Perawat itu pergi setelah kami meminta bantuan pihak rumah sakit untuk mencarikan pendonor. Kami pun akan berusaha menghubungi kerabat siapa tahu ada yang bergolongan darah sama dengan Agista.
Aku menatap tajam Safira yang masih menunduk. Rasanya ingin kutelan hidup-hidup wanita yang ada di depanku ini.
"Jelaskan!" perintahku dengan nada mengancam.
Safira masih menunduk. Punggungnya bergetar karena tangisannya. Aku tak peduli lagi.
"Jelaskan!" bentakku sambil mencengkeram kuat pundaknya.
"Sakit," lirihnya sambil berusaha melepas cengkeramanku.
"Katakan! Siapa ayah Agista?" bentakku tak peduli dengan kesakitannya. Ini belum seberapa dibandingkan sakit hati yang kini kurasa.
"Maksudmu apa?" kelit Safira.
"Dasar perempuan licik kamu! Bisa-bisanya meminta pertanggungjawabanku!" Kuhempas tubuhnya sampai Safira hampir terjerembab. Tak peduli lagi aku dengan kondisi Agista. Yang aku ingin hanya mengetahui siapa ayah biologis Agista.
"Katakan! Dia Yoga?" tanyaku.
Wanita di depanku ini mengangguk lemah.
"Shit! Kenapa kamu minta aku bertanggung jawab, hah? Kenapa tak bilang sama bajingan itu?" teriakku.
"Yoga baru menikah. Dan kami sudah putus," jelas Safira.
"Bukannya kamu tahu aku juga sudah menikah?" tanyaku geram.
"Tapi aku percaya, kamu pasti mau bertanggung jawab," ucap Safira dengan sorot mata memohon kepadaku.
"Sial!"
Aku langsung pergi dari rumah sakit itu. Tak peduli dengan Safira yang memegangi kakiku. Tak peduli dengan raungannya yang tak mau ditinggalkanku. Cukup sudah. Aku tak mau lagi masuk dalam permainan gilanya.
Kulajukan mobil dengan kecepatan tinggi. Kuputar musik rok kuat-kuat kemudian berteriak sekeras-kerasnya. Hidupku hancur gara-gara Safira. Aku sampai kehilangan Dahlia dan Kirana.
"Tidak! Aku harus mendapatkan mereka kembali. Sebelum Fahmi benar-benar mendapatkan Dahlia," monologku.
Mobil kulajukan menuju rumah ibu. Sudah tiga tahun sejak pergi meninggalkan Dahlia aku tak pernah lagi pulang ke sini.
Begitu sampai di depan rumah, suasana rumah ini masih sama. Deretan bunga-bunga di pot bermekaran menambah asri suasana rumah.
Kuayunkan kaki ke teras rumah. Mendekati daun pintu dan mengetuknya.
Terdengar suara langkah kaki mendekat. Dan sejurus kemudian pintu telah terbuka.
Mata Ibu melebar melihatku berdiri di balik pintu. "Bastian!" lirihnya.
Aku mengangguk dan merentangkan kedua tangan. Ibu langsung memelukku erat.
"Kamu kemana aja, Nak? Kenapa baru pulang?" tanya ibu dengan berlinang air mata.
"Maafin Bastian, Bu. Maafin Bastian."
"Iya, Nak. Yang penting kamu baik-baik aja dan sekarang sudah pulang."
Ibu membimbingku masuk ke rumah. Rumah ini tak banyak berubah. Bahkan foto pernikahanku dan Dahlia masih terpajang di sana.
"Siapa, Bu?" gelegar suara Ayah membuat kepalaku menunduk.
"Bastian pulang, Yah!" seru ibu.
"Pulang juga anak kesayanganmu akhirnya!" Lelaki tegap berkaca mata itu mendekatiku.
"Lelah bersembunyi? Dasar pengecut!" maki Ayah. "Besok temui Dahlia dan anakmu! Kalau perlu bersujud memohon ampun di kaki mereka!" seru Ayah.
"Bastian masih cape, Yah! Jangan dimarahi begitu," bela ibu.
"Anakmu ini terlalu dimanja! Sampai anak istri ditinggal begitu saja! Memalukan!"
"Sudah, sudah. Sana masuk ke kamar, Bas. Enggak usah didengerin!" pinta Ibu.
Pagi-pagi sekali aku sudah rapi. Aku semakin terpacu untuk menemui Dahlia berkat makian Ayah semalam. Aku harus bisa mendapatkan hatinya kembali. Dahlia, selamanya kamu hanya milikku.
"Loh, masih pagi begini mau kemana, Bas?" tegur ibu saat aku keluar kamar.
Aku bersimpuh di kaki wanita yang telah melahirkanku. "Bastian mau ke rumah Dahlia, Bu. Restui Bastian, Bu!" pintaku.
"Ya sudah, sarapan dulu! Nanti sampai sana kamu pinsan malah malu-maluin."
Ibu menarikku ke meja makan. Membuatkan kopi dan roti bakar. Ayah tampak sudah rapi juga. Langsung menempati tempat duduknya di meja makan kami.
"Ikut Ayah ke kantor hari ini, Bas! Biar encer otakmu," titah lelaki berwibawa di depanku.
"Bastian mau ke tempat Dahlia, Yah."
"Ck, masih punya muka kamu?" ejek Ayah.
"Sudah, Yah. Jangan buat akan kita minder. Bagaimanapun tujuannya kan baik. Kalau perlu ibu temani kamu ke sana, Bas."
"Enggak usah, Bu. Bastian sendiri saja."
Mobil kuparkir di depan pagar rumah yang pernah kuhuni selama beberapa tahun. Kulihat pintu pagar tak terkunci. Aku langsung melenggang ke dalam.
Kuketok pintu rumah minimalis ini. Terdengar suara langkah kaki mendekat.
"Siapa?" tanya suara dari dalam. Suara Dahlia.
Aku tak menjawab. Sejurus kemudian pintu terbuka. Wajah cantik itu menatapku tak percaya. Mata sipit itu melebar sekejap.
"Mau apa kamu?" tanyanya sambil membuang muka.
Kuraih jemari lentiknya. Secepat kilat ia hempaskan.
"Jangan coba-coba ... ."
"Ma, siapa, Ma!" seru Kirana dari dalam. Membuat kalimat Dahlia menggantung.
"Pergi, Bajingan!" lirihnya.
"Ma!" Kirana mendekat. Matanya berbinar saat melihatku.
"Om!" serunya. Lalu berlari kecil ke arah kami.
KAMU SEDANG MEMBACA
RINDU JALAN PULANG (DINOVELKAN 0895355156677)
General FictionMenceritakan penyesalan Bastian yang sudah meninggalkan anak dan istrinya karena orang ketiga. Akankah Bastian bisa kembali meraih keluarga kecilnua yang sudah ia tinggalkan begitu saja?