👀 Part 18 : Cobaan

87 17 4
                                    

   Malam hari yang dingin telah tiba. Beberapa kalong berterbangan ke sana ke mari. Sayup-sayup suara jangkrik hinggap ditelinga Larasati. Di malam yang teramat sunyi itu, Larasati duduk bersimpuh di atas sajadah melantunkan beberapa bahasa alam yang telah di tangkapnya dari bisikan sang jubah kegelapan. Ia sering melantunkan itu untuk mengadukan segala perbuatannya kepada Allah.

   Tak lama kemudian, datanglah mendung hitam bergulung-gulung menutupi keceriaan langit. Bintang-gemintang yang sedang asik bernyanyi pun lenyap seketika. Angin malam pun ikut menderu-deru dan melafadzkan kata-kata waspada.

   Dengan diiringi suara guntur dan cambukan kilat beberapa kali, akhirnya hujan turun dengan lebatnya mengguyur desa Larasati. Gemuruh langit membuat para penduduk menyembunyikan keburukan-keburukannya.

   Habis kebakaran hutan karena kemarau panjang, mulai malam itu datanglah curah hujan yang teramat tinggi berhari-hari. Belum sempat hutan di reboisasi. Hujan lebat tiada henti-hentinya memandikan bumi. Dosa apa yang dilakukan penduduk desa itu, sehingga banjir bandang datang menerjang dan merobohkan rumah-rumah penduduk tanpa pilih hati.

   Semua rumah di desa Larasati hancur luluh tak terkecuali. Rumah-rumah yang dibangun manusia dengan susah payah itu pun hanyut bersama datangnya air bah yang luar biasa. Banyak mayat bergelimpangan dan harta benda pun lenyap seketika.  Semua tidak ada yang tersisa,  semuanya terbawa amuk banjir.  Kedua orang tua Larasati juga ikut meninggal dunia sedangkan Larasati tubuhnya tersangkut akar pohon besar yang masih menyisakan batangnya saja. Larasati terkapar pingsan. Larasati tidak mati. hanya Larasati yang disisakan untuk tetap hidup.

   Gadis yang selalu tertimpa cobaan demi cobaan itu diselamatkan oleh Yang Maha bijaksana. Ia selamat dari amuk makhluk yang bernama banjir bandang. Masa hidup Larasati masih panjang. Belum saatnya iya menerima datangnya kematian.

   Firasat Haji Tomi menjadi kenyataan. Desanya akan mengalami kematian. Bukan desa itu, tapi penduduknya-lah yang akhirnya menjadi menjadi rongsokan mayat-mayat yang berserakan.

   Pagi harinya Farizqi berlari-lari mencari mayat Larasati. Dia menelusuri daerah-daerah rendah di seluruh penjuru desa. Beberapa saat kemudian,  dijumpailah Larasati yang tersangkut akar pohon. Farizqi mendekatinya dan menggoyang-goyang kan tubuh Larasati untuk menyadarkan nya. Lama sekali Farizqi melakukan itu, tapi Larasati tetap seperti mayat. Farizqi berputus-asa. Namun sebentar tangan Larasati bergerak-gerak. Larasati belum mati. Farizqi bergembira sekali dan diangkatnya Larasati menuju ke rumahnya.

   Sampai di rumah Farizqi, mata Larasati mulai terbuka.  Dilihatnya sosok manusia yang ada di hadapannya. Farizqi tersenyum. Larasati bertanya, "Di manakah aku sekarang?"

   "Kau telah berada di rumah orang yang sangat mencintaimu," jawab Farizqi dengan wajah berseri-seri.

   "Bagaimana dengan keadaan ayah dan ibuku?"

   "semua penduduk desa mu tidak ada yang tersisa. Allah hanya menyisakan hamba-Nya seorang, yaitu engkau kekasihku."

   "Jangan panggil aku kekasih. Lelaki mana pun tak berhak memanggilku kekasih, karena Allah telah menjadi kekasih abadiku."

   "Aku mengerti," jawab Farizqi dengan perasaan pedih.

   "Ketahuilah, pemuda tampan! Aku memandang semua laki-laki tidak ada bedanya, termasuk juga dirimu. Lelaki hanyalah gemar menuruti hawa nafsunya. Mereka tidak tahu penderitaan wanita yang telah ditakdirkan untuk melahirkan keturunannya dengan taruhan nyawa. Lelaki adalah manusia rakus. Sebenarnya mereka sudah diberikan sebuah kenikmatan yang ada di dalam diri wanita, yaitu vagina. Akan tetapi, mereka sering merebut bagian anaknya, yaitu payudara."

   Larasati masih mengungkit- ungkit hal itu. Ia benar-benar marah kepada makhluk yang bernama lelaki. Meskipun ia sadar bahwa ia diciptakan adalah untuk lelaki, tapi peristiwa demi peristiwa yang dialaminya membuat hatinya membenci lelaki. Peristiwa yang paling mencambuk perasaannya adalah penggahan Hasan dan Haidar.

   Larasati bangkit dari ranjang. Ditatapnya Farizqi dalam-dalam. Ia tersenyum. Baru kali itu ia memberikan senyum kepada Farizqi. Tapi apakah makna senyuman itu? Setiap lelaki yang melihatnya makan menilai senyuman itu hanyalah senyum terima kasih.

   Kemudian Larasati berkata, "Farizqi, kukatakan semua ini agar engkau tahu apa yang telah menjadi pedoman hidupku, bahwa aku ingin tetap sendiri. Aku telah memutuskan untuk tidak akan pernah menikah dan ingin tetap menjadi wanita perawan sepanjang hidupku."

   "Farizqi, jadilah engkau lelaki yang takkan pernah mengecewakan wanita. Kusadari syahwat wanita memang lebih besar daripada syahwat yang dimiliki laki-laki, tapi mengapa kenyataannya mereka lebih tidak bisa menahan syahwatnya? Aku bertanya kepadamu, di manakah letak kebaikan seorang lelaki?"

   Farizqi menjawab, "Lelaki lebih banyak akalnya ketimbang wanita."

   "Benar, tapi sayang mereka lebih sering menyalahgunakannya."

   Kemudian Larasati berkata, "Antarkan aku pulang!"

   "Tetapi rumahmu telah tiada," kata Farizqi bingung.

   "Langit adalah sebagai atap rumahku dan bumi sebagai tikarnya. (A/N yee lagu roma irama). Di manapun tempatnya, bagiku sama saja."

   "Biar aku dirikan rumah untukmu," kata Farizqi.

   "Tidak perlu. Aku sendiri yang akan membangun rumahku."

   Farizqi bingung menghadapi Larasati. Dia tidak tahu apa yang harus diperbuatnya. Larasati benar-benar keras kepala. Akhirnya dia pun terpaksa mengantarkan Larasati pulang ke desanya.

°°°

   Sesampainya di desa Larasati, Farizqi berkata, "Inilah tempat tinggalmu yang hanya puing-puing saja."

   "Tinggalkan saja aku disini! Pulanglah engkau! Mungkin engkau akan segera memetik hikmahnya."

   Farizqi hanya menggeleng-gelengkan kepala.  Walaupun hatinya sangat kasihan, tapi apalah daya sang kekasih telah mengusirnya. Kemudian Farizqi pun pergi meninggalkan Larasati.

   Tak ada rumah untuk berteduh. Tak ada pakaian untuk dijadikan sebagai pengganti. Semuanya telah tiada, semuanya telah berpulang ke hadlirat Allah Yang Mahakuasa.

   Demikian batin Larasati, "Semua yang ada adalah milik-Mu, Tuhanku. Karenanya,  hamba tidak akan menuntut Engkau untuk mengembalikan semuanya kepadaku."

   Hanya seorang diri Larasati bertempat tinggal di desa itu. Dari hari ke hari Larasati berusaha keras untuk membangun sebuah gubuk sebagai tempat berteduh. Gubuk kecil yang beratapkan pelapah kelapa dan bertingkan bambu pun telah berdiri. Seperti itulah pada akhirnya Larasati menjalani kehidupannya. Larasati telah menjadi sang zahid yang meninggalkan gemerlap dunia.

   Batuan demi bantuan sering datang kepadanya, tapi ia selalu menolaknya. Sebulan sekali Farizqi membesuknya, tapi Larasati sering mengabaikannya. Akhirnya pada suatu hari Farizqi berkata kepadanya, "Wahai, wanita yang telah berada di atas bukit sang sufi! Kedatanganku kali ini hanya ingin memberikan kabar kepadamu tentang kepergianku esok lusa ke tanah Muharram. Disana aku akan menghadap Allah dan mengadukan kepada-Nya bahwa aku hanya mendambakan dirimu dan aku akan tetap menantikan cintamu datang mengisi kehampaan hatiku."

   "Pergilah, engkau! Carilah kebenaran yang hakiki! Semoga Allah senantiasa bersamamu," kata Larasati menanggapinya.

~FallFarizqi
  
  

The Poet [ Completed ] ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang