6th Attack

235 25 35
                                    

Did you ever believe?

Were you ever a dreamer?

Ever imagine heart open and free?

Did you ever deny?

Were you ever a traitor?

Ever in love with your blood, lust and need?

-Thirty Seconds to Mars-

Bacanya pelan2 aja.

Tokyo, Japan.

"Apa yang kau lakukan disini?"

Suara dingin itu membuat Jocasta berbalik. Gadis kecil yang rambutnya diikat dua itu tersenyum canggung begitu melihat wajah datar Rei. Netra merahnya berkeliaran, mencoba mencari alasan apa pun yang tidak akan membuat pria di depannya curiga.

"Aku hanya kebetulan lewat dan penasaran," jawab Jocasta diiringi cengiran kaku.

Rei mengangkat sebelah alis. Gadis kecil di depannya tengah berdiri di depan sebuah pintu yang sedikit terbuka. Rei tidak perlu mencari tahu ruangan apa itu, karena dia sudah tahu.

Ruangan senjata.

"Kau sedang mencari senjata."

Itu bukan pertanyaan, tapi sebuah pernyataan yang tidak perlu penolakan.

Jocasta langsung pias, niatnya terendus dengan begitu mudah. Meski lingualnya termasuk level atas, sudah jelas ia akan kalah jika terus berusaha membohongi pimpinan Yakuza di depannya. Sebagai gantinya, gadis itu hanya mampu menganggukkan kepala dengan lunglai.

"Aku tidak secepat dan selincah Aceruz atau Jesselyn, tidak sekuat Kaizer, tidak sebrutal Yeressia dan Jack. Aku bahkan tidak secerdik Victor dalam bertarung, atau mengerikan seperti Eloy." Gadis itu menggembungkan kedua pipinya, membuat Rei diam-diam menahan senyum geli. "Aku hanya rata-rata, karena itu aku butuh sebuah ciri khas. Keahlian yang melebihi teman-temanku yang lain."

"Kau punya mulut yang pedas."

Sanggahan dari Rei membuat Jocasta melebarkan mata. "Itu bukan keahlian yang bisa kupakai dalam bertarung," katanya dengan nada tersinggung.

"Emosi sangat penting dalam pertarungan, Nona." Rei mengelus pelan puncak kepala Jocasta, menatap gadis kecil itu dengan hangat. "Kau tahu? Victor, Jessleyn, dan Aceruz banyak bicara saat bertarung, itu membuat lawan mereka kesal dan terganggu. Jack dan Kaizer lebih tenang, tapi mereka jelas bicara lewat kekuatan yang tidak main-main. Yeressia...."

"Dia sinting, aku tahu."

Rei terkekeh. "Yeressia hanya agak eksentrik. Lalu, kau tahu Eloy sangat mengerikan, kan?"

Jocasta mengangguk. "Tapi aku tidak punya ciri khas apa pun. Yah, mulutku memang pandai bersilat lidah, tapi jika tidak diiringi dengan peningkatan kemampuan, aku hanya menjadi petarung yang besar mulut."

Rei mengangguk setuju, sedikit takjub dengan pola pikir Jocasta. "Lalu, kau ingin senjata jenis apa?" tanyanya sambil melangkah masuk ke dalam ruangan senjata.

"Aku belum tahu, selama ini aku hanya berlatih pedang atau tombak." Jocasta mengikuti langkah Rei.

"Bagaimana dengan ini?"

"Katana?"

Rei mengangguk, menyerahkan senjata yang dipegangnya pada Jocasta. Gadis itu menerimanya dengan mata berbinar.

S I E T ETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang