Pagi hari itu tampak sedikit ceria dibanding tujuh pagi yang lalu. Orang-orang desa sudah banyak yang keluar rumah dan lalu-lalang menuju pasar. Haji Tomi duduk di kursi dengan ditemani secangkir kopi hangat, sedangkan ibunya menyiapkan sarapan pagi di dapur. Larasati tenpa pamit kepada kedua orang tuanya pergi ke makam Syahrul. Setiap hari hampir dipastikan Larasati membesuk kuburan kekasihnya itu tanpa izin terlebih dahulu kepada orang tuanya. Orang-orang terheran-heran melihat kebiasaan Larasati itu. Larasati tidak bosan-bosannya duduk bersimpuh di sisi makam Syahrul pada tiap pagi hari sampai menjelang dzuhur.
Di sisi makan sang kekasih, Larasati sering melantunkan syair-syair keabadian cinta. Rupanya ia mulai menjadi seorang pujangga cinta yang lepas kendali. Hatinya selalu menyenandungkan bisikan-bisikan kasih sepanjang masa. Jiwanya selalu menyuarakan kelembutan hati pemuja cinta yang kesepian.
"Siapakah sang kekasih yang rela ditinggalkan kekasihnya, kecuali diri ini yang tidak kuasa melawan kehendak takdir?"
Katanya dalam hati yang pahit. Kemudian Larasati bersenandung :
Izinkan aku menjaring gemintang di lautan malam, saat-saat ribuan keledai mendengus tak karuan. Biar kugapai asamu menjelang fajar, biar setiap impian yang terjerat akar takkan lagi tinggal diam.
Bagaimana mungkin kurelakan,
Andai musim semi jauh meninggalakan musim gugur?
Lebih baik kusemayamkan jasadku di dalam kuburan bersama daun-daun kering yang berguguran.
Mungkin lebih menyenangkan dari pada diri tak lagi menyaksikan keindahan.
Dunia telah pergi menyembunyikan keindahan,
Ia lebih senang mempertontonkan kekejaman.
Aku suntuk menikmati penjara ini, kebebasan telah menyudutkanku untuk melupakanmu.
Engkau telah berselingkuh dengan keabadian,
Aku masih bersenggama dengan kesementaraan.
Terpujilah makhluk yang memerdekakan diri dari perbudakan hati yang sepi.°°°
~FallFarizqi
KAMU SEDANG MEMBACA
The Poet [ Completed ] ✔
Chick-LitPernah Menjadi Rank: #1 Kalimatku #2 Senandung #3 Gangguanjiwa #3 Kegilaan #5 Sufi #6 Larasati #10 Desa Dalam isak tangis, Larasati bersenandung: Inilah duniamu, wahai kekasihku! Darah cinta tak lagi mengalir, Air mata adalah lidahku. Derai tawa ta...