Rumah masih terlihat ramai saat aku pulang. Padahal ini sudah pukul sembilan. Biasanya Agista sudah tidur. Tapi kali ini ia masih asik bermain berbagai boneka di ruang keluarga dengan Mba Lala pengasuhnya.
"Mama kemana, Sayang?" Malam ini aku pulang telat. Biasanya pukul tujuh aku sudah sampai rumah. Hari ini ada kendala pengiriman jadi mau tak mau aku pulang telat. Sebelumnya Safira sudah kukabari agar tak khawatir.
"Mama pelgi ama Om Oga."
Deg.
Terulang lagi. Yoga mantan pacar Safira saat kuliah. Mereka putus saat Safira mulai dekat denganku. Dan setelah kami menikah hubungan mereka terjalin kembali di belakangku.
Aku tahu Safira kecewa padaku. Aku jarang bisa memberi nafkah batin. Tapi seharusnya dia bisa menjaga diri sebagai istri, menjaga kehormatan suami.
"Pergi jam berapa tadi Ibu, La?"
"Emh itu, Pak. Emh ... ." Lala terlihat gugup dan ragu-ragu menjawab pertanyaanku. Dia pasti sudah diancam macam-macam oleh Safira.
"Jujur saja! Atau kamu saya pulangkan malam inj juga!" Aku tak mau kalah mengancam Lala. Harga diriku telah Safira injak-injak.
"Tadi setelah Pak Bastian telpon, Bu Fira langsung pergi."
"Dijemput Yoga ke sini?"
"Iya, Pak."
"Ya sudah, bawa Gista tidur ke kamar! Sudah malam."
"Sayang, bobo ya? Besok lagi mainnya!" Aku membujuk putri kecilku.
"Ita mau bobo ama Mama. Mau unggu Mama uyang."
"Ya sudah, Papa mandi dulu nanti bobo sama Papa ya?"
"Mau Mama!" Agista berteriak. Anak ini pasti lelah menunggu Mamanya pulang. Bukankah tadi jam setengah lima aku kasih kabar Safira kalau pulang terlambat. Benar-benar keterlaluan.
Aku berlalu menuju kamar. Mandi kemudian keluar untuk makan malam.
"Agista sudah makan, La?"
"Sudah, Pak."
"Mau makan lagi bareng Papa enggak, Sayang?" tanyaku menghampiri Agista. Anak itu menggeleng. Masih fokus pada boneka-bonekanya.
"Ya sudah, Papa makan dulu ya?"
Aku hanya menatap hidangan di meja makan. Selera makanku menguap. Penyesalan yang begitu besar kembali memenuhi rongga dada. Dahlia tak pernah sekalipun berbuat rendah seperti ini. Jam berapapun aku pulang, dia selalu menyambut dengan senyum manisnya.
Sekarang aku merasakan apa yang dulu Dahlia rasa. Dihianati itu pedih. Sakit. Harga diriku benar-benar diijnjak-injak. Dulu pernah sekali Safira seperti ini. Pulang diantar laki-laki saat aku ada rencana ke luar kota. Sayangnya aku tak jadi berangkat hari itu. Aku ke pabrik dan pulang seperti biasa. Ternyata Safira pulang malam diantar laki-laki. Dengan jelas kulihat mereka berciuman di luar mobil sebelum Safira masuk rumah.
Emosiku memuncak. Tanpa pikir panjang kuhajar laki-laki itu hingga babak belur. Setahuku dia sampai dirawat di rumah sakit. Saat itu Safira berjanji tidak akan berhubungan dengan laki-laki itu lagi. Apalagi saat itu istrinya juga sedang hamil besar.
Dan hari ini terulang kembali. Bahkan sampai Agista tak dipikirkannya lagi. Dadaku panas. Seperti gunung yang siap menumpahkan larvanya.
Sampai jam sepuluh kutemani Agista bermain sambil menunggu Mamanya. Akhirnya anak itu tidur dalam pangkuanku. Lala membawanya ke kamar. Sedang aku masih bergeming di depan TV.
Seandainya aku tak sebodoh ini tentu tak akan kurasakan panas hati saat harga diri tak dijaga sang istri. Saat telah kumiliki seorang permaisuri nyatanya tak bisa kuredam naluri lelaki. Kini yang ada tingga rasa sakit yang menggerogoti.
Ingin kembali meraih bidadari yang telah kuhianati. Namun aku tak punya muka lagi. Ingin tetap kujalani pernikahan yang ada, namun lara oleh laku durjana terus menyiksa. Sungguh aku begitu rindu jalan pulang. Rindu setiap tapak jalan yang dulu selalu kulewati. Rindu saat pintu terbuka disuguhi senyum yang bisa menghilangkan penat.
Aku rindu.
Sangat rindu.
Apalagi setelah waktu itu tak sengaja kami bertemu. Rindu ini semakin menggebu. Ingin kupeluk Kirana lebih lama, bahkan selamanya. Nyatanya aku tak lagi punya daya. Semua lenyap seketika.
Deru mobil terdengar berhenti di depan rumah saat jam dinding menunjuk angka sebelas. Kaki ini langsung melangkah keluar. Tangan ini mengepal kuat. Rahangku mengeras. Ingin kuhajar mereka berdua.
Lelaki itu sepertinya punya nyali. Dia keluar dari mobil meski Safira mendorong-dorong tubuhnya untuk masuk kembali. Dia menantangku. Kali ini mungkin tak akan berakhir di rumah sakit lagi. Tapi di neraka.
"Begini ternyata saat aku sibuk bekerja ya?"
"Maafin aku, Mas! Tolong tahan emosimu, Mas!"
Safira sekarang menarik-narik lenganku yang kini kaku. Mungkin dia ingin membawaku masuk rumah. Tapi jangan harap sebelum lelaki itu terbujur kaku.
"Safira butuh lelaki sungguhan, Bung. Dan kau tak bisa kan meladeni darah muda yang masih mengalir di tubuhnya." Lelaki itu benar-benar ingin mati. Dengan senyum meremehkanku dia berkata begitu.
Tanpa kata langsung kuayunkan kepalan tangan tepat ke wajahnya.
Bug.
Lelaki itu sedikit terhuyung. Lalu berdiri tegap kembali.
"Cuma segitu rupanya? Pantas Safira masih membutuhkanku."
Kini lelaki itu yang menyerangku dan tanpa kendali perkelahian ini terjadi. Membara dada ini tak lagi membuatku peduli. Bahkan hingga lelaki ini matipun aku tak akan menyesali.
"Cukup, Mas! Cukup!" Safira berteriak histeris melihat kami saling pukul membabi buta. Aku masih tak berhenti. Meski lawanku kini sudah terkapar tak berdaya. Bahkan sampai dia mati pun aku tak peduli. Ini tentang harga diri lelaki.
"Tolong! Tolong!" Safira berteriak minta tolong. Tak lama berbondong tetangga berdatangan melerai kami.
Nafasku masih memburu saat beberapa lelaki berhasil melarai perkelahian ini. Belum puas rasanya melihat lelaki ini masih bisa bernafas. Ingin kuputus nafasnya.
"Tenang, Pak Bas. Semua bisa dibicarakan baik-baik. Kalau seperti ini masalahnya bisa panjang." Entah siapa berusaha menasehatiku. Aku masih larut dalam emosi. Tak peduli siapa-siapa lagi.
"Sekali lagi kalian main gila, jangan harap kamu bisa melihatnya lagi!" ancamku pada Safira yang masih menangis tergugu.
"Aku laki-laki. Pantang bagiku untuk dihianati!"
"Sudah, Pak. Kita masuk dulu!" ajak Pak RT yang sejak tadi memegangi lenganku.
"Pak Hasan, tolong telpon ambulan dan bawa dia ke rumah sakit!"
Bi Siti dan Lala tertegun di teras rumah. Syok melihat peristiwa di depannya.
"Bu Siti. Tolong buatkan minuman untuk lelaki itu!" perintah Pak RT.
Aku tak peduli lagi dengan kekasih istriku itu. Pak RT menyuruhku dan Safira duduk di ruang tamu. Selain Pak RT ada Pak Iwan dan Pak Tejo. Kami duduk berlima.
"Ada apa ini, Pak? Kenapa bisa terjadi hal seperti ini?" tanya Pak RT.
"Ini masalah rumah tangga saya, Pak. Terima kasih bapak-bapak sudah peduli, tapi untuk urusan selanjutnya akan saya selesaikan dengan istri." Bagiku masalah rumah tangga adalah aib. Aku tak mau orang-orang ikut mencampuri.
"Baiklah kalau begitu, saya minta dengan sangat Pak Bastian untuk menahan diri untuk tidak seperti ini lagi!"
"Saya usahakan, Pak."
Bapak-bapak itupun pergi bersamaan dengan datangnya ambulan yang akan membawa kekasih istriku.
Safira masih menangis tersedu. Entah apa yang dia tangisi. Kekasihnya atau apa. Aku muak dibuatnya.
.
Bersambung ....
Jangan lupa setelah baca subscribe love komen n follow akunku yaa..
Makasih..
KAMU SEDANG MEMBACA
RINDU JALAN PULANG (DINOVELKAN 0895355156677)
General FictionMenceritakan penyesalan Bastian yang sudah meninggalkan anak dan istrinya karena orang ketiga. Akankah Bastian bisa kembali meraih keluarga kecilnua yang sudah ia tinggalkan begitu saja?