7. Terasa familiar

410 64 3
                                    

Farhan kembali ke ruangannya setelah rapat internal perusahaan berakhir. Saat masuk, ia masih tidak sadar bahwa ada orang lain selain dirinya di dalam ruangannya. Hingga suara deheman singkat mengagetkan Farhan.

"Widy?" gumam Farhan bingung usai mengatasi kekagetannya. Ada angin apa hingga Widya terdampar di ruangannya? 

"Ada apa? Tumben kesini? Udah makan?" Sungguh, Farhan tidak tahu harus bersikap seperti apa ketika tiba-tiba bertemu Widya sehingga yang keluar dari mulutnya hanyalah pertanyaan yang beruntun.

Sudah hampir dua minggu ia berusaha menghindar agar tidak bertatap muka langsung dengan Widya. Ia masih ingat tatapan datar Widya terakhir kali. Saat dimana ia dikuasai amarah dan hampir menyakiti Widya, meski hanya lewat kata-kata. Ia memilih tidak pulang ke rumah papi hari itu. Farhan butuh waktu sendiri untuk menenangkan emosinya. Ia memilih pulang ke rumah yang seharusnya ditempatinya bersama Widya. Biasanya, Farhan hanya sesekali kesana untuk mengambil pakaian ganti. Sedangkan Widya tidak pernah mau diajak pulang. Walaupun papi tidak keberatan, Farhan cukup sungkan jika mereka terus-menerus menetap di rumah mertuanya tersebut.

Dan kini, tiba-tiba Widya berdiri di hadapannya. Istrinya tetap cantik walaupun badannya tambah berisi di beberapa bagian terutama di bagian perut yang semakin tampak membuncit. Farhan tak menampik rasa bahagia yang dirasakannya kala bisa melihat istrinya di siang hari seperti hari ini. Sebulan terakhir, ia hanya mampu menatap Widya dengan puas ketika wanita itu sedang terlelap di malam hari. 

Namun kebahagiaannya tidak bertahan lama saat menangkap air muka Widya seperti sedang menahan amarah. Dan Farhan yakin, kedatangan Widya pasti untuk suatu hal yang tidak disukainya. Ia mendekat ke arah Widya berdiri, meminta istrinya untuk duduk.

"Kenapa kamu nggak ngadu ke papi soal aku dan Raka?" tanya Widya setelah menjatuhkan diri di atas sofa. Farhan diam. Ia yang berlutut di hadapan Widya menunduk, lalu berdecak saat menemukan kaki Widya terbalut sepatu high heels.

"Kenapa pakai sepatu seperti ini? Ibu hamil nggak baik pakai ini." Saat Farhan hendak meraih kaki Widya untuk melepaskan sepatu tersebut, Widya memundurkan kakinya tanda tak ingin disentuh.

"Aku nggak bisa mempertahankan anak ini." Farhan sontak menatap Widya. Ia tidak percaya kalimat itu keluar dari bibir Widya. 

"Raka nggak mau terima jika anak ini masih ada dalam perut aku. Aku mau ab—" Farhan membungkam Widya dengan bibirnya. Ia tidak mau mendengar kelanjutan perkataan Widya yang bisa membuatnya seketika menjadi gila. Farhan terus melumat bibir istrinya yang terasa kaku. Mungkin karena terkejut akan tindakannya tiba-tiba.

"Aku masih bisa terima kalau kamu meminta pisah dan kembali pada pria itu. Tapi aku nggak akan membiarkan kamu melakukan hal buruk pada calon anakku," desis Farhan setelah melepas lumatannya. "Mulai sekarang kamu harus tinggal bersamaku. Biar aku yang merawat janin itu. Setelah ia lahir, terserah kamu. Mau bercerai untuk kembali bersama pria itu, aku nggak peduli," sambung Farhan dengan nada yang tak kalah dingin. Ia menatap tajam Widya yang masih memasang raut kaget. Napasnya memburu karena amarah. Farhan berbalik menuju kursi kerjanya, berusaha keras meredam emosi yang menyala-nyala di dadanya.

"Aku nggak mau. Aku akan tinggal di apartemenku," sahut Widya setengah teriak setelah mengumpulkan kesadarannya. Kemudian ia melangkah keluar ruangan tersebut.

"Jangan keras kepala. Kamu tahu apa yang akan terjadi jika Papi mengetahui kamu kembali bersama Raka, kan? Tinggal bersamaku dengan tenang dan aku nggak akan memberitahu Papi soal itu." Ucapan Farhan menyebabkan Widya urung membuka pintu. Ia berbalik menghadap Farhan seraya memicing.

"Kamu mengancamku?" Farhan mengedikkan bahu tak acuh.

"Hanya sampai anakku lahir. Setelah itu kamu bebas," timpal Farhan datar. Melihat Widya tak menjawab, menandakan wanita itu menyetujui perkataannya.

Pilar HatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang