Tanpa ragu kulangkahkan kaki ini ke dalam ruangan dimana Dahlia berada. Tatapanku tak beralih sedikit pun dari Dahlia. Dahlia pun tak mau kalah. Dia balas menatapku sengit.
"Bu Lili, tolong ajak Kirana pergi dulu! Saya mau bicara," ucapku tegas. Aku tak mau Kirana mendengar perdebatan kami.
Tanpa berkata-kata Bu Lili mengajak Kirana keluar ruangan. Tak dinyana, tiga orang guru lainnya pun mengikuti langkah Bu Lili. Kini tinggal aku dan Dahlia.
"Kamu bilang aku bukan papa Kirana?" tandasku pada Dahlia.
"Ya!" tegas Dahlia. "Enggak ada papa sepertimu. Kamu tak terima?"
Bibirku sudah terbuka, tetapi kemudian terkatup kembali. Aku kehabisan kata, tak bisa menjawab Dahlia. Okey, aku memang salah. Tetapi tetap aku tak terima.
"Kirana terlalu baik untuk memiliki papa sepertimu." Ucapan Dahlia bak belati yang pas menghunus jantungku.
Aku tertunduk, mengoreksi diri. Kemudian menghela nafas panjang.
"Tapi bagaimanapun aku papanya," elakku masih tak terima dengan ucapan Dahlia. Meski kali ini nada bicaraku pelan. Tak semenggebu tadi. "Tanpa aku enggak akan ada Kirana saat ini."
"Heh!" Dahlia tersenyum sinis. "Benar. Tapi saat ini, tanpa kamu Kirana bisa."
"Itu menurutmu, tapi belum tentu dia sekuat itu. Dia butuh papanya, layaknya anak-anak lainnya yang butuh kedua orang tuanya." Aku berusaha meluluhkan kerasnya hati Dahlia.
Dahlia hanya mendecih. "Tidakkah kamu pikirkan itu sebelumnya?"
Sial!
Aku termakan ucapanku sendiri.
"Kemana saja kamu? Tiba-tiba datang mengaku-ngaku sebagai seorang papa. Apa kamu benar-benar sudah tak punya malu?" ejek Dahlia sambil tertawa merendahkan.
"Tapi setidaknya, izinkan aku untuk memperbaiki semuanya!" pintaku sungguh-sungguh.
Dahlia kembali tertawa sinis. "Semua sudah baik-baik saja. Enggak ada yang perlu diperbaiki."
"Ma, please! Beri aku kesempatan!"
"Sudah, pulanglah! Tolong jangan buat Kirana bingung. Dia masih terlalu kecil untuk terlibat dalam permasalahan orang dewasa."
"Ma, please! Apa yang harus aku lakukan untuk bisa bersama kalian lagi?"
"Pergilah, jangan pernah muncul kembali! Aku sudah memaafkanmu. Tapi aku tak ingin pikiran Kiran terganggu," ucap Dahlia tegas.
"Enggak, Ma. Aku mohon, beri aku kesempatan lagi! Kamu bisa penggal leherku kalau aku kembali melakukan kesalahan yang sama," bujukku.
Dahlia tersenyum miris mendengar ucapanku. "Sudahlah!"
"Enggak, Ma. Aku masih selalu merindukan kalian. Cinta ini masih sama."
"Aku sudah enggak butuh itu," ujarnya.
"Lalu kenapa kamu masih mempertahankan ikatan pernikahan kita?" Pertanyaan itu akhirnya keluar juga.
"Kamu ingin tahu jawabannya?"
Aku mengangguk pelan.
"Tidak usah. Yang jelas aku punya alasan sendiri. Kalau kamu mau menggugat silahkan!" ucapnya tegas.
Aku hanya terdiam menatapnya. Tak tahu arah pikirannya.
Okey, aku ikuti saja apa maunya. Aku yakin, pada saatnya nanti ia akan luluh kembali.
Wanita yang selama ini memenuhi pikiranku akhirnya keluar dari ruangan. Meninggalkanku yang masih termenung mencerna setiap kata yang dia ucapkan.
Akhirnya, dengan langkah gontai kuikuti jejaknya. Meninggalkan ruangan ini.
Dadaku semakin sesak melihat Kirana ada di tengah-tengah Fahmi dan Dahlia. Bahkan mereka saling bergandengan tangan, layaknya sebuah keluarga.
Argh!
Sial!
Ingin kubernyanyi lagu sendu melihat pemandangan itu.
Harusnya aku yang di sana, dampingimu dan bukan dia.
Harusnya aku yang kau cinta dan bukan dia.
Harusnya kau tahu bahwa cintaku lebih darinya.
Harusnya yang kau pilih bukan dia.Kutak bahagia, melihat kau bahagia dengannya.
Kutak bahagia, melihat kau bahagia.Malang nian kamu, Bas!
Akhirnya aku hanya bisa bernyanyi sekeras-keras di dalam mobil. Berteriak, menumpahkan sesak yang memenuhi dada.
Dahliaaa!
Aku mencintaimu!
Aku melangkah memasuki rumah dengan lesu. Hidupku kini benar-benar tak punya gairah lagi.
"Bas!" Suara ibu mengejutkanku. Aku menoleh ke arahnya. Tampak ibu sedang memandangiku dengan dahi berkerut.
"Kamu kenapa lesu begitu?" tanyanya. "Kayanya tadi semangat banget nanyain sekolah Kirana?"
"Iya, Bu. Bastian enggak apa-apa, kok. Bastian ke kamar dulu, ya, Bu," pamitku.
Ibu hanya bisa menatapku yang berjalan melewatinya. Entah, saat ini aku sedang tidak ingin bicara dengan siapapun. Aku ingin sendiri. Meratapi nasib diri.
Kuhempaskan tubuh di atas ranjang. Kusilangkan kedua tangan di atas dahi yang terasa berdenyut.
Dahlia.
Wajah pemilik nama itu tak bisa pergi dari kepalaku. Aku benar-benar merindukannya. Aku ingin bisa kembali bersamanya.
Aku menyesal, Dahlia! Aku menyesal!
Kubalikkan badan, dan kubenamkan wajah di atas bantal. Kemudian berteriak sekeras yang kumampu.
"Dahliaaa!!!"
Entah berapa lama aku bertingkah seperti orang gila. Dahlia benar-benar sudah menguasai jiwaku. Sampai aku seperti tak waras lagi.
Lelah berteriak dan meluapkan rasa yang bercokol di dada, akhirnya aku tertidur juga. Entah berapa lama. Sampai akhirnya kudengar suara ibu memanggilku. Diikuti tepukan di pipiku.
"Bas! Bas! Bangun!"
Mataku mengerjap. Menyesuaikan cahaya lampu yang menyilaukan. Kulihat gordin jendela sudah tertutup sempurna. Mungkin ibu yang sudah menutupnya.
"Ini sudah malam, Bas. Itu Ayah sudah di meja makan," jelas ibu seolah bisa membaca pikiranku.
"Oh, iya, Bu. Bastian cuci muka dulu."
Di meja makan tampak ayah sudah menikmati makan malamnya. Begitu juga ibu. Tanpa suara aku bergabung bersama.
"Gimana, Bas?" Bariton ayah memecah keheningan di antara kami.
"Hem?" Aku yang sedang tidak fokus gelagapan ditanya ayah.
"Kamu itu, ditanya ham hem ham hem! Pantas saja Dahlia ogah," ejek Ayah.
"Apaan, sih, Yah! Anak baru mau makan sudah dipojokin gitu!" protes ibu.
"Jadi laki itu harus kuat! Jangan cemen! Baru sekali ditolak aja udah seperti dunia kiamat aja. Coba lagi! Terus sampai Dahlia enggak punya alasan buat nolak kamu!"
Aku tercengang menatap ayah. Lelaki di depanku ini memang bukan lelaki biasa. Jiwa juangnya begitu tinggi, tak heran bisa sesukses sekarang.
Mendengar ucapan ayah, jantungku kembali semangat memompa darah. Ya, ayah benar. Lelaki sejati pantang mundur!
Lihat, Dahlia!
Aku akan melakukan segala cara untuk mendapatkanmu lagi. Tunggu aku, Dahlia!
.
Terima kasih kepada pembaca setia...
Semoga selalu dalam lindunganNya dipermudah semua urusannya dan dilancarkan rezekinya.
Setelah baca jangan lupa SUBSCRIBE ya!!!
😊😊😊😊😊😘😘😘😘
KAMU SEDANG MEMBACA
RINDU JALAN PULANG (DINOVELKAN 0895355156677)
General FictionMenceritakan penyesalan Bastian yang sudah meninggalkan anak dan istrinya karena orang ketiga. Akankah Bastian bisa kembali meraih keluarga kecilnua yang sudah ia tinggalkan begitu saja?