#24

1.1K 107 4
                                    

Hari ini, hari yang sangat aku benci hari yang sangat aku hindari. Aku tidak mau bertunangan dengan seseorang yang tidak aku cintai sama sekali, dan aku tidak mau hidup bersamanya.

Semalaman aku menangis, aku mengadu pada Allah agar acara ini pertunangan ini batal. Aku hanya ingin bersama lelaki yang dari dulu aku cintai, dan aku hanya ingin dia dan bukan dirinya. Aku nangis pada Allah, aku ceritakan semua kesedihan ku kekecewaanku pada Allah atas abah yang dengan mudahnya menerima pinangan dari orang itu.

"Abang ustadz.. Maafin nayya. Nayya gak bisa jaga hati abang" ucapku dalam tangis.

Aku tidak tahu ustadz ahkam menyukaiku atau tidak yang jelas aku tidak bisa terima ini semua. Lelaki yang aku cinta hanya ahkam dan bukan ozan. Aku masih ingat waktu malam-malam kami sama-sama mencari paman dan ponakan yang kabur dari pondok itu.  Aku membayangkan jika kami sudah suami istri mungkin kami meunggu mereka pulang sambil melihat bintang-bintang. Namun, itu hanyalah khayalan yang tidak akan menjadi kenyataan.

Aku pernah berjanji, sebelum aku ke kairo aku hanya ingin ahkam yang mendampingiku dan menjadi suamiku. Aku selalu berdo'a pada Allah selepas sholat, dan aku yakin Allah akan mengabulkannya.

*****

Pagi telah menyapa, selesai dzuhur nantilah lamaran ku dimulai. Entah apa yang terjadi entah ini kemauan nada yang ingin memisahkanku dengan ahkam atau memang ozan yang ingin meminangku. Aku tidak mau suudzon, aku hanya berharap Allah kasih jalan keluar untukku.

Siang pun menyapa, ku dengan dari bilik tembok abah terus mengintrogasi dan meyakinkan apakah dirinya bisa menjadi imamku atau tidak? Dan ternyata ia jawab semua dengan penuh keyakinan. Aku kesal bukan main, ingin rasanya aku marah aku nangis ingin aku bilang aku gak.mau tunangan dan ingin aku bilang pada abah bahwa acara harus di batalkan. Tapi tidak bisa, di luar banyak santri yang menyaksikan kami dan aku harus menjaga kehormatan abah.

Aku di tuntun keluar dari bilik menemui keluarga dia. Ku lirik mataku dan ternyata di ambang pintu ustadz ahkam sedang berdiri menatap sendu padaku, dan di sampingnya nada dengan senyum yang merekah. Tanpa sengaja mataku bertemu dengannya, aku harap dia bisa membatalkan acara ini dengan bilang, bahwa dirinyalah yang pantas untukku. Tapi ternyata dia hanya diam, dan diam seribu kata.

""Nayya, sekarang fauzan akan.menjadi calon suamimu. Apakah kau bersedia nak?" tanya abah padaku

"I-inshaa Allah nayya bersedia" jawabku dengan lirih.

Setelah menjawab itu ku lirik ke arah luar. Dan ternyata ahkam sudah tidak ada, ia sudah pergi. Ya Allah aku harus bagimana.

****

Minggu ini, hari-hariku tidak secerah hari-hari bersama ahkam. Kini yang ada semua manggil ku dengan sebutan 'calon aten' atau calon pengantin.

Sebenarnya aku risih, belum juga menjadi suami ozan sudah tebar-tebar pesona bikin jijik. Apalagi sekarang, sok-sok'an bantuin aku nyiram tanamana. Sok-sok'an jadi orang yang gak takut kotor, padahal dirinya sangat takut kotor.

"Dek, sudah makan?" tanyanya sok peduli.

"Dak dek dak dek. Nayya bukan adek situ!" ucapku dengan nada emosi

"Ya udah. Nayya mau di panggil apa?" tanyanya dengan santai.

"Ya panggil nama lah! Jangan harap ada panggilan lain selain dari nama!. Asalkan antum tau ya, nayya terpaksa terima lamaran antum karena nayya tidak enak sama keluarga antum dan juga santri-santri disini!" ucapku dengan emosi dan penuh kejujuran

Ku lihat dirinya terkejut mendengar pernyataanku. Ya aku sih emang gini orangnya kalau gak suka yang gak suka.

Tak lama tanpa sepatah kata, ozan pergi dariku dan aku mulai merasakan lega yang teramat lega. Jika bukan karena abah aku tak mau terima lamarannya. Iya dia baik, dia juga tampan bahkan lebih tampan ozan di banding ahkam. Tapi hanya satu yang buat ozan berbeda dengan ahkam yaitu, ozan sangat sombong. Ia sombong akan ilmu dan kedudukannya, padahal jika ia berpikir manusia tuh sama aja.

Selesai menyirami tanaman yang ada di depan rumah. Tujuanku kini ke belakang pondok, aku ingin rileks mendinginkan pikiran dan baca-baca buku novel kesayanganku. Tapi, ketika aku berjalan jantungku berdebar-debar banget, gak tau kenapa aku juga.

Dari arah jauh aku mendengar samar-samar orang sedang mengaji surat ar-rahman, suaranya sangat merdu apalagi di pagi-pagi hari ini yang sejuk dan tentram.

"Ya Allah andai suara itu suaranya abang ustadz" gumamku sambil terus menikmati suara dari orang yang masih titik-titik.

Terus saja aku berjalan sambil terus menikmati suara indah itu, sampai akhirnya aku berhasil ke arah sumber suara tersebut. Ternyata benar suara itu berasal dari abang ustadz, ia sedang duduk di bale sambil menyantap secangkir teh hangat. Ya Allah andai dirinya lah calon suamiku hidupku pasti bahagia.

"Ya Allah saya harap suatu saat nanti, umur saya panjang, saya masih bisa merasakan nikmatmu yang sangat segar dan indah ini bersama istri dan anak saya tercinta. Dan saya harap istri saya adalah ainayya"  ucapnya.

Apa? Dia berharap aku istrinya? Berarti selama ini dia benar-benar menyukaiku. Allah aku merasa bersalah sekali, andai kemarin aku tolak lamarannya mungkin dia tidak akan segalau ini. Tapi ya sudahlah ketoprak sudah di bungkus.

Ku perhatikan dari arah belakang, ia terus melamun tidak tahu memikirkan apa. Aku hanya bisa melihatnya dari jauh. Aku berharap suatu saat nanti aku dan dirinya bisa berjodoh walaupun kini statusku calon istri orang.

Karena jengkel dan juga penasaran, aku pun mendekatinya. Abang ustadz terkejut dengan kedatanganku dia tersenyum kikuk begitupun aku.

"Kamu ngapain disini nay? Nanti kalau ada yang liat bisa menimbulkan fitnah" ucapnya dengan pandangan lurus menatap hijaunya kebun teh.

"Kamu pulang aja nay. Ingat sekarang kamu calon istrinya orang, kamu gak bisa bertemu saya lagi, gak bisa bicara dengan saya lagi" ucapnya dengan santai namun menyakitkan hati.

"Saya tidak mau, pertemanan saya rusak hanya karena salah paham" lanjutnya

"Bang! Aku memang calon istrinya orang. Tapi memangnya gak bisa apa cuma untuk berbincang-bincang? Bertemu sebentar? Asalkan abang tahu. Nayya nerima lamaran itu karena terpaksa nayya tidak enak sama keluarganya ozan dan nayya juga tidak.mau ngecewain sahabat nayya nada. Emang salah nayya ngobrol sama abang ustadz? Toh statusnya masih calon istri bukan istri" ucapku dengan emosi.

"Ingat bang calon istri" lanjutku dan mengeja kata 'calon istri'

"Sebegitu kecewanya kah abang sama nayya? Sampai-sampai abang gak mau ngobrol lagi sama nayya. Gak mau bertemu nayya lagi. Nayya udah tahu abang naruh hati sama nayya. Nayya berharap kemarin abang bisa batalin pertunangan nayya, tapi nyatanya abang pergi gitu saja" ucapku yang sudah tak tahan lagi membendung air yang akan keluar dari mata.

Abang ustadz masih terus memandang kedepan tanpa menoleh sedikitpun padaku.

"Yasudah kalau itu mau abang. Nayya gak ngobrol lagi sama abang gak boleh ketemu abang lagi yaudah gak apa-apa. Cukup sekian dan terimakasih wassalammu'alaikum" ucapku pamit pergi meninggalkan dia seorang diri.

Aku lari, lari menuju bukit yang pertama aku dan dirinya bertemu. Aku nangis sejadi-jadinya meluapkan kesakit hatianku. Dia pikir dia doang yang kecewa, dia doang yang patah hati? Aku juga sama. Aku bahkan lebih patah hati.

Aku gak tau harus gimana lagi, sebegitu kecewa ahkam padaku sampai-sampai ia melarang ku untuk ngobrol dan bertemu dengannya kembali. Aku benci ini semua.

"NAYYYAAA BENCII KEADAANNN INIII... NAYYA IINGGIINN ABANG USTADZ MENJADI IMAM NAYYAAAAA"

.................................................................................

Gimana baper gak? Kurang ya? Aduh maaf ya.

Terus kasih vote nya buat cerita inu agar bisa menjadi novel wkwk:v cerita jelek kayak gini mana bisa jadi novel.

Yuk yuk yukk di vote dan komen nyaaa😍

A.H.K.A.M (revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang