Tiga bulan Larasati terpasung tanpa bisa melihat suasana luar. Ia tak lagi bisa menghirup udara segar dan menikmati indahnya mentari di pagi hari. Larasati hanya bisa teriak-teriak, marah-marah, dan menangis di dalam kamarnya. Ibunya merasa kasihan, tapi apalah daya hal itulah yang terbaik demi menjaga kehormatan keluarganya.
Pada suatu malam Hasan datang kerumah Haji Tomi. Dia mengatakan duka cintanya atas nasib yang menimpa Larasati. Dia juga mengatakan akan berusaha untuk mencari seseorang yang dapat menyembuhkan sakit Larasati dengan syarat Larasati harus menjadi istrinya. Dengan tulus hati dia mengatakan sangat mencintai Larasati. Haji Tomi hanya diam menerima pernyataan Hasan, tapi dalam hati dia membatin, "Aku mencurigai kebusukanmu, tapi jika niatmu itu tulus, maka sungguh aku akan mengizinkanmu."
Hasan benar-benar berniat untuk menyembuhkan sakit Larasati. Buktinya dia melangkah menuju ke sebuah tempat yang teramat sepi. Tempat itu berada di pinggir hutan liar. Di sana ada sebuah tempat sedikit lapang dan berdiri sebuah gubuk kecil. Dalam gubuk kecil itu banyak sekali alat-alat pendukunan. Di dindningnya terselip sebuah keris yang gagangnya diukir sebuah ular naga. Lantainya di gelari tikar bambu dan meja tamunya di hiasi dengan batu putih. Hanya ada satu bilik kecil di situ, mungkin tempat pemilik gubuk untuk beristirahat.
Tanpa minta izin terlebih dahulu, Hasan dengan langkah pasti langsung memasukinya. Tampaknya Hasan sudah pernah ke tempat itu. Benar, penghuni gubuk itu, setelah melihat Hasan datang, langsung menyambutnya dengan penuh penghormatan. Dengan bibir tersenyum, pemilik gubuk mempersilahkan Hasan duduk di kursi kayu polos yang tak berukiran.
Kemudian penghuni gubuk itu bertanya kepadanya, "Bagaimana kabarmu, kawan? Apakah yang kau impikan selama ini telah terkabulkan? Bagaimana dengan gadis yang telah aku buat gila itu, apakah ia telah benar-benar menjadi gila?"
Hasan menjawab, "Apa yang aku dambakan selama ini belum terwujud, tapi gadis itu telah benar-benar hilang akal sehatnya. Kedatanganku kemari tidak lain hanyalah meminta kepadamu untuk segera menyembuhkan sakitnya, agar aku dapat menikahinya. Sebab, aku telah berjanji pada ayahnya bahwa aku akan berusaha menyembuhkannya. Ketika aku sanggup menyembuhkannya, maka ia harus menjadi istriku, dan ayahnya tampak menyetujuinya."
Penguni gubuk yang bernama Syahrul itu dengan tatapan mata yang tidak percaya berkata, "Bagaimana mungkin aku akan menyembuhkannya, sementara ilmu yang aku gunakan untuk membuatnya gila adalah ilmu yang tidak ada penawarnya. Penangkalnya sama sekali tidak aku miliki. Maaf kawan, kali ini aku tidak bisa memenuhi keinginanmu itu."
Hasan terkejut dan berkata, "Bagaimana mungkin seorang dukun sepertimu melakukan sesuatu yang tidak ada penyeimbangannya? Kau jangan bercanda, Syahrul! Aku benar-benar menginginkan agar wanita itu cepat sembuh."
"Aku tidak bisa."
"Terus apa yang harus aku lakukan?"
"Biarkan saja ia tetap gila, dan jika kau ingin menikahinya, maka nikahi saja bersama kegilannya."
Mendengar kata-kata Syahrul yang memekakan telinga itu, Hasan langsung naik pitam. Dia menggedor dan memukul meja berkali-kali sembari memaki, "Dasar dukun goblok! Kau benar-benar tidak becus menjadi seorang dukun yang mumpuni, seorang dukun yang bisa melakukan segalanya dengan baik. Ah...! Terkutuklah kau, bajingan !"
"Sudah aku katakan kepadamu, bahwa ilmu yang aku gunakan itu adalah ilmu yang paling tinggi. Keculai membiarkan gadis tetap gila sampai ia menemui ajalnya."
Hasan semakin marah. Dia mengomel kesana kesini dan memaki-maki Syahrul. Sementara Syahrul hanya diam saja menerima makian Hasan.
Puas marah-marah, Hasan pun pulang dengan tangan hampa. Hatinya kecut dan dipenuhi batu-batu amarah.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Poet [ Completed ] ✔
Literatura FemininaPernah Menjadi Rank: #1 Kalimatku #2 Senandung #3 Gangguanjiwa #3 Kegilaan #5 Sufi #6 Larasati #10 Desa Dalam isak tangis, Larasati bersenandung: Inilah duniamu, wahai kekasihku! Darah cinta tak lagi mengalir, Air mata adalah lidahku. Derai tawa ta...