Envy awalnya hanya datang untuk mengeluh pada Greed soal ongkos kurir Roh yang naik.
Ia berdiri di depan meja adiknya dengan wajah kusut. Pakaian rapi, karena adiknya yang satu ini paling tidak suka melihat saudaranya berpakaian acak-acakan ketika datang ke kantornya. Tatapan tajam.
Greed menatap balik, tidak mau kalah. Kakinya menyilang, dagu bertumpu di atas tangan. Jubah merahnya rapi dan halus, mahkotanya bersih cemerlang. Envy iri melihatnya.
"Jadi, Kak Envy? Apa keperluan Kakak datang ke sini?"
"Kenapa harga kurirnya naik?"
"Ho, langsung to the point, ya? Aku suka."
Envy merengut.
Sejak kapan adiknya berbicara seperti itu?
Sejak Dosa dan Kebajikan berdamai, sang Keserakahan ini memang sudah bertingkah agak... aneh. Kadang Envy menemukan Greed di atas lampu gantung kantor dalam wujud kecilnya, mengeong-ngeong tidak jelas. Kadang dia mendengar adiknya itu mengeluh soal "terlalu banyak pengeluaran uang", yang jelas janggal mengetahui sifat inti dari Greed. Kadang Greed meminta tolong Envy untuk mengawasi kantor dengan alasan: "Aku gak bisa jalan."
Sang Iri Hati benar-benar ingin tahu apa yang terjadi dengan Greed; namun selama tidak ada bukti atau petunjuk, dia tidak akan mendapatkan jawabannya.
Envy menghela napas. "Intinya begitu. Aku cuma pengen nanya soal kurir."
"Denger ya, Kak. Sebetulnya dari awal aku gak ada pikiran naikin harga kurirnya. Klienku bisa berkurang, kau tau? Tapi sekarang lagi liburan! Mau tahun baru! Semua Roh pasti akan tetap kirim-kirim barang walaupun ongkosnya aku naikkan."
Benar juga. Tapi, Envy bukan Roh yang kaya untuk sekarang. Dia sedang kesulitan mencari manusia dengan bibit iri hati, entah mengapa.
"Lagian, kalo masalah begini, aku tinggal kirim Thriftless untuk mempengaruhi mereka."
Envy memicingkan mata. "Greed. Seingatku, ini pertama kalinya kamu menaikkan ongkosnya tiga kali lipat. Biasanya hanya sampai satu setengah."
"Oh, ayolah, Kak. Dunia makin modern; biaya hidup makin mahal. Bukannya Roh harus mengikuti perkembangan para manusia?" Greed berjalan untuk mengambil sebuah berkas merah di lemari kacanya. Bukannya itu warna untuk catatan utang? Oh, sepertinya Envy tahu siapa yang ada di dalam berkas itu.
Envy kembali pada adiknya. "Bukan berarti kamu harus membuat saudaramu sengsara juga, kan."
"Ayolah, ini bukan salahku. Ini cuma Kak Envy yang kurang akal."
Hati Envy yang beku mulai mencair. Namun, ia berusaha menahan kekesalannya. "Iya deh, aku iri sama adikku yang pinter."
"Oh iya, Kak. Jangan lupa kasih ini ke Kak Wrath, ya." Greed menunjukkan berkas yang baru saja dia ambil, kemudian mengeluarkan isinya. Ada sekitar belasan surat.
Betul dugaannya. "Oke. Berapa yang harus dia bayar?"
"Banyak. Sudah miliar, bahkan." Greed mengeluarkan fountain pen dari sakunya, lalu mulai menandatangani surat-surat tersebut.
Envy mengernyit. "Apa harus pake surat resmi?"
"Justru kalo gak surat resmi, dia gak bakal bayar! Dasar si banteng- dia habis beli apa aja, sih?! Kok utangnya banyak banget?!" Greed mengomel sambil terus membubuhi setiap surat dengan tanda tangannya.
Di situlah Envy melihat sesuatu.
Tangan kanan Greed. Tangan yang sedang ia gunakan untuk menulis. Tepatnya di jari manis. Ada cincin. Emas.
KAMU SEDANG MEMBACA
Desime Collection
FanfictionKumpulan fan-fiction untuk webtoon Deadly 7 Inside Me karya Deruu RioTa. Isinya apa saja: short story, drabble, atau bahkan teori-teori tidak jelas tentang dunia Desime. (And some rant.) Deadly 7 Inside Me (c) Deruu RioTa Cover art (c) See-Saw Knigh...
