Jemariku menari lincah di layar pipih berukuran lima inci. Berbalas komentar dengan teman-teman sekedar menghilangkan rasa yang semakin hari semakin menggunung di dada. Menyiksa. Apalagi tadi sempat kulihat uanggahan foto Dahlia bersama Kirana. Rasa ingin meraih mereka kembali semakin memenuhi dada.
Dahlia bahkan terlihat semakin mempesona saat ini. Meski sejak dulu dia memang sudah mempesona. Wajahnya putih bersih. Matanya sipit tambah lesung pipit yang membuatnya semakin menarik. Cantik. Sayang aku terlalu tamak. Lupa akan syukur yang harusnya aku pegang teguh.
Kirana putriku kini tumbuh menjadi gadis cilik yang begitu menggemaskan. Persis mamanya. Tak ada wajahku di sana. Mungkin bagi Dahlia itu sesuatu yang menguntungkan. Dia tak perlu melihatku saat menatap Kirana.
Kasar kuhembuskan nafas. Kemudian kembali membuka profil facebook Dahlia. Memperbesar foto mereka.
"Papa rindu, Ma. Rindu sekali sama kalian berdua."
Kudekap erat benda pipih yang beberapa tahun belakangan ini menjadi benda paling kusayangi. Karenanya aku bisa melihat kembali senyum kedua wanitaku yang dulu pernah kubuat menangis. Menempelkannya tepat di jantungku. Kuharap rindu ini bisa sampai pada mereka.
"Kiran, Papa kangen. Kangeeeeen sekali. Maafin Papa, Sayang. Maafin Papa!"
Pintu kamar terbuka, muncul wanita yang tak kalah cantik dari Dahlia. Melangkah, mengikis jarak di antara kami. Kuletakkan kembali ponsel di nakas setelah menguncinya.
"Kenapa? Kangen sama Dahlia?" ketusnya tanpa menatap sedikitpun langsung berbaring membelakangiku.
Kuusap pundaknya lembut. "Maaf, aku ... ."
"Cukup! Aku bosan dengar kata itu. Kalau kamu ingin kembali silahkan sana! Jangan harap kamu bisa melihatku dan Agista lagi!"
Dilema.
Itu yang sejak dulu aku rasakan setelah tenggelam terlalu jauh dalam lautan cinta Safira. Gadis cantik yang awalnya menjadi sekretarisku. Aku lupa daratan. Tersesat.
Saat ingin mengakhiri semua nyatanya terlambat. Safira hamil dan menuntut pertanggungjawaban. Aku limbung. Seperti berdiri di persimpangan jalan. Di satu sisi sungguh cintaku pada Dahlia masih sama. Bahkan tak ada sedikitpun niat untuk berpisah darinya. Di sisi lain ada Safira yang butuh tanggung jawabku.
Nyatanya yang terjadi aku tak diberi kesempatan untuk memilih. Insting Dahlia cukup tajam. Tak butuh waktu lama permainan gilaku dengan Safira langsung bisa dia ketahui. Dahlia memang wanita cerdas dan tegas. Karenanya aku tergila-gila padanya.
"Silahkan kamu teruskan hubunganmu dengan wanita itu. Aku enggak mau bersama lelaki yang enggak bisa menjaga diri."
"Kamu salah paham, Ma. Ini enggak seperti yang kamu pikirkan."
"Cukup! Kamu atau aku yang harus pergi dari sini?"
Tak ada air mata Dahlia. Wajah itu dingin dan datar. Aku yang kelimpungan dibuatnya.
"Ma, dengarkan Papa dulu. Kamu salah paham." Aku masih berusaha mengelak. Sungguh aku ingin mempertahankan pernikahan ini.
"Aku bukan perempuan bodoh. Semua bukti sudah cukup. Kita bertemu di pengadilan."
Wanitaku berlalu menutup pintu kamar. Aku masih tak tahu diri mengejarnya. Mengharapnya untuk mau bertahan di sisiku. Merayunya. Menghujaninya dengan kata cinta janji manis dan semua kata yang kuharap bisa meluluhkan hatinya. Tapi hatinya sudah membeku. Tak bisa kukikis sedikitpun.
Lengan kurusnya menarik koper besar di lemari bagian bawah. Sekali lagi sorot dingin itu menghunusku. "Kamu atau aku yang pergi?"
Aku terdiam. Aku benar-benar telah kehilangannya. Kehilangan wanita yang begitu setia mencintaiku. Mengabdikan hidupnya untukku dan anakku. Meninggalkan impiannya demi pernikahan ini.
Tak sabar menanti bibirku berucap, dengan cekatan dia mengemas barang-barangnya. Ingin kutahan tangan itu. Tapi aku sadar bahwa kita memang tak sekufu lagi. Kata yang dulu selalu dia gaungkan. Bahwa mencari pendamping itu harus yang sekufu. Supaya minim konflik, katanya.
Kini aku seorang pezina, seorang pengkhianat, seorang pembohong. Dan dia tetap ada di levelnya. Wanita setia, jujur dan tak pantas lagi bersanding denganku. Kita tak sekufu lagi.
Aku sampai tak menyadari Dahlia sudah berpindah ke kamar Kirana. Bayi mungil yang kini sedang lelap dalam tidurnya. Dia tak mengerti apa yang sedang terjadi pada orang tuanya. Hampir lima tahun menunggu kehadirannya. Nyatanya sekarang saat dia telah melengkapi kami justru aku tersesat terlalu jauh.
Sesak semakin memenuhi dada. Saat perlengkapan bayi yang tertata rapi di meja kini tak ada lagi.
"Ma, please! Please dengerin Papa dulu!" teriakku frustasi.
Kutarik kasar tangan yang tengah sibuk memasukkan perlengkapan bayi ke dalam tas. Hingga kini wajah kami berhadapan begitu dekat.
"Jangan tinggalin Papa! Please, Ma!"
Dahlia berusaha melepaskan tangannya. Tapi cengkeramanku kuperkuat.
"Papa enggak sanggup hidup tanpa kalian, Ma." Kini ada yang jatuh dari mataku. Pipiku basah. Seumur hidup sepertinya baru ini aku menangis. Dadaku sangat sesak. Aku tak sanggup membayangkan hari-hariku tanpa mereka. Aku tak sanggup hidup tanpa mereka.
"Jangan! Please, Ma! Please!"
Kini di matanya ada kaca-kaca. Mata sipit itu akhirnya mengeluarkan laranya. Mengalir dengan derasnya.
"Please, tetaplah di sini, Ma. Temani Papa! Kita menua bersama. Seperti mimpi kita."
Aku membujuknya. Aku merayunya. Sungguh demi apapun aku ingin tetap bersamanya. Aku tak ingin berpisah darinya.
Dengan kasar jemari lentik itu menghapus pipi basahnya. Mata itu kembali dingin. Menatapku datar. Dahlia kembali mengemas barang-barang Kirana.
"Okey, Ma. Cukup!"
Kutarik pundak itu kemudian memutar tubuhnya agar menghadapku. Wajah itu menunduk seolah enggan menatapku.
"Papa yang pergi, Ma. Mama sama Kiran tetaplah di sini. Papa yang pergi."
Dahlia masih membisu. Aku beralih kepada Kirana yang masih pulas dalam tidurnya. Kucium pelan pipi tembemnya. Membelai rambutnya yang masih pirang dan jarang.
"Papa pergi dulu, Sayang. Kiran sama Mama baik-baik ya di rumah. Papa sayang sama Kiran. Papa cinta sama kalian. Papa pergi jika itu bisa menebus kesalahan Papa sama kalian."
Sekali lagi kucium pipi lembut itu. Merapikan selimutnya.
"Sampai kapanpun Papa selalu mencintai kalian. Maafin Papa!"
Aku berbalik menatap Dahlia yang masih berdiri membelakangi ranjang Kirana. Aku yakin ini pasti juga tak mudah untuknya. Tapi jika ini maunya, maka apapun akan kulakukan. Aku memang salah.
"Ma, Papa pamit dulu. Mama baik-baik di rumah sama Kiran ya? Sampai kapanpun Papa selalu mencintai Mama. Selamanya. Jaga diri baik-baik, Ma. Maafin kebodohan Papa."
Berat kakiku melangkah. Kututup pintu tanpa menoleh lagi agar ragu tak menggoyahkan asa. Di sini. Di rumah ini. Nyatanya tertinggal separuh hidupku. Seluruh hatiku. Kuberlalu dengan raga tanpa kalbu.
KAMU SEDANG MEMBACA
RINDU JALAN PULANG (DINOVELKAN 0895355156677)
General FictionMenceritakan penyesalan Bastian yang sudah meninggalkan anak dan istrinya karena orang ketiga. Akankah Bastian bisa kembali meraih keluarga kecilnua yang sudah ia tinggalkan begitu saja?