File 5

240 18 18
                                    

I hear the sound of the ticking of clocks

Come back and look for me

Look for me when I am lost

And I am just a whisper, a whisper, a whisper, a whisper

-Coldplay-

Region Five, Ancaisteal.
Status : Hunter.

Daegan tiba-tiba menghentikan langkahnya, tertawa pelan. Jaykho yang bersamanya ikut berhenti, berdiri di samping bocah pirang yang kini menatap lurus ke depan. Suara tawanya yang sedih membuat Jaykho sedikit banyak paham perasaannya.

"Mereka datang," kata Jaykho saat melihat kilatan ujung anak panah yang runcing. Dia menoleh pada Daegan yang turut memandang ke depan meski kedua matanya ditutupi perban. "Kau ingin menghadapi mereka?"

"Kau tahu betul apa yang kuinginkan." Daegan menoleh pada rekan barunya, tersenyum miring. "Apakah kau suka dengan ide gila, Aristides?"

"Apa aku kelihatan seperti seseorang yang waras, Arrow?"

Daegan tertawa lagi, mengundang senyuman miris dari anak laki-laki di sampingnya. Daegan selalu tertawa jika menyangkut keluarganya yang menyerang mereka dengan panah. Jaykho tahu Daegan membenci dirinya sendiri karena darah tidak bisa berbohong. Keluarganya adalah bagian dari semua rencana keji ini.

"Kau membenci mereka?"

Tawa getir itu berhenti, berganti menjadi hening yang bila didengarkan baik-baik, hanya diinterupsi suara napas dan langkah super halus. Daegan tersenyum membayangkan dawai busur yang kini ditarik, siap diluncurkan untuk menembus kepalanya. Dia sudah bisa memahami serangan yang akan terjadi.

"Tidak," kata anak laki-laki itu. "Aku tidak membenci mereka."

Jaykho tidak beranjak, menunggu jawaban selanjutnya dari bocah pirang yang kini menoleh ke arahnya, tersenyum lebar. Jaykho bisa melihat kilatan ujung anak panah yang runcing, tapi dia tetap bergeming di tempatnya. Entah kenapa, dia punya firasat kalau Daegan lebih bisa diandalkan. Senyuman Daegan yang kelihatan sedih tapi juga tegar membuat Jaykho enggan menoleh atau melarikan diri.

"Aku sangat membenci mereka, Jaykho."

Satu anak panah diluncurkan, nyaris mengenai pelipis Daegan jika saja anak itu tidak dengan tangkas menangkapnya. Jaykho terkesiap, tak percaya refleks Daegan lebih baik dari yang pernah dia bayangkan. Tangan anak itu dengan mantap memegang anak panah yang sebelumnya diarahkan pada mereka.

"Aku sangat membenci mereka karena mengirimku ke tempat terkutuk ini. Aku lebih benci dengan kenyataan kalau panah yang kupegang pernah melukai kalian."

Anak panah itu dilemparkan kembali ke arah lorong, melesat lurus hingga menimbulkan bunyi teriakan. Daegan tidak bergeming, diam saja meski anak panah yang dia lemparkan berhasil mengenai tuannya sendiri. Lebih tepatnya, keluarganya sendiri.

Jaykho bisa melihat rasa bersalah pada wajah anak laki-laki di sampingnya. Rasa bersalah itu seperti mencekiknya, membuat Jaykho berani bertaruh di balik matanya yang tertutupi perban, Daegan pasti tengah menahan tangisnya.

"Kau tahu," Jaykho menarik napas panjang, tersenyum hangat meski Daegan tidak bisa melihatnya. Cahaya obor tiba-tiba-tiba padam, mengurung mereka dalam kegelapan. "Aku bisa menjadi matamu."

Di dalam labirin yang gelap dan kumuh, Daegan bisa merasakan hatinya menghangat. Perasaan itu menyebar dalam dadanya, mengundang senyum tulus di wajahnya yang kotor.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Apr 21, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

S I E T ETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang