"Kiran, masuk dulu ya! Mama ada urusan sebentar sama Om ini," perintah Dahlia pada Kirana. Dahlia terlihat sangat tidak suka dengan keberadaanku.
"Tapi, Ma!" protes Kirana.
"Kiran!" ucap Dahlia dengan penuh penekanan dan menatap anak itu tajam.
"Mama, Kilan kangen banget sama Om," ungkap Kirana dengan mata berkaca-kaca. Hatiku berdenyut dibuatnya. Ternyata walaupun selama ini kami terpisah bahkan dia tak tahu kalau aku papanya, ikatan batin kami begitu kuat. Baru dua kali bertemu dia sudah sesayang ini padaku.
"Kiran, sini, Sayang!" pintaku sambil menekuk lutut menyejajarkan posisi dengannya. Kurentangkan kedua tangan lebar-lebar menyambut putri kecilku dalam pelukan.
"Om juga kangen banget sama Kiran. Makanya Om kesini," ungkapku sambil memeluknya erat. Hatiku begitu tersentuh bisa memeluk anak yang sudah kutinggalkan sekian lama. Air mataku lolos begitu saja meninggalkan kelopaknya.
"Om sering-sering main kesini ya!" pintanya.
"Pasti, Sayang."
Kucium kegemas kedua pipinya. Kemudian kembali memeluknya. Hatiku terasa begitu penuh pagi ini. Akhirnya aku bisa memeluk putriku yang selama ini hanya kupandangi fotonya saja.
Meski berat melepasnya tetapi aku harus bicara empat mata dengan Dahlia. Besar harapanku untuk bisa kembali mengambil hatinya.
"Ya, sudah, Kiran sarapan dulu, ya! Nanti mau sekolah, kan?" bujukku.
Anak itu mengangguk menggemaskan. "Ayo, Om, sarapan juga!" pintanya.
"Om sudah sarapan. Om mau bicara dulu sama Mama, okey Manis?"
"Okey!" serunya sambil mengacungkan jempolnya. Anak itu berlari masuk ke ruang tengah.
Dahlia menghela nafas panjang setelah Kirana tak terlihat. Kemudian beralih menghadapku. Meski matanya menatap lurus pada halaman. Tak sudikah dia menatapku?
"Ada perlu apa?" ketusnya.
"Ma, ...."
"Jangan sebut aku seperti itu!" potong Dahlia.
"Sayang, tolong dengar penjelasanku dulu!" Aku memohon pada Dahlia.
"Penjelasan apa? Kalau kamu sudah dicampakan wanita itu?" ketusnya.
"Aku dijebak, Sayang. Aku bersumpah!"
Dahlia tertawa sinis mendengar ucapanku. "Dijebak? Haha, apa telingaku sudah tidak normal?"
"Aku bersumpah, Ma. Safira menjebakku dengan kehamilannya. Dan ternyata anak itu bukan anakku," ungkapku.
"Lalu apa peduliku?" ketusnya.
"Ma, mohon beri aku kesempatan lagi!" Kutekuk kedua lutut dan bersimpuh dihadapannya.
"Benar-benar sudah putus, ya, urat malumu itu!" sinisnya sambil melipat kedua tangan.
"Demi kalian, aku tak peduli lagi dengan apapun, Sayang!" Kucoba meraih jemarinya. Meski aku tahu dia pasti akan menghempaskannya. Benar saja.
Di halaman terdengar deru mobil berhenti. Aku melihat siapa yang turun. Bajingan itu rupanya.
Aku langsung berdiri. Kemudian menatap tajam wajah Dahlia. "Sejauh apa hubungan kalian?" tanyaku geram.
"Kami akan segera menikah," jawabnya membuat darahku mendidih.
"Jangan harap!" Kukepalkan kedua telapak tangan. Siap kembali menghajar lelaki tak tahu diri itu.
Dahlia tampak tak peduli. Dia berlalu meninggalkanku menyambut lelaki itu. Benar-benar menyulut emosiku.
Wanitaku memeluk lelaki itu di depan mata. Sungguh dalam hati ingin kutarik Dahlia dan menghajar lelaki itu tapi kali ini aku memilih diam. Biarlah, Dahlia puas-puaskan menyakitiku. Selama ini aku pun telah begitu banyak menyakitinya. Yang jelas pada saatnya aku janji akan meraih hati itu lagi. Itu pasti.
Aku memilih melangkah pergi. Membiarkan mereka yang masih hanyut dalam pelukan. Saat kakiku terayun suara manis itu memanggilku. "Om!"
Seketika kakiku membeku. Tubuhku berbalik menghadapnya.
"Iya, Sayang?" Mataku kini berkaca-kaca. Sungguh aku masih ingin berada disini. Bersama putriku dan ... wanitaku. Dahlia. Tapi waktu belum merestui.
"Om sudah mau pulang?" Kirana mendekat. "Mama mana?" tanyanya sambil celingak-celinguk.
Aku menunjukkan posisi mamanya dengan tatapan mata. Mereka terlihat berdiri berdampingan. Tak berpelukan lagi.
"Oh, ada Om Fahmi," ujarnya. Dari nada bicara anak ini terdengar kurang menyukai bajingan itu. Kenapa? Jika sampai bajingan itu memaksa sampai melukai hati Kirana aku tak akan tinggal diam.
Kirana tiba-tiba memegang jemariku. Jujur aku sangat terkejut. Aku menoleh padanya. Gadis kecilku tersenyum. Kemudian kutekuk kedua lutut, meraih tangan satunya.
"Kirana harus jadi anak hebat, ya!" ucapku serius kepadanya.
"Iya, Om. Kilan sering diejek teman-teman. Katanya Kilan enggak punya Papa. Tapi kata Mama Kilan punya Papa kok, Om," ungkapnya membuat mataku kembali berkaca-kaca.
"Betul, Sayang. Mama betul. Kiran punya Papa, kok. Jangan dengerin teman-teman yang nakal, ya! Papa sayang banget sama Kiran. Kalau sudah waktunya pasti Papa akan datang dan bisa sama-sama Kiran lagi."
"Iya, Om. Sebelum tidur, Kilan selalu bedoa kok. Bial Papa cepat pulang. Telus pas Kilan ada acala family day Kilan bisa baleng-baleng sama Papa sama Mama." Mata anak itu berbjnar saat mengucapkannya.
"Bantu Papa buat wujudin keinginan kamu itu, Sayang!" pintaku dalam hati.
"Aamiin," ucapku mengamini kata-katanya. Bukankah kata-kata adalah doa? Apalagi doa anak yang masih suci, pasti akan dikabulkan.
"Ya, sudah, Om pamit pulang dulu, ya!" lanjutku.
"Iya, Om. Bental lagi Kilan juga mau sekolah."
"Okey, Kiran sekolah yang rajin, ya! Jadi anak pintar! Okey?"
"Okey, Om."
"Om sayang banget sama Kiran." Sekali lagi kupeluk buah hati yang telah sekian lama kutinggalkan. Dadaku penuh sekali saat memeluknya.
Setelah berpamitan pada Kirana aku melangkah pergi. Melewati Dahlia dan Fahmi yang masih bergeming di halaman.
"Puaskan hatimu membalas sakit yang aku ciptakan, Sayang! Setelah itu kamu pasti bisa menerimaku lagi," tekadku dalam hati.
.
Terima kasih kepada pembaca setia...
Semoga selalu dalam lindunganNya dipermudah semua urusannya dan dilancarkan rezekinya.
Setelah baca jangan lupa SUBSCRIBE ya!!!
😊😊😊😊😊😘😘😘😘😘
KAMU SEDANG MEMBACA
RINDU JALAN PULANG (DINOVELKAN 0895355156677)
Fiksi UmumMenceritakan penyesalan Bastian yang sudah meninggalkan anak dan istrinya karena orang ketiga. Akankah Bastian bisa kembali meraih keluarga kecilnua yang sudah ia tinggalkan begitu saja?