Satu pertanyaan langsung terlintas di kepalanya. Jadi yang semalam itu bukan mimpi?
Bersambung.
Hai, jangan lupa tinggalkan jejak vote dan komen yaa.. malulah jadi siders..
Makasihh😍
![](https://img.wattpad.com/cover/180214437-288-k484689.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Pilar Hati
Roman d'amourSpin off "Menuju Tiga Tahun" *** Farhan sudah menyangka semua akan berubah ketika ingatan Widya kembali. Namun tidak mudah baginya melepaskan Widya. Apalagi ketika Widya tengah mengandung buah hatinya. *** Awal publish : agustus 2019 Tamat : - -Ziti...