Chapter 15

1.3K 187 4
                                    

Sakura berlari dengan airmata yang mengalir deras di pipinya. Tangannya mencengkeram erat dadanya yang terasa remuk. Segala rasa sakit melebur jadi satu di sana. Menciptakan sensasi rasa menyesakkan yang membuatnya terisak hebat dalam perjalanannya ke tempat favorit yang kini telah berubah menjadi neraka dimatanya.

Emeraldnya menatap sekumpulan kertas warna-warni yang tergantung di pohon besar yang menjadi tempat rahasianya di taman itu. Rasa sakit itu tak jua berkurang walau ia menatap semua kertas yang selama ini selalu berhasil membuat keyakinannya kokoh. Segala emosi itu malah semakin meledak menjadi sebuah kemarahan hanya karena ia menatap kumpulan kertas yang menjadikan pohon itu semakin cantik.

Ia mendekatinya dan dengan segala emosi yang menumpuk di hatinya, ia menarik kasar semua kertas warna-warni itu dari tempatnya. Merobeknya dengan teriakan penuh kemarahan dan membuangnya sembarang. Setelah melampiaskan semuanya, ia jatuh terduduk dan meringkuk di bawah pohon itu sambil menutup wajahnya yang penuh airmata dengan kedua telapak tangan. Isakannya terdengar begitu pilu mengusik sembilu.

"Carilah tempat lain kalau ingin menangis. Kau mengganggu istirahat siangku."

Sampai sebuah suara tiba-tiba mengagetkan gadis itu. Ia spontan menoleh dan menatap Si Pemilik Suara yang adalah seorang pemuda dua puluh tahunan berambut raven yang duduk dibawah pohon tidak jauh dari tempatnya. Pemuda itu menatapnya remeh.

"Apa orang tuamu mengajarkanmu untuk menjadi anak pecundang yang cengeng? Menyedihkan sekali," lanjutnya tajam. Membuat Sakura kembali tenggelam dalam jurang kesesakan yang membangkitkan emosinya. Rahangnya mengeras dengan tangan yang terkepal. Sekelumit rasa sakit dan kerapuhan yang terpancar kuat dari emerald indahnya, membuat wajah dingin pemuda itu tertegun seketika.

Jemari lentik itu mengambil batu di bawah kakinya dan langsung melempar pemuda itu. Tidak hanya sekali, tapi bertubi-tubi. Sembari menumpahkan semua kemarahan dalam hatinya.

"Kau tahu apa tentangku?!"

Batu pertama mengenai tubuh Sang Pemuda, namun sepertinya tidak berpengaruh untuknya. Keterkejutan masih menguasai di kedua onyxnya. Seperti tidak pernah menyangka kalimatnya bisa menyakiti Sang Gadis sampai bereaksi seperti ini.

"Apa kau pernah dibanding-bandingkan dengan kakakmu yang jenius?!" Batu kedua tak jua melunturkan ekspresi Sang Pemuda namun kini ia sedikit memberi reaksi dengan mengerjabkan matanya.

"Apa kau pernah dicaci maki hanya karena melakukan kesalahan kecil?!" Batu ketiga membuat raut tertegun itu luntur perlahan berganti dengan onyxnya yang menatap penuh makna. Seakan mengerti dengan semua kesakitan yang dialami Sang Gadis.

"Apa kau pernah terus menerus dimarahi padahal kau sudah mencoba sekuat tenaga melakukan yang terbaik?!" Dan lemparan itupun berakhir dengan tangisan yang lebih kencang dari Sang Gadis. "Jangan bicara seolah kau tahu segalanya tentangku!" Isakan yang membuat siapapun dapat merasakan betapa terluka hatinya hanya karena kata-kata sindiran dari Sang Pemuda Raven. Membuat kilat penyesalan itu sekilas lewat dari kedua onyxnya.

"Maaf."

Dan itu kata terakhir yang sayup-sayup tertangkap indera pendengaran Sakura. Entah suara itu memang nyata ada atau hanya ilusinya semata, ia tidak peduli, karena ia sudah memutuskan berbalik lari meninggalkan tempat itu sebelum ia sendiri memastikan kata itu keluar dari mulut pemuda itu. Rasa sakit hatinya lebih mendominasi bahkan hanya untuk sekedar mengingat wajah Si Tampan. Apalagi untuk mendengar sebuah permintaan maaf yang rasanya tidak akan berguna karena dirinya sudah terlanjur terluka hati.

Once AgainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang