BAGIAN 2

6.8K 428 25
                                    

"Bas, apa kamu tak ingin pulang? Besuklah ibu dan anakmu!" pinta wanita yang telah melahirkanku.

Aku hanya menghembuskan nafas berat. Tak tahu harus menjawab apa. Jujur aku teramat sangat ingin pulang. Melihat putri kecilku secara langsung. Tapi aku benar-benar tak punya muka untuk bertemu kembali dengan Dahlia.

"Bas?"

"Iya, Bu. Bastian sekarang masih sibuk Bu."

"Sudah berapa tahun kesibukanmu itu? Apa kamu enggak ingin melihat putrimu? Kirana sudah mulai masuk play group, Bas. Dia pintar sekali. Persis kamu sewaktu kecil."

Hening.

"Bas, pulanglah, Nak! Semua manusia pernah melakukan kesalahan."

Tapi kesalahanku fatal. Hingga aku harus kehilangan kehidupanku.

Dulu setelah sebulan pergi aku mencoba kembali menemui Dahlia. Berharap kemarahannya sudah mereda. Hatinya bisa kembali luluh. Tapi sama sekali dia tak mau menemuiku. Aku tak bisa memaksanya.

Beberapa bulan berikutnya pun sama. Dari aku mulai menguntitnya, menemuinya secara mendadak di tempat umum. Dia masih sama. Seolah tak melihatku sama sekali.

Sekarang sudah tiga tahun berlalu. Dan aku tak pernah lagi mencoba menemuinya. Biarlah dia hidup bebas dan bahagia tanpa cemas sewaktu-waktu aku datang menemuinya.

Ini bukan soal aku melepas berlian demi batu jalanan. Bukan. Ini soal lelaki tak tahu diri. Lelaki tak tahu diuntung. Sudah beristri tapi masih saja menginginkan wanita lain. Tak tahan godaan, tak tahan ujian. Hanya melihat penampilan seksi setiap hari sudah menggoyahkan iman. Tak bisa menjaga diri. Tak punya harga diri.

Wajar saat itu Safira berpenampilan menarik. Karena memang tuntutan profesi. Tapi aku yang tak bisa menahan diri. Kurayu sedikit-sedikit. Awalnya tak merespon. Kuberi perhatian lebih. Masih tak merespon. Aku tahu dia gadis normal seperti yang lainnya. Memimpikan pernikahan yang bahagia, bukan dengan suami orang. Tapi ketamakanku tak peduli itu. Semakin dia menolak, semakin aku penasaran. Ini hanya sebatas insting laki-laki. Tertantang untuk mendapat sesuatu yang sulit dijangkau. Tapi aku menutup mata kalau itu adalah bom waktu yang kapan saja bisa meledak menghancurkan segala yang ada.

Dan ya, saat Safira bisa kugenggam. Kumiliki sepuasnya. Tak berselang lama bom pun meledak. Semua hancur. Bahkan puing-puingnya pun tak bersisa lagi.

Aku tak bahagia kini hidup dengan Safira? Bukan seperti itu masalahnya. Dia istri yang baik. Melayaniku selayaknya istri pada umumnya. Bahkan dari rahimnya telah lahir putriku juga. Tapi dalam hati ada yang berbeda. Ini soal rasa. Soal cinta yang sesungguhnya.

Sungguh, saat bermain-main dengan Safira dulu aku tak pernah berfikir hubungan kami akan sejauh ini. Semua hanya kesenangan semata. Brengsek memang. Karena bagiku tetap Dahlia yang utama dan pertama. Namun nyatanya cara pikir perempuan dan laki-laki itu berbeda. Lelaki ingin memiliki beberapa, sedang perempuan hanya ingin menjadi satu-satunya. Semua kacau.

"Bas?"

"Iya, Bu. Ibu jaga kesehatan ya? Jaga diri baik-baik. Salam buat Ayah."

"Baiklah, Nak. Ibu selalu menunggumu pulang."

Sambungan telepon terputus. Kupandangi layar yang meredup kemudian gelap. Mataku terpaku di sana.

"Ibu memintamu pulang?" Safira menyerahkan secangkir kopi. Aku tersenyum menerimanya. Menyesapnya dalam-dalam mencari ketenangan dari aromanya.

"Pulanglah, Mas!"

Aku menatap mata perempuan mungil di depanku. Tak tega terus dan terus menyakitinya dengan rasa yang tak pernah bisa berubah. Hingga saat ini Dahlia tetap menguasai jiwa.

RINDU JALAN PULANG (DINOVELKAN 0895355156677)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang