File 1

230 23 23
                                    

Who's in the shadows?

Who's ready to play?

Are we the hunters?

Or are we the prey?

-Ruelle-

Region Five, Ancaisteal.
Status : Hunter.

"Gie, disini gelap bukan?"

Giselle kecil mengangguk, tangan mungilnya meremas rok berenda yang dipakai wanita disampingnya. Mata sipitnya menjelajah liar ke sekitar ruangan pengap yang baru dimasukinya. Semuanya terlihat gelap. Itu wajar, karena satu-satunya sumber cahaya adalah celah pintu kayu di belakang mereka.

"Tapi, aku yakin kau pasti bisa mendengar sesuatu."

"Ya...."

Gissele meneguk ludah, mengamati lekat-lekat lorong gelap di depannya. "Ada suara langkah kaki yang pelan dan napas lirih seseorang."

Wanita di sampingnya menunduk, menatap Gissele yang masih setia mengamati lorong gelap di depan.

Butuh waktu lama bagiku untuk menajamkan pendengaran. Kau memang anak yang spesial, Gie, batinnya. Dia menyeringai, mengamati wajah ketakutan gadis kecil di sampingnya.

"Aku akan meninggalkanmu disini, kau harus bisa menemukan jalan keluarnya sendiri. Ok?" Wanita yang bersamanya melepaskan remasan Gissele pada rok rendanya. Gissele tak sempat protes karena wanita itu sudah buru-buru pergi. Tak lama, terdengar suara pintu yang dibuka dan ditutup secara cepat. Disusul bunyi kunci dan batu besar yang didorong. Cahaya yang semula muncul dari celah pintu mendadak hilang, digantikan gelap yang mengurungnya dalam ruangan asing.

Gissele melebarkan mata, sadar pada apa yang dilakukan wanita itu padanya.

"Keluarkan aku!" Gissele memukul pintu kayu didepannya kuat-kuat hingga tangannya terasa sakit. Tidak ada jawaban dari luar, hanya derap langkah yang menjauh pergi. Air matanya mulai menggenang, dia takut sendirian dan gelap.

Gissele menahan tangisnya agar tidak meledak. Sungguh, ia tak mengerti jalan pikiran orang-orang disekitarnya. Kenapa dia harus melalui ujian ini hanya karena dia terlahir dengan mata abu-abu dan indra pendengaran yang lebih tajam dari anak seusianya?

Gissele duduk di lantai, menyandarkan tubuh pada pintu kayu. Kedua lututnya ditekuk, tangannya di lipat di atas lutut. Gadis itu membenamkan kepalanya diatas lipatan tangan, mulai terisak dengan suara lirih.

"Jangan menangis, kau berisik."

"Siapa?" Gissele mendongak, kepalanya begerak mencari siapa yang barusan bicara dengannya. Suaranya amat lirih, disusul deru napas yang putus-putus seperti tengah kelelahan.

"Kau harus diam, aku tak bisa berkonsentrasi. Pendengaranku tidak sebagus kau." Suara itu terdengar lagi, tapi Gissele kebingungan mencari sumbernya. Karena sekarang, ada suara langkah kaki lain yang mendekat.

"Kau ... tidak hanya sendirian, bukan?"

"Gie, itu namamu kan? Aku datang karena melihat cahaya." Dia tidak menjawab pertanyaan Gissele, justru semakin mendekat dengan langkah pelan.

S I E T ETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang